Aku
hanya seorang penulis amatiran. Jadi penulis untuk blog pribadi. Tak ada obsesi
apa-apa, selain untuk berbagi makna kehidupan. Karena itu, apa yang kutulis,
tak jauh-jauh dari pengalaman pribadiku. Jelas, banyak peristiwa di keseharianku
yang menarik untuk diceritakan. Entah tentang diriku sendiri, atau tentang
orang lain di sekelilingku. Aku hanya perlu lebih jeli dan peka.
Selama
ini, aku lebih banyak menulis cerpen di banding jenis tulisan yang lain. Dengan
cerpen, aku bisa berbagi makna dengan cara yang menyenangkan. Kesan dan pesan akan
lebih mandalam jika sebuah peristiwa kubumbuhi dengan alur dan ending yang tak terduga. Karena itu, aku
hanya perlu menemukan unsur-unsur cerita dalam kehidupan nyata, lalu kukemas
dengan kekuatan fiksi.
Tentang
para sosok yang jadi inspirasi cerpenku, lebih banyak kutemukan di lingkungan
kampus. Salah satunya adalah Ratih, wanita penyendiri yang misterius. Aku
pernah menulis cerpen tentangnya, sebuah cerita tentang wanita pemalu yang
jatuh hati pada seorang lelaki pemendam. Bisa ditebak, ceritanya penuh intrik
menduga-duga. Dan tentu saja, cerita itu, kutamatkan dengan akhir yang bahagia.
Ratih,
wanita yang lekat dengan kamera sakunya, bukanlah sosok yang asing bagiku. Aku
merasa punya kedekatan dengannya. Maklum, di antara banyak lelaki di kampus, mungkin
akulah yang paling sering menyapanya, meski tak pernah berlanjut pada obrolan
yang panjang. Sikap cairnya padaku pun, semakin terlihat setelah cerpen tentangnya
kuunggah di blog pribadiku. Senyumnya mengembang sempurna tiap kali kami berpapasan.
Entah itu memang karena cepenku, atau ada alasan lain. Aku tak tahu.
Dan
seperti biasa, sepulang kuliah, aku kerap menjumpai Ratih di halte. Kami
sama-sama menunggu angkutan kota untuk jalur yang berbeda. Jika berada pada
posisi itu, aku akan berusaha menyapanya, walau cuma bertanya tentang kabarnya.
Ia hanya akan membalasku dengan jawaban yang singkat, tersipu malu, lalu
tertunduk dengan poni yang hampir menutup matanya.
Satu
hal yang tak akan kulupa tentang Ratih adalah tingkah anehnya pada suatu hari, saat
kami berada di halte. Kala itu, ia melirik-lirik ke arahku dengan senyuman yang
tak bisa kumaknai apa-apa. Ia memandangiku tanpa kata-kata. Karena risih, aku pun
memberinya sebuah permen cokelat. Dan sungguh, ia terlihat begitu senang, meski
ia tak segera melahapnya. Yang terjadi, ia malah cengar-cengir memandangi kata
“good luck” di sampul permen itu,
lalu mengantonginya dengan tingkah malu-malu.
Perilaku
Ratih memang aneh. Tapi aku sudah bisa menanggapinya dengan biasa saja. Sampai
akhirnya, dua hari yang lalu, tindakan anehnya, membuatku bertanya-tanya
sendiri. Sore itu, kala hujan reda dan angkutan kota jurusannya tiba, ia
melempar wajahnya dariku, kemudian bergegas pergi dengan raut cemberut. Aku tak
tahu apa yang terjadi padanya. Yang pasti, sikapnya itu tak lazim.
Rasa
penasaranku terhadap Ratih, bukan sekadar tentang perubahan sikapnya. Keanehan
pada orang yang aneh, memang wajar terjadi. Yang membuatku lebih penasaran
adalah tentang kehilangannya. Setelah sore itu, aku tak pernah lagi melihat batang
hidungnya. Celakanya, aku terpaksa terus mencarinya, sebab ia meninggalkan
sebuah map kertas berwarna cokelat, tepat di sore itu juga.
Sampai
hari ini, aku masih membawa map yang ditinggalkan Ratih. Aku berusaha
mengembalikan itu padanya. Aku pun terus mencarinya di setiap sudut kampus,
pada tempat di lokasi kemungkinan ia ada. Di kantin, di bawah pohon, juga di
halte, tempat di mana ia sering menghabiskan waktu membaca komik atau memotret
di sana-sini. Tapi aku tak menemukannya.
Karena
penasaran dengan isi map milik Ratih, aku pun tak bisa menahan diri untuk
menyibaknya. Dan, apa yang kujumpai benar-benar membuatku terheran-heran.
Setelah kutarik lembaran pertama isinya, yang kudapati foto diriku. Kutarik
lagi selembar lainnya, dan kudapati cetakan cerpenku tentang dirinya. Pada
lembar selanjutnya, kudapati fotoku bersama Vini, teman seorganisasiku, dengan
tanda silang di atasnya.
Pada
lembaran yang terakhir, kudapati sebuah pesan dengan tulisan tangan:
Ambil kembali pemberianmu! Jangan
tulis cerita omong kosong lagi! Silahkan hidup bersama Vini, sebab kau tak akan
menjumpaiku lagi!.
Korogoh
lagi isi map, dan kudapati permen cokelat yang kuberikan padanya tempo hari,
masih dalam keadaan utuh.
Sungguh,
pesan-pesan dari Ratih membuatku tersentak. Aku tak menyangka, selama ini ia
menguntitku di sela-sela tingkahnya yang tak mudah dibaca. Kuduga, ia terobsesi
padaku.
“Bimo!”
Suara tegas dan entakan kaki Vini dari arah belakang, mengagetkanku. “Berkas
apa itu?”
“Bukan
apa-apa,” sangkalku, lalu mengemasnya dengan segera. Untunglah, ia
memercayaiku begitu saja.
“Hei,
kau tahu Ratih, teman sekampus kita yang aneh ini?” tanyanya.
Aku
setengah kaget mendengar ia membahas tentang Ratih. “Ya, tahulah. Aku mungkin
lebih kenal dia dari pada kau mengenalnya. Memangnya kenapa?”
Vini
kemudian duduk di depanku, sambil memampang wajah yang tampak serius. “Kau
tahu, dua hari lalu, ia gantung diri.”
“Maksudmu?
Kau dengar dari mana?” sergahku.
“Maksudku,
ia berencana bunuh diri. Untunglah, ibunya segera tahu dan menyelamatkan
nyawanya,” terang Vini. “Kabar yang kudengar dari teman-teman kampus sih,
penyababnya karena ia sedang patah hati. Katanya orang-orang, ada pepesan
terakhir yang ditulisnya sebelum mencoba bunuh diri.”
Aku
benar-benar tersentak mendengar kabar itu. Apalagi, kuduga kuat, kejadian itu
ada hubungannya dengan isi map yang ditinggalkan Ratih. “Kau tahu tentang kabar
siapa lelaki yang telah membuatnya patah hati?”
“Aku
juga tak tahu. Menurut kabar yang kudengar sih, ia tak menuliskan nama di
pepesan terakhirnya,” tutur Vini.
Dan
seketika, aku merasa sedikit lega, sebab masih ada kemungkinan bagiku untuk
menebus kesalahan yang tak kusengaja pada Ratih. Tapi di sisi lain, dilema yang
mendalam juga kurasakan, tentang tindakan apa yang harus kulakukan terhadap
Ratih, seorang wanita yang mungkin tak akan mengerti tentang arti cinta selain
daripada memiliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar