Kita
pernah sangat dekat, hingga terperangkap dalam rasa yang lebih dari sahabat. Perasaan
kita sama, sama-sama saling menginginkan. Jelas, aku tahu tentang perasaanku
yang begitu menginginkanmu. Dan kubaca pada dirimu, kau juga sangat
menginginkanku. Tanda-tandanya tampak pada perilakumu tiap kali kita bersama. Pada
caramu tersenyum, bertutur, dan menatapku.
Dan,
aku ingat lagi saat kita berada di tahun ketiga perkuliah. Satu waktu, kala
kita tengah berjalan beriringan, sepulang dari kampus, kita pun mengobrolkan tentang
masa depan,
“Radi, apa
kau punya kriteria wanita idaman yang hendak kau nikahi suatu saat nanti?”
tanyamu, agak segan. Kuduga, pertanyaan itu, telah lama kau pendam.
Jelas,
aku sedikit heran dengan kelancanganmu. Biarpun persahabatan kita telah
berlangsung lama, tapi membicarakan persoalan pasangan hidup, enggan kita
lakukan. Kita sama-sama menahan diri. Tapi akhirnya, kau memulai.
“Aku
tak punya kriteria pasti. Aku tak akan pernah tahu bagaimana bentuk rupanya,
sampai aku benar-benar menjumpainya sebagai jodohku,” balasku, tak ingin jujur
bahwa pada dirimu, semua kriteria wanita idamanku, telah terpenuhi. “Kau
sendiri bagaimana?”
Kau
berusaha menjawabku dengan sikap yang biasa, “Aku suka lelaki yang tinggi,
berkulit cerah, bermata sipit, suka membaca, lihai main gitar, humoris, cerdas,
penyabar, pokoknya yang baik-baiklah,” katamu, sambil memerhatikan diriku
baik-baik. Seakan kau melihat kriteria itu pada diriku. "Kau tahu tidak, di
mana bisa menemukan lelaki yang komplet seperti itu?”
“Entahlah.
Tapi kukira, Bardan hampir memenuhi semua kriteriamu,” balasku, bermaksud
meledek, sebab kau sendiri tahu, Bardan jauh dari sosok lelaki idaman, baik
dari sisi fisik maupun perilaku.
“Kau
bercanda? Kalau Bardan sih, jauh. Dari semua lelaki di dunia ini, mungkin
dialah pilihan terakhirku. Itu pun kalau dipaksa,” sergahmu. Kau tampak kesal
dengan ledekanku. “Ada saran lain?”
Kali
ini, aku yakin, kau sedang menguji kepekaanku. Kau ingin aku memasukkan diriku
dalam pilihanmu, lalu kau tinggal mengiyakannya saja. “Ya, mana aku tahu,” balasku,
tanpa bertanya kembali. Berharap kita segera beralih ke topik obrolan yang
lain.
Kita
sama-sama terdiam untuk beberapa waktu.
Tak
lama berselang, kau bertanya lagi, masih soal masa depan itu. “Kalau rencanamu
menikah, kapan?”
Aku
berpikir-pikir beberapa saat, sampai akhirnya mengutarakan rencanaku. “Maunya
sih, setelah lulus kuliah dan setelah mendapat pekerjaan yang menjamin. Ya,
sekitar dua tahun lagilah.”
“Ya,
lama amat. Kenapa tidak pas lulus kuliah saja. Setelah menikah, masalah
kebutuhan rumah tangga, kan bisa diusahakan bersama-sama oleh suami-istri,”
keluhmu, lalu menoleh sejenak padaku, seakan mengisyaratkan bahwa kau tak kuat
menunggu selama itu.
Aku
tak segera menanggapimu.
“Tapi
kalau itu rencanamu, aku rela menunggu hingga dua tahun lagi, untuk tahu dengan
siapa kau akan menikah. Aku yakin kau akan menemukan orang yang tepat,
sebagaimana nasihat bahwa seseorang akan menemukan jodoh sesuai cerminan
dirinya. Kau orang yang baik,” katamu sambil tersenyum, meski terkesan
terpaksa. “Kau tak menanyaiku?”
“Kau
sendiri bagaimana?” tanyaku, terpaksa.
“Kalau
aku sih, sebagai perempuan, menunggu kepastian saja. Kalau ada yang melamar,
kalaupun besok, dan kurasa cocok, ya itulah jodohku. Perempuan itu hanya butuh
kepastian,” jawabmu, sambil menunduk, menyelaraskan langkah kita.
Aku
pun hanya membalasmu dengan senyuman dan tawa yang pendek. Bermaksud memberimu
kesan bahwa aku tak mengapa dengan cara pandangmu yang seperti itu. Aku tak
ingin memaksakan tentang kita.
Sikapku
yang tak acuh padamu, sebenarnya caraku untuk tidak menggantungkanmu. Semasih
aku belum siap memberimu kepastian, selama itu pula aku jadi pemendam. Banyak
hal yang harus kugapai untuk membahagiakanmu di masa depan, tentang bekal hidup
kita.
Jujur,
aku takut juga mengabaikan makna dari tanda-tanda yang kau berikan secara terus-menerus.
Berat kurasa jika sepanjang waktu, harus pura-pura ingkar atas hasratku untuk
menikahimu. Tapi bagaimana pun juga, rasioku mengalahkan perasaanku. Maka, di
sela-sela waktu, aku hanya terus berdoa, semoga kita memang terlahir sebagai
jodoh, di masa depan.
Dan
tiba-tiba, sekitar dua tahun selepas kelulusan kita, kala aku masih sibuk
dengan urusan pekerjaan, tersiarlah kabar yang menggemparkan bahwa kau sedang
dekat dengan sahabatku sendiri, Bardan. Jelas kabar itu mengagetkanku. Apalagi,
semasih kuliah, aku tahu, kau sama sekali tak suka dengan lelaki urakan yang
suka gonta-ganti kekasih semu itu.
“Bro,
sekarang aku pacaran dengan Elis, sekampus kita?” tutur Bandan padaku, saat
kami tengah menikmati kopi di sebuah kedai. Ia tampak pamer.
Aku
tersedak kopi ketika mendengar penuturannya. “Bagaimana bisa?” tanyaku.
“Ceritanya
panjang. Yang pasti, dialah yang lebih dulu mendekat padaku. Maklum, aku kan
keren,” katanya. “Aku sih, kalau masalah cewek, siap-siap saja.”
Emosiku
tiba-tiba terpancing. “Jangan macam-macam ya padanya!” bentakku, sambil
menunjuk-nunjuk ke arah wajahnya.
“Kok
kamu marah begitu? Memangnya kanapa?” tanyanya. Jelas ia heran melihat sikapku.
Seketika,
aku sadar tak punya hak apa-apa tentang kau dan dia. Aku pun terdiam, menutupi
rahasia hatiku sendiri.
“Aku
tahu, Elis anak baik-baik. Makanya, kupastikan dia perempuan terakhir yang akan
kupacari,” katanya, semringah. “Kawan, kupesan padamu, selagi masih muda,
jalanlah sekali-kali dengan perempuan. Nikmati hidupmu!”
Aku
tak meresponsnya lagi. Dan setelah percakapan itu, pertemanan kami pun menjadi
dingin.
Seiring
waktu, tepat di tahun ketiga kelulusan kita, puncak dari cerita yang tak
kuinginkan benar-benar terjadi: kau menikah dengan Bardan. Kenyataan itu, jelas
tak pernah kubayangkan sebelumnya. Dan kekalutanku semakin menjadi-jadi kala
tahu bahwa kau dikaruniai momongan, seorang anak perempuan, di bulan ke enam
pernikahan kalian.
Sejujurnya,
aku tak akan mempersoalkan sehidup-semati tentang siapa pasangan hidupmu. Aku
hanya ingin kau menemukan orang yang tepat, biarpun bukan aku. Dan bersama
Bardan, aku yakin kau salah memilih. Sampai buktinya pun terjadi, kala suatu
hari datang kabar padaku, bahwa kau akan bercerai dengannya karena tindak
kekerasan dalam rumah tangga. Sungguh, jika saja kemarin adalah hari esok, tak akan
kubiarkan dia mendahuluiku menikahimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar