Pikiran
Roni masih disesaki bayang-bayang tentang makanan lezat di hari-hari kemarin.
Masih terngiang-ngiang di kepalanya tentang hidangan lengkap yang membuat ia bisa
bersantap-ria bersama istri barunya. Tapi karena citra makanan banyak yang berubah,
selera makannya pun menurun. Ia tak bernafsu lagi mejamah seisi meja sampai begah.
Sebenarnya,
seisi meja makan masih memenuhi unsur-unsur makanan sehat. Kualitas rasanya saja
yang belakangan ini diturunkan. Tak ada lagi hidangan dangan cita rasa terbaik.
Yang ada hanya nasi dengan warna dan aroma yang tak semenggairahkan seperti
sebelumnya. Lauk-pauk pun hanya ada ikan asin dan telur goreng, juga ada sayur
kangkung dan buah pisang.
Penurunan
standar kelezatan makanan keluarga kecil Roni, jelas bukan karena perubahan
selera. Bagaimana pun juga, Roni adalah penggemar berat makanan-makanan impor.
Masalahnya lebih karena pendapatan Roni tidak lagi mampu mengimbangi kebutuhan
lidahnya. Sekitar dua bulan yang lalu, ia tidak lagi bekerja di perusahan, tempatnya
dahulu mengais rezeki.
Di
sisi lain, istri Roni, Rahmita, malah tak mempersoalkan kualitas sajian makanan
mereka. Bisa dikatakan, Roni lebih pilih-pilih dalam soal makanan dibanding
sang istri. Istrinya itu, sama sekali tak banyak menuntut. Bahkan, sebagai juru
masak, ia sangat pengertian dan cerdas menyesuaikan jumlah uang belanja dengan
kebutuhan makanan.
Tapi,
biarpun tak ada keluhan dari istrinya, Roni tetap merasa bersalah. Sebagai
seorang suami, ia merasa bertanggung jawab atas kenyamanan hidup istrinya. Namun
apa daya, nasibnya berkata lain. Terpaksa, setelah merahasiakan statusnya di
perusahaan selama ini, ia pun mencoba mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. Ia
tak ingin menanggung dosa dua kali lipat.
“Ibu,
maafkan aku, uang belanja yang kuberikan pada Ibu belakangan ini, jauh dari
cukup,” aku Roni.
Rahmita
mengalihkan pandangan pada suaminya. “Tak apa-apa, Pak. Toh, itu masih cukup
untuk kebutuhan makan kita sehari-hari.”
Mendengar
jawaban istrinya, rasa bersalah Roni belum juga sirna. “Tapi aku tetap merasa
tak bertanggung jawab. Ibu selayaknya menyantap makanan dengan kualitas yang
lebih baik.”
“Yang
penting bersyukur, Pak. Kalau bersyukur, makanan pasti terasa enak. Kalau pun
Bapak ingin ada hidangan yang lebih lezat, ya nantilah, kalau Bapak dapat bonus
lagi dari perusahaan,” kata Rahmita.
“Tapi,
Bu…” Suara Roni tertahan, “Sebenarnya, aku tak lagi bekerja di perusahaan dua
bulan belakangan. Aku dipecat.”
“Apa?”
Rahmita tersentak mendengar penuturan sang suami. “Jadi selama ini, Bapak berbohong
padaku?”
Roni
mengangguk takut, seperti maling yang kepergok sedang beraksi.
“Harusnya
Bapak jujur saja. Kita ini kan baru menikah. Kalau persoalan Bapak yang penting
begini saja dirahasiakan, maka bisa kita saling mengerti,” keluh Rahmita.
“Maafkan
aku, Bu,” sesal Roni.
Rahmita
terdiam sejenak. Seperti berusaha mencerna baik-baik kenyataan yang diungkapkan
suaminya. Tak lama kemudian, ia mengutarakan nasihatnya. “Aku tak pernah
mempermasalahkan pendapatan dari pekerjaan Bapak. Kalaupun usaha kerja Bapak
tidak mencukupi kebutuhan kita, kan aku bisa kerja untuk mendapatkan
penghasilan tambahan. Kita ini suami-istri, Pak. Segala masalah harus kita bicarakan
dan kita hadapi bersama.”
Suasana
senyap beberapa saat. Roni tampak masih meratapi kesalahnnya, sedangkan
istrinya tampak kehabisan kata-kata untuk menasihati.
“Ngomong-ngomong,
kenapa Bapak dipecat?” tanya Rahmita.
Roni
jadi kikuk. “Anu, Bu, atasanku di perusahaan kesal karena aku menolak menandatangani
blangko pencairan dana perusahaan untuk kegiatan fiktif. Aku takut makan uang
haram, Bu. Kurasa, itu tindakan yang benar,” katanya.
Istinya
mengangguk. Raut kekaguman tampak di wajahnya kala mengatahui suaminya
benar-benar pribadi yang jujur dan bertanggung jawab. “Aku benar-benar
bersyukur punya suami seperti Bapak. Setidaknya, biarpun hidup kita sederhana,
bahkan miskin sekalipun, yang penting makanan kita halal.”
Roni
pun tersenyum mendengar pujian istrinya. Kepercayaan diri dan wibawanya sebagai
suami, bangkit kembali. “Terima kasih banyak, Bu. Semua ini juga karena Ibu
yang ajar,” katanya, sambil terus menyembunyikan dosa-dosanya, bahwa ia dipecat
karena ketahuan menggelapkan uang perusahaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar