Dina
jadi kelimpungan. Masih pagi-pagi, seorang lelaki dewasa dengan tingkah yang aneh,
bertandang ke rumahnya. Lelaki itu mengenakan pakaian yang tak wajar: sandal
jepit di sebelah kakinya, kaos oblong sobek-sobek, celana selutut, dan sarung
yang melintang di dadanya. Ia tampak sangat dekil. Seperti tak becus mengurus
dirinya sendiri.
Yang
lebih mengesalkan Dina, lelaki itu terus-terusan menggedor pintu. Sambil
mengamati lingkungan rumah, ia tak henti-hentinya bertertiak dan bercerosos.
Sampai akhirnya, Dina mendengar sepenggal kalimat dari lelaki asing itu untuk
suaminya: Ruslan Pembohong, koruptor,
panjahat, kembalikan uangku!
Melihat
tingkahnya yang semakin ganas, Dina pun bingung. Apalagi di rumah, hanya ada anak
laki-lakinya yang berusia 6 Tahun, sedangkan suaminya sudah tak ada di rumah
lagi. Terpaksa, ia pun menelepon dan meminta bantuan pada satpam perumahan. Dan
tak berselang lama, satpam pun datang menindak, hingga lelaki itu pergi, masih
dengan cacian yang sama untuk suaminya.
Setelah
suasana aman, Dina pun menyibak pintu, bermaksud mengamati kalau-kalau ada
kerusakan fatal akibat ulah si lelaki aneh. Beruntung, semua perabot dan hiasan
rumahnya, baik-baik saja. Pot dan tanaman bunga yang berharga mahal, tak ada
yang rusak. Masalah hanya terdapat pada daun pintu yang tegores-gores, juga teras
rumah mewahnya yang kotor.
Dina
pun segera membenahi keadaan rumahnya. Belum sampai tengah hari, ia telah
meminta tetangganya, seorang buruh yang keseringan menganggur, untuk mengecet
kembali daun pintunya. Maklum, Dina adalah seorang istri yang amanah merawat
hasil kerja keras suaminya. Apalagi, sesekali ada pejabat, teman kantor sang
suami dahulu, yang bertandang ke rumahnya.
Sore
pun menjelang. Keadaan kembali seperti semula. Tapi kala Dina bermaksud
mengawasi anaknya bermain di depan rumah, terlihatlah olehnya sebuah dus berwarna
cokelat, menggantung di terali pagar. Pada sisi dus itu, didapatinya nama
pengirim, juga nama dan alamat yang dituju.
Untuk
sementara waktu, Dina tak melakukan tindakan apa-apa. Ia kembali menggantung
dus itu di terali pagar, sambil berharap orang yang punya datang mengambilnya. Tapi
sampai pagi menjelang, dus itu masih ada. Sekali lagi, Dina mencoba
mengabaikannya sampai lewat tengah hari, tapi dus itu masih juga ada. Maka, ia
pun memutuskan untuk mengantar barang itu ke alamat yang dituju, sembari menjemput
anaknya sepulang sekolah.
Sesampainya
di alamat yang dimaksud si pengirim, Dina pun menjumpai seorang perempuan tua menyendiri
di teras rumahnya.
“Ibu
Linda?” sapat Dina, dengan nama yang dilihatnya di sisi dus.
Perempuan
itu, Linda, mengangguk kecil. Ia tampak heran melihat Dina, seorang perempuan
yang belum dikenalnya, datang menghampiri.
“Namaku
Dina, Bu,” katanya, sambil menyelami ibu tua itu. “Ada kiriman untuk Ibu,”
tutur Dina, sambil terseyum, “Aku mendapatkannya tertinggal di depan rumahku.”
Dengan
sedikit rasa curiga, perempuan beruban itu pun, menyambut dus yang disodorkan
padanya. “Roby! Anakku!” serunya, “Ini dari anakku. Kau tahu keberadaannya?”
Dina
menggeleng. “Maksud Ibu? Anak Ibu mamangnya kenapa?”
Raut
sedih, seketika terpancar jelas dari wajah Linda. Sambil mengurai ikatan pada
kardus, ia pun menceritakan sedikit perihal anaknya pada Dina, “Anakku
menghilang, Nak. Sudah hampir dua minggu ia tak kembali ke rumah.”
Dina
belum sempat bertanya lebih lanjut, hingga akhirnya, tangis Linda, pecah. Ia
menangis sambil memeluk-meluk seragam pegawai negeri kiriman anaknya. Tangisnya
pun menjadi-jadi kala membaca surat kecil dari sang anak: Bu, maafkan aku, karena belum bisa jadi PNS yang membahagiakan Ibu.
“Anak
Ibu seorang pegawai negeri?” tanya Dina, setelah melihat emosi Linda mereda dan
kemungkinan sanggup menjawab pertanyaannya.
Linda
menggeleng. “Bukan, Nak.”
“Terus,
baju itu?” tanya Dina lagi, penuh penasaran. “Apa yang terjadi dengan anak
Ibu?”
Sambil
menangis, Linda pun menuturkan penjelasannya, “Belakangan ini, anakku jadi
kurang waras, Nak. Emosinya tak terkendali. Itu bermula dari sebulan yang lalu,
saat ia dinyatakan tidak lulus dalam tes calon pegawai negeri sipil. Ia benar-benar
sedih,” jelasnya, sambil sesekali tersedak tangis.
Seketika,
Dina pun turut prihatin mendengar penjelasan perempuan itu.
“Apalagi,
kami telah berkorban banyak demi kelulusannya. Kami telah mengumpulkan uang
sebanyak dua puluh juta demi kelulusannya. Bahkan motornya pun rela dijual.
Tapi hasilnya, tidak ada. Padahal, uang itu telah kami setorkan kepada seorang
pejabat yang telah menjamin bahwa anakku itu, akan lulus pegawai negeri,”
kenang Linda.
Mengingat
status suaminya sebagai seorang pegawai negeri dengan pangkat yang tinggi, Dina
pun semakin tersentuh. “Aku turut prihatin, Bu. Mudah-mudahan, Roby segera
ditemukan dan pulang ke rumah dengan selamat,” tuturnya.
Linda
menyeka air matanya. “Amin, Nak.” Ia lalu merogoh sebuah foto dari kantong
dasternya, lalu memperlihatkannya pada Dina. “Ini Roby, anakku. Kalau kau
menjumpainya, tolong katakan padanya kalau aku sangat merindukannya. Suruh ia pulang
ke rumah. Aku minta tolong, Nak.”
Dina
mengangguk-angguk. Otaknya lambat mencerna kata-kata dari Linda, sebab fokusnya
tertuju pada satu wajah di seberkas foto. Di sana terlihat wajah seorang lelaki
aneh yang kemarin sore bertandang ke rumahnya. Jelas, ia tak meragukan itu.
Setelah
berselang beberapa saat, Dina pun tersadar dari lamunannya. “Baik, Bu. Kalau
aku ketemu, akan kuantar anak Ibu pulang.”
Linda
pun tersenyum senang.
Dengan
alasan hendak menjemput anaknya pulang sekolah, Dina pun melenggang pergi. Tapi
pikirannya masih terperangkat pada serangkaian cerita panjang yang dialaminya,
yaitu tentang makian Roby yang tak waras pada suaminya, kemarin.
Kini,
dengan serangkaian cerita itu, Dina meragukan kembali alasan suaminya
dipindahtugaskan ke pulau seberang. Ia curiga, itu bukan karena alasan politik,
bukan karena kebijakan mutasi pejabat pasca pemilihan kepala daerah. Ia curiga,
itu ada kaitannya dengan Roby.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar