Rabu, 06 Januari 2016

Jaket Kelinci, Itu Aku!

Perasaan memang liar. Suka mengabaikan logika. Dengan mudahnya tergugah pada setiap kesan pertama. Kurasa, seperti di satu hari, ketika pertama kalinya aku melihat Alin, lelaki berkulit putih dan bermata sipit. Lalu, kami saling menatap ketika aku mengantar Dian, teman sekampusku, ke sebuah kafe. Ia memaksa ditemani untuk bertemu teman semasa SMA-nya, seorang lelaki berkacamata. Tak pernah kuduga itu adalah Alin. Kata Dian, perjumpaan mereka ini bisa jadi yang terakhir kalinya, sebelum Alin pindah kuliah di kota lain, di pulau seberang. Menatap bola mata Alin kala itu adalah kesalahan yang tak pernah kurencanakan. Tak bisa juga kuhindari. 

“Kenalkan, ini Lola, teman sekampusku,” tutur Dian, memperkenalkanku pada Alin.

Secara sungkan, kami pun berjabat tangan. Itu baru awal sebuah kerusuhan batin. Klimaksnya terjadi kala Dian meninggalkan kami berdua di satu meja. Ia permisi ke toilet. Kami pun berhadap-hadapan. Masuk dalam suasana yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Menegangkan sekaligus menyenangkan.  

“Mmm. Bukankah kita pernah bertemu sebelumnya.” Suara berat Alin meluncur segera. Ia paham bahwa aku tak akan berani memulai percakapan. Sedangkan saling mendiamkan sungguh tak nyaman.

Kupandangi sepintas wajahnya. Tak cukup sedetik. “Kurasa tidak,” jawabku singkat.

“Oh, kalau begitu, mungkin aku saja yang merasa de javu,” balasnya, lalu hening untuk sesaat. “Ngomong-ngomong, jaketmu lucu.”

Kikuk sudah aku. Entah kenapa ia begitu lancang memberi penilaian pada penampilanku. Kuharap ia tak ada maksud menyanjung atau mempermainkanku. Hanya buah dari perasaannya yang juga deg-degan berhadapan denganku. Akhirnya, syukurlah. Dian tiba-tiba muncul dan memecah kekakuan di antara kami. Tak perlulah kutanggapi kata-kata membuai itu.

Menjelang akhir pertemuan sore itu, Dian dan Alin tampak sama-sama berat untuk berpisah. Bagitulah sesi paling menyebalkan dari sebuah pertemuan: perpisahan. Berani memulai berarti harus siap mengakhiri. Maklumlah, pertemuan itu mungkin saja jadi akhir cerita Alin dan Dian. Aku tak berani memvonis. Kalau memang ada perasaan di antara mereka, bisa jadi perpisahan adalah jeda untuk menumpuk rindu, lalu bertemu kembali dengan cinta yang menggebu. Entahlah. Aku tak tahu juga mereka teman atau lebih dari itu. Kulihat mereka sangat dekat. Suka bercanda dan saling menjaili. Yang pasti ini akan jadi masalah bagiku, seorang yang terlalu mudah kagum pada lawan jenis, pada Alin. Ini bisa jadi awal cerita imaji yang menyesakkan bagiku. Sebuah pertemuan tanpa perpisahan. Memendam perasaan tapi tak bernyali. 

Malam datang. Saatnya mengabiskan waktu seperti biasa. Mengerjakan tugas sambil mengobrolkan persoalan yang sebenarnya tak penting di kamarku, bersama teman baikku, Dian. 

“Lola, ternyata terlalu dekat dengan lawan jenis itu ujung-ujungnya dilema ya. Walaupun dikatakan sekadar teman biasa, tapi kalau perasaan bicara lain? Ah…,” tuturnya sambil memandangi langit-langit kamar. Dia sepertinya sulit berkonsentrasi mengerjakan tugas. Dari tadi ia gusar sendiri. “Yang paling menjengkelkan adalah ketika perasaan itu datang terlambat. Muncul saat perpisahan. Saat merasa kehilangan, kita baru sadar ingin memiliki bukan sebagai teman, tapi…. Yang lebih parah ketika kita sama-sama tak sadar lagi sebagai lawan jenis. Lupa kalau masih punya kecenderungan untuk saling menyukai. Kita akhirnya tak saling sungkan. Saling jujur-jujuran tentang semua hal, termasuk tentang sosok pujaan masing-masing, padahal…. Ah, sudahlah!”

“Humm. Mewek lagi. Katanya wanita tangguh. Pasti gara-gara Alin kan? Sudahlah. Kalau memang dia merasa memiliki sama sepertimu, dia akan datang kembali menemuimu. Kurasa sih, jika tanpa embel-embel kata cinta, tapi kita bisa saling menyayangi dan mengasihi, itu sudah cukup. Biar pun itu disebutnya teman saja. Iya kan? Itu yang pernah kamu katakan padaku kawan.” Aku mencoba menenangkannya.

Dian hanya mengangguk. “Tapi, kau tahu Lola…? Ah, sudahlah!”

***

“La!” Suara Dian mengagetkanku. Ia mengentakkan kaki di sampingku. “Hei, aku punya kabar gembira untukmu.” 

“Apa?” tanyaku.

“Hari ini aku sangat bahagia. Alin meneleponku. Katanya, ia tak jadi pindah kuliah! Ah…. Senangnya aku,” jawabnya dengan mimik berlebihan. “Kau tahu yang paling membuatku senang? Katanya, ia tak jadi pergi dan membiarkan tiket pesawatnya hangus karena alasan seorang perempuan. Ah…. Itu pasti aku! Siapa lagi coba?”

“Iya-iya. Itu pasti kamu. Siapa lagi,” jawabku. Berusaha membuatnya besar kepala.

“Eh, ada lagi. Nanti malam kan kita tak ada tugas. Kamu ada waktu kan?” tanyanya lagi.

“Memangnya mau bikin apa?” tanyaku penasaran.

“Alin mengajakku nonton konser musik. Sheila On 7 bro!” serunya penuh semangat. “Kamu bisa ikut kan? Katanya, dia punya tiga tiket. Rencananya, satunya untuk seorang temannya. Tapi temannya itu tak bisa datang. Jadi bisa kan?”

“Mmm, baiklah. Kasian tiketnya mubazir,” pungkasku.

Malamnya, kami pun melewati malam bersama. Bertiga lagi. Menyaksikan Duta menyanyikan lagu-lagu kerennya. Dian berdiri di samping kanan Alin. Mepet. Mereka mengobrol di sela-sela konser. Mengomentari setiap lagu seusai dilantunkan. Sedang aku di sebelah kanan Dian. Mencoba menguping tutur kata mereka yang samar-samar di tengah riuhnya penonton. Rasa penasaranku selalu bertanya-tanya, kalau-kalau Alin mengutarakan sesuatu yang privasi pada Dian. 

“Ya! Aku suka lagu yang ini,” seru Alin. “Kalian juga suka kan?” Mata Alin menatapku. Seakan ingin mengetahui pendapatku.

“Huuu, laguku!” sorak Dian segera.

Aku hanya mengangguk. Memberikan isyarat padanya kalau aku juga suka. Sebenarnya suka.

Tahukah lagu yang kau suka?
Tahukah bintang yang kau sapa?
Tahukah rumah yang kau tuju?
Itu aku!

Dian dan Alin bersuara, mengikuti alunan nadanya. Aku yang sadar bersuara standar dan tak peka nada, memilih bergumam seadanya.

“Lola, bersuara juga dong. Kamu tak hafal lagunya?” teriak Alin di tengah keriuhan. Memampang wajah bersahabatnya padaku.

Aku menggeleng-gelengkan kepala.

“Kamu harus hafal lagu ini,” tuturnya lagi.

Kulayangkan senyumku padanya.

Akhirnya, satu setengah jam berlalu. Semua berakhir dengan suasana yang tak berubah. Tak ada tanda-tanda perkembangan hubungan Alin dan Dian. Kami pun meningggalkan keramaian. Kosong. Aku benar-benar penasaran tentang akhir hubungan mereka.

***

Jenuh kurasa. Kutekadkan mengakhiri pengharapanku cukup sampai di sini. Tak sepantasnya aku menumpuk rasa suka pada seseorang yang kutahu jelas dambaan teman baikku sendiri. Ini juga akan jadi alasan baik untuk menghentikan perdebatan dengan ayahku yang meminta agar aku pindah tempat kuliah, mengikuti tempat kerjanya di pulau lain. Di tempat jauh nanti, aku yakin akan menemukan banyak teman baru dan melupakan dilema perasaan di kota ini. Tentu juga menemukan kesan pengganti pada lelaki pendatang baru, dambaanku sendiri. Hanya aku dan dia.

“Dian, Sore ini aku ke pulau seberang, mengikuti ayahku. Aku transfer kuliahku. Semua administrasinya sudah kelar. Aku sisa pindah tempat,” tuturku pada Dian via telepon, setelah menghabiskan beberapa menit berbasa-basi. “Maaf aku baru mengabarimu. Kurasa, sudah pernah juga kuceritakan padamu.” 

“Kamu serius? Aduh…, kenapa tak bilang-bilang kalau perginya hari ini? Kau tahu sendiri kan kalau aku masih di kampung. Sebenarnya banyak yang ingin aku ceritakan padamu. Tentang…,” balasnya.

“Iya, serius. Sudahlah, tak mengapa,” selaku. “Haha. Jangan khawatir. Kau tak akan setengah mati merindu. Kalau ada kesempatan, aku akan berlibur ke sini,” balasku. “Eh, jaket kelinciku masih ada padamu kan?”

“Oh iya. Jadi aku harus bagaimana?”

“Haha. Tak apa-apa. Kau pakai saja. Aku meninggalkannya sebagai kenang-kenanganku untukmu.” Sengaja kutinggalkan jaket kelinciku untuk Dian di malam sepulang nonton konser. Jaket berbulu, bermotif hitam putih, dengan tiruan telinga kelinci di atas kupluknya. Aku tak ingin pujian Alin teringat-ingat sepanjang waktu.

"Terima kasih kalau begitu," katanya. "Oh iya, sebagai balasannya, kaset dariku, kau ambil saja."

Sejenak berpikir, kuiyakan saja tawaran itu. "Baiklah. Aku tak akan menolak."

Lima detik selanjutnya, kami saling mendiamkan. Lidahku kelu. Banyak rahasia yang harus kujaga agar tak meluncur dari mulutku. Entah bagaimana dia.

Kemudian ia berucap lagi. Terkesan seperti kata-kata perpisahan untuk selama-lamanya. “Maafkan aku untuk semuanya Lola. Juga untuk yang tak kau ketahui."

Aku merasa aneh mendengar kesenduannya. Lebay. Semua tentang kamu kan aku tahu. Memangnya kau punya dosa rahasia? Ada-ada saja kamu. Sudahlah."

"Baiklah kalau begitu. Terima kasih untuk semuanya, kawan," pungkasnya. 

Obrolan kami pun berakhir. Tentu saja tak pernah menyinggung tentang Alin. Aku enggan menanyakan tentangnya. Takut Dian berpikir bagaimana-bagaimana tentang perasaanku. Ia juga tak menyinggungnya lagi, seperti satu malam yang berlalu.

Tahukah lagu yang kau suka?
Tahukah bintang yang kau sapa?
Tahukah rumah yang kau tuju?
Itu aku!

Kudengar lagi lagu itu di walkman jadulku. Kuputar sebagai lagu perpisahan. Bait lagu Itu Aku pernah dilantunkan seseorang pada satu malam yang lalu. Kejadiannya pada acara bazar musik penggalangan dana pembinaan mahasiswa di sebuah kafe, tempat aku, Alin, dan Dian pernah bertemu. Aku menyaksikan bersama teman-temanku semasih baru berstatus mahasiswa. Di sanalah mulanya aku pertama kalinya melihat wajah culun yang lekas tampak dewasa. Mengagumkan. Selalu kuingat parasnya sampai sekarang. Persis Alin. Dia. Dialah yang menyanyikannya lagu Itu Aku berbekal sebuah gitar akustik. Penampilannya membuatku kagum dan tak sadar bertingkah bodoh. Hanya aku, seorang gadis dengan jaket kelinci yang memberinya aplaus. Mungkin itu akibat kepekaanku terhadap kualitas musik sangat cetek. Semua wajah akhirnya tertuju padaku. Aku yakin kejadian itu masih membekas diingatannya juga. Tapi sudahlah. 

Kini, kupandangi lagi kaset dari Dian, seorang wanita yang kutahu bukanlah penikmat musik sejati, kecuali untuk mengesankan bahwa ia satu selera dengan Alin. Entah bagaimana ia sampai sudi membeli kaset. Tapi yang pasti, kaset itu berada di tanganku dan berhasil membuatku dilema, antara meninggalkannya saja, atau membawanya pergi bersama kenanganku sendiri. 

Kusibak lembar-lembar bait daftar lagu Sheila On 7 di album Pejantan Tangguh. Ada daftar lirik untuk setiap lagunya. Ampuh. Kusorot bait lagu Itu Aku yang sedang kudengarkan, mungkin untuk yang terakhir kalinya.  

Semoga kau bisa menghafal dan menyanyikannya. Ingatlah momen tentang kita. Itu aku! Sebuah tulisan samar-samar di akhir bait lagu itu, kini membuatku bertanya-tanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar