Aku
tak menyangka kita akan jadi teman dekat. Kau tampak cuek, sedangkan aku
pemalu. Tak ada titik temu untuk kita saling berkomunikasi. Tapi semua terjadi
tanpa rencana. Tiba-tiba saja, pada suatu hari, kau bergegas menghampiriku sambil menenteng sebuah
buku. Kau lalu menyampaikan dugaanmu, bahwa akulah sang pemilik buku itu. Tapi
jelas, bukan. Kukira kau hanya mengarang.
Dari
soal buku itulah, kita akhirnya punya alasan untuk saling berbagi pesan.
Awalnya, kita cuma sanggup berbagi lirikan dan senyuman. Beberapa hari selanjutnya,
kita pun mulai berani berbagi salam dan sapa. Dan pada puncaknya, setelah kita
bertukar nomor telepon dan alamat akun media sosial, kita akhirnya resmi
menjadi teman dekat. Segala hal, bahkan yang remeh-temeh, selalu suka kita
perbincangkan.
Seiring
waktu, lingkungan pergaulan kita pun melebur. Temanku, menjadi temanmu juga. Tapi
sebaliknya, tidak. Sedari dulu, kau tak punya teman dekat di kampus. Mungkin
itu karena sikapmu yang tertutup dan lebih suka menyendiri. Bisa dibilang,
akulah teman dekat pertamamu. Sedangkan Rino, seorang teman terbaikku, adalah
teman dekat keduamu. Hanya kita bertiga.
Di
antara kita bertiga, kau dan akulah yang lebih dekat. Rino, entah kenapa, tak
bisa melebur dengan cara kita bergaul. Tapi kuduga, itu terjadi kerena ia masih
menyimpan trauma tentang masa lalunya, tentang seseorang yang ia lukai empat
tahun sebelumnya, kala masih berada di bangku kelas III SMA. Seseorang wanita yang
ditinggalkannya tanpa alasan. Hingga setelahnya, ia tak berselera lagi membangun relasi apa pun dengan
seorang wanita, sebab ia tak ingin jadi peluka.
Aku
tak terlalu tahu detail cerita tentang masa lalu Rino. Lagi pula, ia memang tak
mau terbuka dalam membagi cerita hatinya itu. Sebagaimana orang yang berusaha
melupakan kenangan pahit, menceritakannya adalah tindakan yang bodoh, yang
malah bisa membuat kenangan itu bergentayangan. Tapi satu pelajaran yang aku
tahu darinya, bahwa menggantungkan dan meninggalkan seorang wanita tanpa alasan,
adalah cara yang salah.
Tanpa
Rino, kita tetap asyik melalui waktu berdua. Dalam kebersamaan itu, aku bisa
membaca keanehan pada sikapmu. Setiap kali kita bersama, raut wajahmu selalu
tampak kegirangan. Kau suka berbagi apa saja denganku, meski tanpa kuminta. Bahkan,
kau jadi tak segan dan suka meminta bantuan padaku, termasuk untuk hal yang
remeh-temeh. Itu jelas membuatku berarti. Dan, dari semua pertanda itu, aku
sampai pada satu kesimpulan, bahwa kau jatuh hati pada temanmu sendiri: aku.
Tanda-tanda
yang kubaca darimu, tak lantas membuatku melakukan tindakan yang semestinya.
Atas apa yang telah kupelajari dari kisah Rino, aku tak ingin menyatakan
perasaan padamu. Aku takut melukaimu dan diriku. Jadinya, sepanjang setahun
persahabatan kita, semua berlalu begitu saja. Bahkan setelah kita memperoleh
gelar sarjana, aku sudi meninggalkanmu sepanjang dua tahun, demi melanjutkan
studiku di luar negeri.
Keputusanku
meninggalkanmu untuk waktu yang lama tanpa ada beban apa-apa, adalah caraku
menjaga hatimu. Aku pergi bukan untuk selamanya, tapi hanya sejenak, lalu
kembali dengan mimpi-mimpi yang besar. Aku pergi dengan membawa satu rencana,
bahwa aku akan pulang, lantas menemuimu segera untuk memulai masa depan kita
dalam kepastian: menikah. Itulah cara terbaik yang akan kulakukan.
Dan
hari ini, setelah studiku selesai, aku pun bergegas menemuimu. Aku yakin,
setelah sekian lama kita tak berbagi kabar, juga tentang kedatanganku yang
tiba-tiba, kau akan terkejut dan terkesima. Akan kuceritakan semua pencapaianku
padamu, bahwa aku telah memperoleh gelas master di bidang arsitektur dan telah bekerja
di sebuah perusahaan besar. Pada saat itu pula, akan kuminta pendapatmu tentang kepastian
masa depan kita, dengan semua bekal yang kumiliki.
Sesampainya
di halaman rumahmu, segera kuparkirkan mobil yang baru kubeli beberapa hari
yang lalu. Setelah itu, kuamati baik-baik tampilanku di cermin, sembari
mengatur emosiku agar sanggup menuturkan mimpi besar yang sekian lama kupendam.
Selanjutnya, aku melangkah dengan hati-hati dan penuh harap, menuju ke gerbang pintu
rumahmu. Berdoa semoga kau segera menyibak daun pintu dan menjumpaiku dengan
penuh kesenangan.
“Ringgo?”
tebak seorang lelaki di pelataran depan rumahmu. Dahinya berkerut. Matanya
menyorotku tajam. “Kamu Ringgo kan?”
Aku
mengangguk pelan, sambil mencari gambaran wajahnya di memoriku. Dan setelah
kuterka baik-baik, aku masih mengenali wajah yang telah banyak berubah itu,
yang kini ditumbuni rambut di sana-sini, “Rino?”
Tawanya
pun, lepas. Dia lalu bergegas memelukku. Tak lama kemudian, ia mengurai pelukannya,
lalu memandangiku dengan penuh semangat. “Kau terlihat semakin tampan dan mapan
kawan!” tegasnya, sambil menepuk-nepuk kedua lenganku.
“Bisa
saja. Akulah yang seharusnya mengutarakan pujian itu untukmu,” balasku.
Kami
kembali saling pandang-memandangi dengan segudang tanya di benak masing-masing.
Kebingungan tentang persoalan apa yang sebaiknya dibahas terlebih dahulu.
“Ada
urusan apa di sini?” tanyaku, seakan kehadirannya adalah sebuah keanehan.
Wajahnya
pun tampak kebingungan. Mengisyaratkan kalau ada yang salah dengan
pertanyaanku.
Aku
lalu menyadari kalau kalimat pertanyaanku kurang tepat, “Maksudku, kenapa bisa
kebetulan kita berjumpa di rumah ini?”
Senyumnya
pun merekah. Seperti hendak mengutarakan sebuah kabar bahagia, “Kamu belum
tahu?”
“Tahu apa?” Aku jadi penasaran.
“Itulah
kalau kau kelamaan di negeri bule sana,” katanya, lalu berdeham, melegakan
tenggorokannya, “Minggu depan, aku dan Rina akan menikah.”
“Maksudmu?”
tanyaku seketika, seakan tak yakin mendengar jawaban itu darinya. Tepatnya, aku
tak ingin mendengarnya.
“Ya,
kami akan menikah.” Suaranya terdengar tegas.
Perasaanku
pun terguncang, hingga tak sadar mengulik dengan tanya yang tak sopan. “Kok
bisa, tiba-tiba…?”
“Tak
ada yang tiba-tiba kawan. Kau masih ingat tentang kisah cintaku di bangku SMA,
yang pernah kuceritakan padamu, kan? Nah, perempuan yang kumaksud itu adalah
Rina,” jelasnya, dengan bola mata yang berseri-seri.
Aku
semakin tak mengerti jalan ceritanya. “Bukannya kalian telah berpisah dan
saling membenci? Bukannya orang tuamu menolak keras jika kalian menjalin
hubungan?”
“Aku
juga tak menyangka orang tuaku akan memberi restu. Ya, alasannya, mungkin
karena sekarang aku telah lulus kuliah dan punya pekerjaan yang lumayan
menjamin. Kau tahulah, orang tua pasti tak menginginkan jika kehidupan anak dan
menantunya, juga cucu-cucunya, berada dalam kesengsaraan,” tuturnya dengan raut
wajah bahagia. “Waktu bisa mengubah segalanya kawan.”
Tiba-tiba,
kau muncul di balik pintu. “Ringgo?” tebakmu, dengan bola mata yang berkaca-kaca.
“Hai,
Rina,” balasku, canggung.
Kita
pun bersalaman.
Kini,
kulihat lagi senyummu yang indah. Tapi aku tak lagi memaknainya secara
berlebihan. Kuajarkan diriku untuk menilainya dengan biasa saja.
“Kau
tak ingin memberikan selamat pada dua orang sahabatmu yang akan menikah?” tawar
Rino.
Dengan
perasaan canggung yang sulit kugambarkan, aku pun kembali menyalami dirimu dan
dia, sambari mengucapkan selamat atas rencana pernikahan kalian. Sebuah
kenyataan yang menyadarkanku, bahwa sebenarnya, aku tak pernah menjadi tokoh
cerita dalam kisah ini. Aku hanya selingan. Hanya perantara untuk mengaitkan
kisah cinta kalian yang sempat terputus. Dan kini, kusadari, aku seharusnya tak
menempatkanmu sebagai tokoh dengan kata ganti orang kedua dalam sudut pandang
ceritaku.
“Oh,
ya, ada persoalan penting apa sampai kau harus datang sepagi ini?” tanya Rino
tanpa beban apa-apa. Sebuah pertanyaan yang menurutku kurang berkenan.
Aku
tersenyum, dengan terpaksa. “Tidak ada apa-apa. Aku hanya berencana mengunjungi
teman lama. Dan, ya, kebetulan sekali, aku menjumpai kalian berdua, pasangan
serasi, dua teman baikku, di tempat yang sama,” pungkasku, dengan gejolak hati
yang sedikit demi sedikit, harus kuredam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar