Hujan
tengah deras-derasnya. Darto yang sendiri di ruang sunyi, kembali memeluk sepi.
Pada suasana seperti itu, terbersit lagi di benaknya, tentang sosok istri yang dulu
sangat ia cintai. Teringat kembali, pada hari-hari yang lampau, saat ia dan istrinya,
memadu kasih tanpa rasa bosan. Sungguh, tak bisa dilupakannya wajah cantik dan
laku manja kekasihnya itu.
Dan
seketika, emosinya kembali melonjak. Ia bernafsu untuk segera memberi hukuman
yang setimpal kepada diri yang telah membuat istrinya pergi. Maka tanpa pikir
panjang, ia segera mengambil sebilah pisau yang sedari dulu disembunyikannya di
bawah kasur. Ia tak ingin menunggu waktu yang lama, sebab emosinya bisa kembali
meredup.
Dengan
langkah hati-hati, ia pun menuju satu pojok ruang yang gelap. Ia ingin
menunaikan misinya secepat mungkin, tanpa ada seorang pun yang tahu. Jelas,
kematian adalah tujuannya. Tak boleh ada pertolongan apa-apa, sampai nyawa
benar-benar melayang. Jika tidak begitu, ia akan tetap hidup bersama rasa
penyesalan yang tak terperi.
Setelah
keadaan dirasanya cukup aman, ia pun menggapai sasarannya. Segera saja ia
melentangkan tangan yang dulu gemar menampar dan memukuli sang istri. Memandanginya
dengan rasa benci, sambil sesekali diselingi tangis dan tawa yang kecil. Dan bersama
dengan kenangan pahit yang kembali terusun rapi di benaknya, ia lekas menyayat
pergelangan tangan, hingga nadinya nyaris terputus.
Seketika,
pandangan Darto jadi sayup-sayup. Ia tak mampu lagi mengendalikan dirinya.
Hilang kesadaran. Ia terjatuh di lantai. Badannya tepat mengenai rangka kasur,
hingga menimbulkan suara gaduh. Dalam ketidaksadarannya, ia pun lupa atas semua
laku buruknya pada sang istri, yang membuatnya membenci dirinya sendiri, yang
membuatnya ingin membunuh setan bengis dalam dirinya.
Waktu
berganti. Kala pagi menjelang, setelah beberapa hari berlalu, rencana Darto
untuk mengakhiri hidupnya, terbukti gagal. Nyawanya masih tertolong.
“Bagaimana
keadaan Bapak?” tanya, Ariani, istri Darto, yang meninggalkannya tanpa proses
perceraian yang formal.
Darto
tampak terkejut menyaksikan keberadaan mantan istrinya. Ia sama sekali tak
ingat kejadian sebelumnya. “Ibu? Kenapa Ibu ada di sini?”
“Pak,
sadarlah atas apa yang telah Bapak lakukan!” tegas Ariani. Rasa kesal bercampur
sedih, tegambar di wajahnya.
“Yang
telah kulakukan? Aku tak melakukan apa-apa selain melakukan apa pun yang terbaik
untuk Ibu,” balas Darto, kemudian tersenyum lepas. “Ibu dari mana saja? Ayo
kita pulang ke rumah.”
“Pak,
aku mohon, sadarlah! Kasihan anak-anak jika melihat keadaan Bapak masih begini,”
keluh Ariani.
Darto
malah tampak kebingungan mengamati dirinya. “Keadaan bagaimana, Bu? Aku
baik-baik saja. Yang pasti, jika Ibu kembali ke rumah, aku akan membahagiakan
Ibu.”
“Sudahlah,
Pak. Semuanya sudah berlalu,” kata Ariani.
Wajah
Darto tiba-tiba berubah kuyu. Ia lalu memohon dan meminta belas kasih sang
mantan istri, “Aku mohon, Bu, pulanglah ke rumah bersamaku.”
Tiba-tiba,
seorang anak menghampiri mereka. “Ibu,” sahut anak itu pada Ariani, “Orang ini siapa?”
tanyanya sambil menunjuk ke arah Darto.
“Ini
ayah, Nak,” jawab Darto seketika. “Masa kamu tak kenal Ayah?”
Anak
itu menggeleng. “Kau bukan ayahku. Ayahku ada di luar.”
“Apa?
Ariani, tolong jelaskan, anak siapa ini? Apa ini anak hasil perselingkuhanmu
dengan si bangsat itu?” Suara Darto seketika meninggi.
Ariani
malah tampak kasihan melihat keadaan Darto. “Maafkan aku, Pak. Aku tak
bermaksud menghianati Bapak. Tapi Bapak bukan yang dulu lagi.”
Darto
tampak geram. “Apa kau bilang? Apa hanya karena harta, kau tega meninggalkanku?
Ingat, dahulu, saat perusahaanku masih berjaya, kau enak-enak bergantung
padaku. Sekarang, saat perusahaanku bangkrut, kau malah meninggalkanku. Dasar
wanita kurang ajar!”
“Ingat
Pak, semua ini bukan karena harta. Apa bapak lupa, kebiasaan buruk Bapak yang
suka mabuk-mabukan dan memukuli aku dan anak-anak, Bapak lupa?” tutur Ariani,
sambil terisak tangis. “Sudahlah, Pak. Sadarlah. Anak-anak masih berharap
keadaan Bapak normal kembali.”
“Kau
bilang apa? Aku memukulimu dan anak-anak? Kau kira aku ini gila? Aku ini suami
yang bertanggung jawab! Lakumu saja yang tak benar. Dasar wanita jalang! wanita
tak tahu diuntung!” bentak Darto, kemudian melecutkan ludah tepat di wajah
Ariani. “Pergi kau dari sini!”
Tangis
Ariani pun semakin menjadi-jadi.
“Pergi!”
bentak Darto lagi, sambil meronta-ronta. Menarik-narik rantai besi yang
mengikat kedua kakinya. “Pergi!”
Bersama
tangisnya, Ariani pun pergi dengan seorang anak yang masih tak tahu siapa ayah
kandungnya.
Kini,
Darto ditingalkan lagi oleh mantan istrinya. Melihat kejadian itu, amarahnya pun
jadi tak terkendali. Akhirnya, para perawat harus menenangkannya, kemudian
menuntunnya menuju satu ruang yang sepi, di sebuah rumah sakit jiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar