Jumat, 15 Januari 2016

Sejiwa

“Kapan kau merasa sangat berarti?” Farhan bertanya.

“Ketika melihat teman baikku lebih baik dari diriku,” balas Samsir.

“Kita sama,” ujar Farhan. “Tapi tidak juga.”

Mereka berdua pun tertawa lepas, bersama-sama.

Sebenarnya, baru tiga bulan belakangan mereka akrab. Dimulai sejak mereka beranjak ke kelas 3 SMA. Mereka kebetulan sekelas, bahkan sebangku. Sepasang bangku mereka berada di deretan paling belakang, sudut kanan kelas. Pilihan mereka sejalan, suka bersembunyi dari pantauan guru. Farhan tak pernah mau duduk di bangku depan kelas. Ia takut ditunjuk paling pertama untuk setiap instruksi guru, apalagi mengerjakan soal matematika. Tidak saja kolot, ia juga malas. Sedangkan teman sebangkunya, Samsir, adalah lelaki cupu yang pemalu. Dia memiliki otak yang encer, tapi tak pernah narsis menunjukkan kebolehannya. Sangat pendiam dan penyendiri.

Farhan dan Samsir memiliki banyak perbedaan. Mereka jadinya saling membutuhkan. Tak heran, mereka sering bersama dalam segala hal. Seperti sejiwa. Pantas dianggap sekawan paling romantis di jagad raya. Saling melengkapi. Jika Farhan unggul dalam kemampuan materi, maka Samsir unggul dalam persoalan daya pikir. Mereka saling mengisi. Samsir pun jadi tumpuan Farhan dalam menyelesaikan tugas-tugas matematika yang rumit. Sebagai balasannya, jika ke sekolah, Farhan tak akan lupa menjemput Samsir, lalu mengantarnya kembali sepulang sekolah. 

Kebaikan Farhan padanya, tak membuat Samsir menjadi manja. Sering juga Samsir menempuh jarak tiga kolometer, antara sekolah dengan rumahnya, dengan berjalan kaki. Farhan kadang tak masuk sekolah tanpa alasan. Biasa juga ia berangkat sekolah setelah pelajaran pertama selesai. Karena itu, Samsir tak menumpukan kepentingan pendidikannya kepada temannya yang bandel itu. Ia sadar dirinya hanya anak buruh sederhana yang harus bekerja keras agar sukses. Bahkan jika hari pelajaran olahraga, Samsir akan memilih berlari-lari kecil menuju ke sekolah, meski ditawari tumpangan oleh Farhan. Ia memang bercita-cita menjadi atlet lari. Tak heran, otot tubuhnya terbentuk. Beda dengan tubuh Farhan yang lempeng saja.

Pagi ini, Sabtu, adalah waktu pelajaran olahraga. 

“Hei, kau yakin menang kalau latihan sekeras seperti? Ayo naik,” tawar Farhan, mengiringi Samsir yang sedang asik berlari-lari kecil di tepi jalan, menuju sekolah.

“Nanti aku buktikanlah. Itu utangku padamu. Kamu duluan saja,” balasnya. “Tapi sebenarnya aku butuh pesaing. Tapi mana mungkin anak manja sepertimu rela berlari sepertiku.”

“Oke. Besok-besok aku buktikan kalau aku bisa mengalahkanmu. Itu utangku padamu!” tegas Farhan, lalu melajukan motornya.

Di hari-hari selanjutnya, mereka pun menekuni hobi yang sama: berlari. Tak hanya berlatih di hari pelajaran olahraga, mereka juga sering lari bersama di sore hari. Mereka menjadwalkan lari sore tiga hari dalam seminggu. Belakangan, mereka malah tambah giat. Apalagi, sebulan ke depan, akan diadakan lomba lari bergengsi tingkat SLTA. Tahun ini, Samsir menjadi kandidat kuat untuk mewakili sekolahnya. Apalagi pesaingnya tahun lalu telah tamat. Di sekolahnya juga tak ada anak-anak lain yang tertarik mengikuti lomba lari. Hanya Samsir yang tekun berlatih. Farhan ikut-ikutan untuk tujuan lain. Ia khawatir benih-benih lemak di perutnya tambah melar.

Tak diduga, kemampuan berlari Farhan semakin meningkat. Ia mampu menandingi kekuatan dan kecepatan Samsir. Guru olahraga pun menyadarinya dan memerintahkan mereka untuk terus berlatih. Kini tak disangka, Farhan akan jadi pesaing terberat Samsir untuk menjadi perwakilan sekolah untuk lomba lari. Hanya mereka berdua, sejoli yang berteman baik. Sejiwa.

“Perkembangan kalian sangat luar biasa. Besok pagi kalian harus beradu kekuatan dan kecepatan untuk menentukan siapa yang akan mewakili sekolah kita dalam lomba nanti,” tutur Pak Burhan, guru olahraga mereka.

“Tapi Pak, aku sebenarnya tidak ada niat untuk ikut lomba. Samsir saja yang jadi perwakilan Pak. Tak perlu diadu. Dia lebih hebat daripada aku,” balas Farhan.

“Benar kata Bapak, Farhan. Kau memang punya bakat. Aku tak lebih hebat berlari daripada kau,” tutur Samsir, memasang mimik santainya.

“Tak ada alasan Farhan. Samsir saja setuju. Pokoknya Sabtu depan, kalian harus menunjukkan kemampuan terbaik,” pungkas Pak Burhan, lalu meninggalkan mereka yang masih ngos-ngosan selepas latihan lari.

“Kau tak serius kan?” tanya tegas Farhan pada Samsir.

“Haha. Kamu jangan merasa risih. Aku tahu kau pelari hebat. Kau punya bakat. Betapa bangganya kawanmu ini jikalau kau mewakili sekolah kita. Bukankah kau pernah bertekad untuk mengalahkanku? Ini saatnya kawan!” balas Samsir.

Sampai pada waktu yang ditentukan, di Sabtu pagi, mereka akhirnya bertanding. Mereka beradu kecepatan melintasi lapangan sepakbola sekolah sebanyak tujuh kali. Suasana menegangkan tercipta. Di dua putaran awal, tampak kekuatan dan kecepatan mereka seimbang. Mereka hanya terpisah jarak lima meter. Samsir mendahului. Namun, di putaran ketiga, Farhan berganti mendahului. Helaan napas mereka sama-sama tersengal, diburu waktu. Teman sekelas mereka ikut menyoraki. Di putaran keempat, Farhan masih mendahului. Tiba-tiba, keadaan berbalik di putaran ke enam. Samsir menyalip kembali, menjauh sekitar sepuluh meter dari Farhan. Tapi di lintasan terakhir, napas Samsir menjadi berat terhela. Kakinya seperti tak sanggup menopang tubuhnya. Kecepatannya merosot. Hingga akhirnya Farhan menggapai garis finis terlebih dahulu.

“Hei, kamu pasti sengaja kan?” tanya Farhan segera, saat helaan napasnya masih terburu-buru.

“Haha, aku mengalah untuk mewakili sekolah dalam lomba bergensi? Tak mungkinlah! Kau memang lebih hebat kawan,” balas Samsir yang terlentang tak bertenaga.

“Baiklah kalau begitu. Memang semestinya aku yang menang. Bukan begitu kawan?” tanya Farhan, seperti meledek.

Samsir mengangguk berkali-kali. “Ya, tentu saja. Tak ada yang meragukanmu,” balasnya.

Berselang tiga hari kemudian, saat istirahat jam pelajaran, Farhan diminta untuk menemui Pak Burhan di ruang kerjanya. Ia pun menghadap tanpa tahu mengapa. Sesampainya di sana, Pak Burhan menuturkan kalau ia berhak atas beasiswa sebuah perguruan tinggi jika ia berhasil menjuarai lomba yang diselenggarakan seminggu ke depan. Tentu sebuah kabar baik baginya.

Seminggu berlalu, di waktu yang dinanti, sorak-sorak teman sekelas Farhan dan Samsir bergemur di tepi lapangan, dekat lintasan lomba lari. Sekolah mereka berhasil menjuarai lomba lari bergengsi itu.
Sepulang dari perlombaan, selepas menikmati perayaan, Samsir datang menghampiri kawan terbaiknya, Farhan.

“Farhan, aku memenangkan lombanya!” seru Samsir sesampainya di halaman rumah Farhan. Ia begitu gembira dan mengacungkan piala lomba pada Farhan yang tengah bersantai di teras rumahnya yang megah. Samsir terpaksa menggantikan Farhan di perlombaan setelah ia mengaku pangkal pahanya bermasalah. Katanya keram dan kaku.

“Kamu memang luar biasa kawan. Aku bangga padamu. Saat-saat seperti inilah aku merasa sangat berarti,” balas Farhan, sambil menepuk lengan kawannya itu.

“Kaulah yang hebat. Aku tak akan menjadi yang terhebat di pertandingan jika tak beradu dengan pesaing hebat sepertimu,” balas Samsir. “Ini juga karena sepatu barumu yang kau pinjamkan.”
“Ya, benar. Sebenarnya gara-gara sepatu itu kau menang,” canda Farhan.

Mereka akhirnya tertawa lepas, bersama-sama.

Sebenarnya, Farhan hanya pura-pura sakit. Ia tak ingin mengambil kesempatan teman baiknya untuk melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi secara cuma-cuma. Samsir tak pernah tahu.

“Pahamu sudah mendingan kan?” tanya Samsir.

Farhan mengangguk sambil tersenyum. “Iya. Aku tak mengapa, kawan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar