Kisahku
dengannya, bermula dari adegan yang serupa di sinetron-sinetron. Pada suatu
sore di kampus, kala aku bergegas pulang ke rumah, aku bertambrakan dengannya,
tepat di sebuah sudut ruangan. Buku dalam pelukannya pun berhamburan. Terpaksa,
dengan rasa bersalah, aku membantunya merapikan barang-barangnya, sembari
mengucapkan kata maaf berkali-kali.
Saat
kejadian itu, aku tak melihat raut emosi di wajahnya. Ia tak tampak marah, tapi
tidak juga ramah. Ia hanya memajang mimik datar. Namun sikapnya itu, bukanlah
satu keanehan. Warga kampus tahu, ia adalah perempuan pendiam yang suka
menyendiri. Isi hati dan kepalanya, tak ada yang tahu. Dan anehnya, hal
itulah yang membuatnya menarik bagiku.
Tanpa
menunda-nunda waktu, aku pun memulai langkah awal untuk dekat dengannya. Cara
terbaik untuk itu adalah mencari celah untuk bisa berada di medan kehidupannya
setiap hari. Maka, aku pun rela mengorbankan kenyamanan hidupku untuk
mendekatinya. Kutinggalkan mobilku di rumah, dan mulai menempuh jarak ke kampus
dengan berjalan kaki, seperti dia.
Di
awal penjajakan, aku memulai dengan
melemparkan senyum dan salam padanya kala berjumpa di tengah jalan. Tujuanku
sekadar memberi aba-aba, kalau di waktu mendatang, aku ingin berkomunikasi
lebih intim dengannya. Strategi itu, kulakukan dalam hitungan hari yang banyak,
namun tak ada kemajuan berarti. Ia masih terkesan menutup diri dariku.
Sampai
akhirnya, adegan serupa di sinetron dalam kisah kami pun, terjadi lagi. Sebuah
kejadian yang membuat kami menjadi dekat tanpa perlu menunggu waktu lama-lama. Suatu
hari, sepulang kuliah, saat masih di persimpangan jalan, hujan turun sangat
deras. Dan, kami pun ditakdirkan untuk berlindung di bawah atap warung yang
sama.
“Hai,
Dita,” sapaku sambil tersenyum, setelah beberapa menit kami lewati dalam diam.
Dia
hanya menoleh sejenak, lalu melemparkan senyuman singkat.
Aku berdeham. “Maafkan aku untuk kejadian
tempo hari.”
Ia
menoleh ke arahku lagi. Hanya sejenak. “Tak apa-apa. Tak usah diingat-ingat lagi,”
balasnya.
Kami
sama-sama terdiam lagi.
“Sudah
hampir malam, tapi hujan sepertinya awet,” ketusku.
Ia
terlihat mengangguk pelan. “Iya,” katanya, tanpa ada kesan bahwa ia ingin mengorol
denganku lebih lama.
Akhirnya,
aku pun berpikir keras untuk mencari-cari masalah, agar aku bisa berkomunikasi
dan berhubungan dengannya. Aku pun menuju ke sebuah mini market, untuk membeli
dua buah payung.
“Untukmu,”
tawarku, sambil menyodorkan sebuah payung.
Dia
tampak heran dengan sikapku, seakan-akan aku melakukan sebuah kelancangan yang
tak termaafkan. “Tak usah. Kau pulang saja duluan,” katanya.
“Tapi
aku punya dua payung. Yang satu ini memang untukmu,” tawarku lagi, lebih
terkesan memohon.
Ia
menggeleng.
“Setidaknya,
jika kau bersedia menggunakan payung ini, aku akan merasa yakin kalau kau memang
sudah tak mempermasalahkan kejadian tempo hari,” kataku, sedikit mengancam.
“Ambillah”
Dengan
agak sungkan, ia pun menerima payung pemberianku.
“Tapi
hujan masih sangat deras. Sangat dingin,” tuturnya, sambil menatap ke arah
langit.
Segera
kubuka jaketku, dan menyodorkan padanya. “Kalau begitu, pakai saja ini.
Setidaknya, ini bukti bahwa kita resmi menjadi sahabat. Aku mohon, jangan
menolak.”
Ia
tampak tersipu, lalu mengambil jaket yang kutawarkan.
Akhirnya,
misiku berjalan baik. Kami akhirnya pulang di bawah dua payung secara
beriringan. Di balik hujan, kami pun memulai obrolan kecil. Sebuah perkenalan
singkat. Dan sesampainya di percabangan jalan di mana kami harus berpisah, aku
pun merelakan payung dan jaketku menjadi miliknya, dua buah benda yang di
hari-hari selanjutnya, sering ia kenakan.
Setelah
semua peristiwa yang direstui alam itu, banyak hari-hari yang kami lalui
bersama. Hampir sebulan kami senantiasa berangkat dan pulang kampus secara
beriringan. Kami menjadi sangat dekat. Sampai seiring waktu, aku merasa perlu
memperjelas maksud perasaanku padanya.
“Dita,”
ketusku, memecah kekakuan suasana yang tiba-tiba tercipta di antara kami, saat
kami tengah berjalan beriringan lagi, sepulang kuliah. “Apa kau merasa
baik-baik saja dengan hubungan kita selama ini?”
Ia
menoleh padaku dengan tatapan yang cerah. “Iya. Memangnya kenapa kau bertanya
seperti itu?”
“Tak
apa-apa. Kadang, aku hanya merasa takut kau bosan denganku, lalu kau pun pergi
tanpa aba-aba,” jawabku, masih mengaburkan maksud yang sesungguhnya.
“Aku
akan tetap menjadi sahabatmu, tapi tidak untuk selamanya. Kelak, aku akan meninggalkanmu,
atau kau yang meninggalkanku. Semua hanya masalah waktu,” tuturnya. “Tapi
setidaknya, kita pernah mengukir kenangan sebagai dua orang sahabat.”
“Bagaimana
jika aku merasakan hal yang berbeda terhadapmu, dan menginginkan hubungan yang lebih?” kataku,
sedikit gugup.
Ia
terdiam beberapa detik. Seperti berusaha memaknai kalimat isyarat yang
kulontarkan. “Maksudmu?”
“Maksudku…,”
aku merasa berat berkata jujur, ”aku ingin…”
“Hai,
kita sudah harus berpencar. Maaf, aku buru-buru,” katanya, tanpa melirik
sejenak pun ke arahku, setelah kami sampai di percabangan jalan menuju rumah
kami masing-masing. Kakinya lalu sigap berlari kecil, menjauhiku. Ia tampak
berusaha menghindari kesimpulan obrolan kami sedari awal.
Dadaku
jadi sesak melihatnya pergi. Aku hanya berdiam diri di tempat, dan terpaksa
harus menelan kembali kata-kata yang tak sempat terucap.
Setelah
percakapan kami yang tidak sampai pada akhir yang kuinginkan, sikapnya pun terasa
berubah. Tingkah cerianya, sirna. Ia kembali jadi pendiam seperti di awal aku
mengenalnya. Dan seiring waktu berjalan, aku tahu ia berusaha menjauhiku tanpa
sebab yang jelas. Beberapa hari selanjutnya, ia benar-benar menghilang dari
pandanganku. Sungguh kenyataan yang sangat menyakitkan.
Di
sela-sela waktu aku meratapi kisahku yang memilukan, aku pun memutuskan untuk bertamu
ke rumahnya, dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Nak,
Rehan ya?” tanya seorang ibu-ibu, Risa, yang kutahu seorang pembantu di rumah
Dita.
Aku
mengangguk, “Iya, Bu.”
“Syukurlah
kamu datang. Kebetulan, ada titipan dari Dita untukmu,” katanya, lalu bergegas
masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, ia keluar dengan membawa sebuah payung
dan jaket yang telah kurelakan menjadi miliknya. “Ini titipan dari Dita
untukmu,” tuturnya, lalu menyerahkan benda-benda itu, “Ada juga surat dari
Dita.”
Aku pun menyambut pemberian itu dengan sejuta tanya di
benakku. Kekhawatiranku memuncak, kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi padanya.
Segera
saja kubaca sepucuk surat darinya:
Ini mungkin bukan cara menyenangkan
untuk meninggalkanmu. Tapi aku yakin, ini adalah cara terbaik. Setidaknya, kita
tak perlu berbasa-basi lagi dan menambah deretan kenangan yang akan semakin
membebani. Seperti yang pernah kukatakan padamu, suatu saat kita akan berpisah.
Waktu akan mengalah kita. Dan itu terjadi, aku harus mengalah pada waktu, dan
meninggalkanmu. Maafkan aku, dan terima kasih telah menjadi sahabatku.
Aku
benar-benar tersentak membaca rangkaian pesan perpisahan itu, meski aku belum
benar-benar tahu apa yang terjadi.
“Ada
apa dengan Dita, Bu?” tanyaku, penuh penasaran.
Risa
tampak bersedih. “Kukira Dita pernah cerita padamu, Nak?”
Aku
menggeleng. “Cerita apa, Bu?”
“Anu,
Dita…” Ia terdiam beberapa detik, lalu berucap dengan tutur kata yang terdengar
berat. “Dita mengidap kanker stadium IV, Nak. Dokter telah memvonis hidupnya
tak lama lagi.”
Aku
benar-benar terenyak. Perlu waktu beberapa saat untuk aku bisa menerima
penjelasan itu.
“Sekarang,
dia berada di mana?” tanyaku.
Risa
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku juga tak tahu, Nak. Ia merahasiakannya.”
Dan
seketika, aku merasa berada di antara hidup dan mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar