Kelak,
di masa depan, aku akan bertemu dengan seseorang dengan cara yang penuh
kejutan. Seorang wanita yang membuatku serasa menjadi lelaki paling beruntung
di dunia. Aku tak tahu siapa. Jangankan namanya, menerka-nerka wajahnya saja,
aku tak kuasa. Entah matanya bulat atau sipit, badannya sedikit gemuk atau
kurus, kupasrahkan saja pada jalan ceritaku.
Di
sela-sela waktu penantian, aku hanya bisa mencitrakan wajahnya dalam
imajinasiku. Merangkai kombinasi diri yang terbaik, dari banyak unsur fisik
yang kukagumi di dunia ini. Menerawang sikap dan tingkahnya dari beragam
perilaku keperempuanan yang kusukai. Aku selalu yakin, dia adalah sosok yang
sempurna bagiku. Seorang perempuan yang tak menjemu-jemukan.
Atas
rasa penasaranku yang mendalam tentang dirinya, telah kurangkai banyak cerita
tentang caraku menemukannya. Kelak, saat berjumpa, akan kuutarakan padanya,
bahwa aku telah menantinya begitu lama. Akan kuceritakan tentang lika-liku
hidup yang telah kulalui, yang kuterobos hingga menemukan dirinya. Karena
itulah, aku menulis banyak cerita tentang perjuangan cintaku, cerita tentang
indahnya menanti.
Banyak
sudah cerita yang kurangkai tentang penantianku padanya, cerita dengan akhir yang
tak terduga, yang kuinginkan terjadi antara aku dan dia. Di sela-sela itu, aku juga
telah menulis banyak cerita tentang pelajaran batinku kala berharap pada wanita
selain dirinya, tentang rasa marah, kecewa, dan sakit hati. Kelak, itu akan
menjadi bukti, betapa aku telah mengabaikan, mengorbankan, dan menaklukkan
banyak hal demi dirinya.
Kini,
saat aku berandai-andai, jika saja kami telah bersama dan ia menemukan
celotehan-celotehanku dalam banyak cerita, setidaknya, akan terjadi percakapan
hebat di antara kami:
“Siapa
wanita yang pernah bersamamu di masa lalu? Siapa wanita yang pernah sangat kau
rindukan itu? Siapa wanita yang pernah membuatmu sakit hati? Siapa wanita yang
kau katakan, akan berada dalam ingatanmu sepanjang waktu? Siapa saja wanita
yang telah kau abadikan dalam tulisanmu itu? Siapa?” tanyanya, setelah mengulik
satu per satu gubahan ceritaku.
Jika
begitu, aku akan memberikan jawaban terbaik agar emosinya mereda. “Semua itu
adalah kau. Wanita-wanita itu adalah pencitraanku, hasil imajinasiku tentang
dirimu, sebelum kita bertemu.”
“Aku
minta kau jujur saja,” desaknya, “Mana bisa kau menggambarkan sosok dan latar
cerita secara mendetail jika saja itu bukan sebuah kenyataan?”
Dan
lagi, aku akan berusaha memelas dengan cara terbaik, “Itu kan hanya fiksi. Segala
hal bisa terjadi dalam dunia imaji,” kataku, “Percayalah, hanya kau
satu-satunya tokoh dalam ceritaku. Selain dirimu, semua hanya selingan, untuk
membuktikan bahwa bagiku, kaulah yang terbaik di antara pilihan-pilihan yang
ada.”
Setelah
aku membalasnya dengan jawaban yang terkesan menggombal, kubayangkan bahwa dia
akan luluh. Dia pun jadi percaya padaku, seakan-akan aku hanya mengenal seorang
perempuan dalam hidupku: dirinya. Dia akan terbuai, dan menganggapku serupa
malaikat. Dia akan lupa, bahwa seorang penulis fiksi, begitu lihai dalam
menutupi kenyataan.
“Jadi
hanya aku satu-satunya wanita yang mengajarimu beragam rasa dalam semua
cerita-ceritamu?” tanyanya lagi.
Aku
hanya mengangguk. Tak tega menegaskan kebohongan padanya.
Dan jika
saja pada waktu di masa depan itu, kejujuranku tak akan menghancurkan
kebersamaan kami, maka kepadanya, akan kukatakan yang sebenar-benarnya:
Maaf, aku hanya seorang lelaki
biasa yang sempat bertemu banyak perempuan sebelum akhirnya menemukanmu. Ada
waktu yang panjang sebelum kita bersama. Dan sepanjang itu pula, aku belajar
banyak hal pada perempuan-perempuan itu, tentang bagaimana perihnya rasa kecewa
atas harapan palsu, sakit hati karena ditinggalkan, dan rindu yang tak berbalas.
Semua rasa itu, tak akan kutimpakan padamu. Aku telah belajar banyak hal, dan
padamu, aku belajar tentang cinta sejati dan kesetiaan. Hanya padamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar