“Kapan
kau merasa sangat berarti?” Farhan bertanya.
“Ketika
melihat teman baikku lebih baik dari diriku,” balas Samsir.
“Kita
sama,” ujar Farhan. “Tapi tidak juga.”
Mereka
berdua pun tertawa lepas, bersama-sama.
Sebenarnya,
baru tiga bulan belakangan mereka akrab. Dimulai sejak mereka beranjak ke kelas 3
SMA. Mereka kebetulan sekelas, bahkan sebangku. Sepasang bangku mereka berada
di deretan paling belakang, sudut kanan kelas. Pilihan mereka sejalan, suka
bersembunyi dari pantauan guru. Farhan tak pernah mau duduk di bangku depan
kelas. Ia takut ditunjuk paling pertama untuk setiap instruksi guru, apalagi mengerjakan
soal matematika. Tidak saja kolot, ia juga malas. Sedangkan teman sebangkunya,
Samsir, adalah lelaki cupu yang pemalu. Dia memiliki otak yang encer, tapi tak
pernah narsis menunjukkan kebolehannya. Sangat pendiam dan penyendiri.
Farhan
dan Samsir memiliki banyak perbedaan. Mereka jadinya saling membutuhkan. Tak
heran, mereka sering bersama dalam segala hal. Seperti sejiwa. Pantas dianggap sekawan
paling romantis di jagad raya. Saling melengkapi. Jika Farhan unggul dalam
kemampuan materi, maka Samsir unggul dalam persoalan daya pikir. Mereka saling
mengisi. Samsir pun jadi tumpuan Farhan dalam menyelesaikan tugas-tugas
matematika yang rumit. Sebagai balasannya, jika ke sekolah, Farhan tak akan
lupa menjemput Samsir, lalu mengantarnya kembali sepulang sekolah.
Kebaikan
Farhan padanya, tak membuat Samsir menjadi manja. Sering juga Samsir menempuh
jarak tiga kolometer, antara sekolah dengan rumahnya, dengan berjalan kaki.
Farhan kadang tak masuk sekolah tanpa alasan. Biasa juga ia berangkat sekolah
setelah pelajaran pertama selesai. Karena itu, Samsir tak menumpukan
kepentingan pendidikannya kepada temannya yang bandel itu. Ia sadar dirinya
hanya anak buruh sederhana yang harus bekerja keras agar sukses. Bahkan jika
hari pelajaran olahraga, Samsir akan memilih berlari-lari kecil menuju ke
sekolah, meski ditawari tumpangan oleh Farhan. Ia memang bercita-cita menjadi
atlet lari. Tak heran, otot tubuhnya terbentuk. Beda dengan tubuh Farhan yang lempeng
saja.
Pagi
ini, Sabtu, adalah waktu pelajaran olahraga.
“Hei,
kau yakin menang kalau latihan sekeras seperti? Ayo naik,” tawar Farhan,
mengiringi Samsir yang sedang asik berlari-lari kecil di tepi jalan, menuju
sekolah.
“Nanti
aku buktikanlah. Itu utangku padamu. Kamu duluan saja,” balasnya. “Tapi
sebenarnya aku butuh pesaing. Tapi mana mungkin anak manja sepertimu rela
berlari sepertiku.”
“Oke.
Besok-besok aku buktikan kalau aku bisa mengalahkanmu. Itu utangku padamu!”
tegas Farhan, lalu melajukan motornya.
Di
hari-hari selanjutnya, mereka pun menekuni hobi yang sama: berlari. Tak hanya
berlatih di hari pelajaran olahraga, mereka juga sering lari bersama di sore
hari. Mereka menjadwalkan lari sore tiga hari dalam seminggu. Belakangan,
mereka malah tambah giat. Apalagi, sebulan ke depan, akan diadakan lomba lari
bergengsi tingkat SLTA. Tahun ini, Samsir menjadi kandidat kuat untuk mewakili
sekolahnya. Apalagi pesaingnya tahun lalu telah tamat. Di sekolahnya juga tak
ada anak-anak lain yang tertarik mengikuti lomba lari. Hanya Samsir yang tekun
berlatih. Farhan ikut-ikutan untuk tujuan lain. Ia khawatir benih-benih lemak
di perutnya tambah melar.
Tak
diduga, kemampuan berlari Farhan semakin meningkat. Ia mampu menandingi
kekuatan dan kecepatan Samsir. Guru olahraga pun menyadarinya dan memerintahkan
mereka untuk terus berlatih. Kini tak disangka, Farhan akan jadi pesaing
terberat Samsir untuk menjadi perwakilan sekolah untuk lomba lari. Hanya mereka
berdua, sejoli yang berteman baik. Sejiwa.
“Perkembangan
kalian sangat luar biasa. Besok pagi kalian harus beradu kekuatan dan kecepatan
untuk menentukan siapa yang akan mewakili sekolah kita dalam lomba nanti,”
tutur Pak Burhan, guru olahraga mereka.
“Tapi
Pak, aku sebenarnya tidak ada niat untuk ikut lomba. Samsir saja yang jadi
perwakilan Pak. Tak perlu diadu. Dia lebih hebat daripada aku,” balas Farhan.
“Benar
kata Bapak, Farhan. Kau memang punya bakat. Aku tak lebih hebat berlari
daripada kau,” tutur Samsir, memasang mimik santainya.
“Tak
ada alasan Farhan. Samsir saja setuju. Pokoknya Sabtu depan, kalian harus
menunjukkan kemampuan terbaik,” pungkas Pak Burhan, lalu meninggalkan mereka yang
masih ngos-ngosan selepas latihan lari.
“Kau
tak serius kan?” tanya tegas Farhan pada Samsir.
“Haha.
Kamu jangan merasa risih. Aku tahu kau pelari hebat. Kau punya bakat. Betapa
bangganya kawanmu ini jikalau kau mewakili sekolah kita. Bukankah kau pernah
bertekad untuk mengalahkanku? Ini saatnya kawan!” balas Samsir.
Sampai
pada waktu yang ditentukan, di Sabtu pagi, mereka akhirnya bertanding. Mereka
beradu kecepatan melintasi lapangan sepakbola sekolah sebanyak tujuh kali.
Suasana menegangkan tercipta. Di dua putaran awal, tampak kekuatan dan
kecepatan mereka seimbang. Mereka hanya terpisah jarak lima meter. Samsir mendahului.
Namun, di putaran ketiga, Farhan berganti mendahului. Helaan napas mereka sama-sama
tersengal, diburu waktu. Teman sekelas mereka ikut menyoraki. Di putaran keempat,
Farhan masih mendahului. Tiba-tiba, keadaan berbalik di putaran ke enam. Samsir
menyalip kembali, menjauh sekitar sepuluh meter dari Farhan. Tapi di lintasan
terakhir, napas Samsir menjadi berat terhela. Kakinya seperti tak sanggup
menopang tubuhnya. Kecepatannya merosot. Hingga akhirnya Farhan menggapai garis
finis terlebih dahulu.
“Hei,
kamu pasti sengaja kan?” tanya Farhan segera, saat helaan napasnya masih terburu-buru.
“Haha,
aku mengalah untuk mewakili sekolah dalam lomba bergensi? Tak mungkinlah! Kau
memang lebih hebat kawan,” balas Samsir yang terlentang tak bertenaga.
“Baiklah
kalau begitu. Memang semestinya aku yang menang. Bukan begitu kawan?” tanya Farhan,
seperti meledek.
Samsir
mengangguk berkali-kali. “Ya, tentu saja. Tak ada yang meragukanmu,” balasnya.
Berselang
tiga hari kemudian, saat istirahat jam pelajaran, Farhan diminta untuk menemui
Pak Burhan di ruang kerjanya. Ia pun menghadap tanpa tahu mengapa. Sesampainya
di sana, Pak Burhan menuturkan kalau ia berhak atas beasiswa sebuah perguruan
tinggi jika ia berhasil menjuarai lomba yang diselenggarakan seminggu ke depan.
Tentu sebuah kabar baik baginya.
Seminggu
berlalu, di waktu yang dinanti, sorak-sorak teman sekelas Farhan dan Samsir
bergemur di tepi lapangan, dekat lintasan lomba lari. Sekolah mereka berhasil
menjuarai lomba lari bergengsi itu.
Sepulang
dari perlombaan, selepas menikmati perayaan, Samsir datang menghampiri kawan
terbaiknya, Farhan.
“Farhan,
aku memenangkan lombanya!” seru Samsir sesampainya di halaman rumah Farhan. Ia
begitu gembira dan mengacungkan piala lomba pada Farhan yang tengah bersantai
di teras rumahnya yang megah. Samsir terpaksa menggantikan Farhan di perlombaan
setelah ia mengaku pangkal pahanya bermasalah. Katanya keram dan kaku.
“Kamu
memang luar biasa kawan. Aku bangga padamu. Saat-saat seperti inilah aku merasa
sangat berarti,” balas Farhan, sambil menepuk lengan kawannya itu.
“Kaulah
yang hebat. Aku tak akan menjadi yang terhebat di pertandingan jika tak beradu
dengan pesaing hebat sepertimu,” balas Samsir. “Ini juga karena sepatu barumu
yang kau pinjamkan.”
“Ya,
benar. Sebenarnya gara-gara sepatu itu kau menang,” canda Farhan.
Mereka
akhirnya tertawa lepas, bersama-sama.
Sebenarnya,
Farhan hanya pura-pura sakit. Ia tak ingin mengambil kesempatan teman baiknya
untuk melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi secara cuma-cuma. Samsir
tak pernah tahu.
“Pahamu
sudah mendingan kan?” tanya Samsir.
Farhan
mengangguk sambil tersenyum. “Iya. Aku tak mengapa, kawan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar