Perasaan
memang liar. Suka mengabaikan logika. Dengan mudahnya tergugah pada setiap
kesan pertama. Kurasa, seperti di satu hari, ketika pertama kalinya aku melihat
Alin, lelaki berkulit putih dan bermata sipit. Lalu, kami saling menatap ketika
aku mengantar Dian, teman sekampusku, ke sebuah kafe. Ia memaksa ditemani untuk
bertemu teman semasa SMA-nya, seorang lelaki berkacamata. Tak pernah kuduga itu
adalah Alin. Kata Dian, perjumpaan mereka ini bisa jadi yang terakhir kalinya,
sebelum Alin pindah kuliah di kota lain, di pulau seberang. Menatap bola mata
Alin kala itu adalah kesalahan yang tak pernah kurencanakan. Tak bisa juga kuhindari.
“Kenalkan,
ini Lola, teman sekampusku,” tutur Dian, memperkenalkanku pada Alin.
Secara
sungkan, kami pun berjabat tangan. Itu baru awal sebuah kerusuhan batin.
Klimaksnya terjadi kala Dian meninggalkan kami berdua di satu meja. Ia permisi
ke toilet. Kami pun berhadap-hadapan. Masuk dalam suasana yang tak pernah
kubayangkan sebelumnya. Menegangkan sekaligus menyenangkan.
“Mmm.
Bukankah kita pernah bertemu sebelumnya.” Suara berat Alin meluncur segera. Ia
paham bahwa aku tak akan berani memulai percakapan. Sedangkan saling mendiamkan
sungguh tak nyaman.
Kupandangi
sepintas wajahnya. Tak cukup sedetik. “Kurasa tidak,” jawabku singkat.
“Oh,
kalau begitu, mungkin aku saja yang merasa de
javu,” balasnya, lalu hening untuk sesaat. “Ngomong-ngomong, jaketmu lucu.”
Kikuk
sudah aku. Entah kenapa ia begitu lancang memberi penilaian pada penampilanku. Kuharap
ia tak ada maksud menyanjung atau mempermainkanku. Hanya buah dari perasaannya
yang juga deg-degan berhadapan denganku. Akhirnya, syukurlah. Dian tiba-tiba
muncul dan memecah kekakuan di antara kami. Tak perlulah kutanggapi kata-kata
membuai itu.
Menjelang
akhir pertemuan sore itu, Dian dan Alin tampak sama-sama berat untuk berpisah.
Bagitulah sesi paling menyebalkan dari sebuah pertemuan: perpisahan. Berani
memulai berarti harus siap mengakhiri. Maklumlah, pertemuan itu mungkin saja
jadi akhir cerita Alin dan Dian. Aku tak berani memvonis. Kalau memang ada
perasaan di antara mereka, bisa jadi perpisahan adalah jeda untuk menumpuk
rindu, lalu bertemu kembali dengan cinta yang menggebu. Entahlah. Aku tak tahu
juga mereka teman atau lebih dari itu. Kulihat mereka sangat dekat. Suka
bercanda dan saling menjaili. Yang pasti ini akan jadi masalah bagiku, seorang
yang terlalu mudah kagum pada lawan jenis, pada Alin. Ini bisa jadi awal cerita
imaji yang menyesakkan bagiku. Sebuah pertemuan tanpa perpisahan. Memendam
perasaan tapi tak bernyali.
Malam
datang. Saatnya mengabiskan waktu seperti biasa. Mengerjakan tugas sambil
mengobrolkan persoalan yang sebenarnya tak penting di kamarku, bersama teman
baikku, Dian.
“Lola,
ternyata terlalu dekat dengan lawan jenis itu ujung-ujungnya dilema ya.
Walaupun dikatakan sekadar teman biasa, tapi kalau perasaan bicara lain? Ah…,”
tuturnya sambil memandangi langit-langit kamar. Dia sepertinya sulit berkonsentrasi
mengerjakan tugas. Dari tadi ia gusar sendiri. “Yang paling menjengkelkan
adalah ketika perasaan itu datang terlambat. Muncul saat perpisahan. Saat
merasa kehilangan, kita baru sadar ingin memiliki bukan sebagai teman, tapi…. Yang
lebih parah ketika kita sama-sama tak sadar lagi sebagai lawan jenis. Lupa
kalau masih punya kecenderungan untuk saling menyukai. Kita akhirnya tak saling
sungkan. Saling jujur-jujuran tentang semua hal, termasuk tentang sosok pujaan
masing-masing, padahal…. Ah, sudahlah!”
“Humm.
Mewek lagi. Katanya wanita tangguh. Pasti gara-gara Alin kan? Sudahlah. Kalau
memang dia merasa memiliki sama sepertimu, dia akan datang kembali menemuimu.
Kurasa sih, jika tanpa embel-embel kata cinta, tapi kita bisa saling menyayangi
dan mengasihi, itu sudah cukup. Biar pun itu disebutnya teman saja. Iya kan?
Itu yang pernah kamu katakan padaku kawan.” Aku mencoba menenangkannya.
Dian
hanya mengangguk. “Tapi, kau tahu Lola…? Ah, sudahlah!”
***
“La!”
Suara Dian mengagetkanku. Ia mengentakkan kaki di sampingku. “Hei, aku punya
kabar gembira untukmu.”
“Apa?”
tanyaku.
“Hari
ini aku sangat bahagia. Alin meneleponku. Katanya, ia tak jadi pindah kuliah!
Ah…. Senangnya aku,” jawabnya dengan mimik berlebihan. “Kau tahu yang paling
membuatku senang? Katanya, ia tak jadi pergi dan membiarkan tiket pesawatnya
hangus karena alasan seorang perempuan. Ah…. Itu pasti aku! Siapa lagi coba?”
“Iya-iya.
Itu pasti kamu. Siapa lagi,” jawabku. Berusaha membuatnya besar kepala.
“Eh,
ada lagi. Nanti malam kan kita tak ada tugas. Kamu ada waktu kan?” tanyanya
lagi.
“Memangnya
mau bikin apa?” tanyaku penasaran.
“Alin
mengajakku nonton konser musik. Sheila On 7 bro!” serunya penuh semangat. “Kamu
bisa ikut kan? Katanya, dia punya tiga tiket. Rencananya, satunya untuk seorang
temannya. Tapi temannya itu tak bisa datang. Jadi bisa kan?”
“Mmm,
baiklah. Kasian tiketnya mubazir,” pungkasku.
Malamnya, kami pun melewati malam bersama. Bertiga
lagi. Menyaksikan Duta menyanyikan lagu-lagu kerennya. Dian berdiri di samping
kanan Alin. Mepet. Mereka mengobrol di sela-sela konser. Mengomentari setiap
lagu seusai dilantunkan. Sedang aku di sebelah kanan Dian. Mencoba menguping
tutur kata mereka yang samar-samar di tengah riuhnya penonton. Rasa penasaranku
selalu bertanya-tanya, kalau-kalau Alin mengutarakan sesuatu yang privasi pada Dian.
“Ya!
Aku suka lagu yang ini,” seru Alin. “Kalian juga suka kan?” Mata Alin
menatapku. Seakan ingin mengetahui pendapatku.
“Huuu,
laguku!” sorak Dian segera.
Aku
hanya mengangguk. Memberikan isyarat padanya kalau aku juga suka. Sebenarnya
suka.
Tahukah lagu
yang kau suka?
Tahukah bintang
yang kau sapa?
Tahukah rumah
yang kau tuju?
Itu aku!
Dian
dan Alin bersuara, mengikuti alunan nadanya. Aku yang sadar bersuara standar
dan tak peka nada, memilih bergumam seadanya.
“Lola,
bersuara juga dong. Kamu tak hafal lagunya?” teriak Alin di tengah keriuhan.
Memampang wajah bersahabatnya padaku.
Aku
menggeleng-gelengkan kepala.
“Kamu
harus hafal lagu ini,” tuturnya lagi.
Kulayangkan
senyumku padanya.
Akhirnya,
satu setengah jam berlalu. Semua berakhir dengan suasana yang tak berubah. Tak
ada tanda-tanda perkembangan hubungan Alin dan Dian. Kami pun meningggalkan
keramaian. Kosong. Aku benar-benar penasaran tentang akhir hubungan mereka.
***
Jenuh
kurasa. Kutekadkan mengakhiri pengharapanku cukup sampai di sini. Tak sepantasnya
aku menumpuk rasa suka pada seseorang yang kutahu jelas dambaan teman baikku
sendiri. Ini juga akan jadi alasan baik untuk menghentikan perdebatan dengan
ayahku yang meminta agar aku pindah tempat kuliah, mengikuti tempat kerjanya di
pulau lain. Di tempat jauh nanti, aku yakin akan menemukan banyak teman baru
dan melupakan dilema perasaan di kota ini. Tentu juga menemukan kesan pengganti
pada lelaki pendatang baru, dambaanku sendiri. Hanya aku dan dia.
“Dian,
Sore ini aku ke pulau seberang, mengikuti ayahku. Aku transfer kuliahku. Semua
administrasinya sudah kelar. Aku sisa pindah tempat,” tuturku pada Dian via
telepon, setelah menghabiskan beberapa menit berbasa-basi. “Maaf aku baru
mengabarimu. Kurasa, sudah pernah juga kuceritakan padamu.”
“Kamu
serius? Aduh…, kenapa tak bilang-bilang kalau perginya hari ini? Kau tahu
sendiri kan kalau aku masih di kampung. Sebenarnya banyak yang ingin aku
ceritakan padamu. Tentang…,” balasnya.
“Iya,
serius. Sudahlah, tak mengapa,” selaku. “Haha. Jangan khawatir. Kau tak akan
setengah mati merindu. Kalau ada kesempatan, aku akan berlibur ke sini,”
balasku. “Eh, jaket kelinciku masih ada padamu kan?”
“Oh
iya. Jadi aku harus bagaimana?”
“Haha.
Tak apa-apa. Kau pakai saja. Aku meninggalkannya sebagai kenang-kenanganku
untukmu.” Sengaja kutinggalkan jaket kelinciku untuk Dian di malam sepulang
nonton konser. Jaket berbulu, bermotif hitam putih, dengan tiruan telinga
kelinci di atas kupluknya. Aku tak ingin pujian Alin teringat-ingat sepanjang
waktu.
"Terima kasih kalau begitu," katanya. "Oh iya, sebagai balasannya, kaset dariku, kau ambil saja."
Sejenak berpikir, kuiyakan saja tawaran itu. "Baiklah. Aku tak akan menolak."
Lima detik selanjutnya, kami saling mendiamkan. Lidahku kelu. Banyak rahasia yang harus kujaga agar tak meluncur dari mulutku. Entah bagaimana dia.
Kemudian ia berucap lagi. Terkesan seperti kata-kata perpisahan untuk selama-lamanya. “Maafkan aku untuk semuanya Lola. Juga untuk yang tak kau ketahui."
Sejenak berpikir, kuiyakan saja tawaran itu. "Baiklah. Aku tak akan menolak."
Lima detik selanjutnya, kami saling mendiamkan. Lidahku kelu. Banyak rahasia yang harus kujaga agar tak meluncur dari mulutku. Entah bagaimana dia.
Kemudian ia berucap lagi. Terkesan seperti kata-kata perpisahan untuk selama-lamanya. “Maafkan aku untuk semuanya Lola. Juga untuk yang tak kau ketahui."
Aku merasa aneh mendengar kesenduannya. “Lebay. Semua tentang kamu kan aku
tahu. Memangnya kau punya dosa rahasia? Ada-ada saja kamu. Sudahlah."
"Baiklah kalau begitu. Terima kasih untuk semuanya, kawan," pungkasnya.
"Baiklah kalau begitu. Terima kasih untuk semuanya, kawan," pungkasnya.
Obrolan
kami pun berakhir. Tentu saja tak pernah menyinggung tentang Alin. Aku enggan
menanyakan tentangnya. Takut Dian berpikir bagaimana-bagaimana tentang
perasaanku. Ia juga tak menyinggungnya lagi, seperti satu malam yang berlalu.
Tahukah lagu
yang kau suka?
Tahukah bintang
yang kau sapa?
Tahukah rumah
yang kau tuju?
Itu aku!
Kudengar
lagi lagu itu di walkman jadulku.
Kuputar sebagai lagu perpisahan. Bait lagu Itu
Aku pernah dilantunkan seseorang pada satu malam yang lalu. Kejadiannya pada
acara bazar musik penggalangan dana pembinaan mahasiswa di sebuah kafe, tempat
aku, Alin, dan Dian pernah bertemu. Aku menyaksikan bersama teman-temanku
semasih baru berstatus mahasiswa. Di sanalah mulanya aku pertama kalinya
melihat wajah culun yang lekas tampak dewasa. Mengagumkan. Selalu kuingat
parasnya sampai sekarang. Persis Alin. Dia. Dialah yang menyanyikannya lagu Itu Aku berbekal sebuah gitar akustik.
Penampilannya membuatku kagum dan tak sadar bertingkah bodoh. Hanya aku,
seorang gadis dengan jaket kelinci yang memberinya aplaus. Mungkin itu akibat kepekaanku
terhadap kualitas musik sangat cetek. Semua wajah akhirnya tertuju padaku. Aku
yakin kejadian itu masih membekas diingatannya juga. Tapi sudahlah.
Kini, kupandangi lagi kaset dari Dian, seorang wanita yang kutahu bukanlah penikmat musik sejati, kecuali untuk mengesankan bahwa ia satu selera dengan Alin. Entah bagaimana ia sampai sudi membeli kaset. Tapi yang pasti, kaset itu berada di tanganku dan berhasil membuatku dilema, antara meninggalkannya saja, atau membawanya pergi bersama kenanganku sendiri.
Kusibak lembar-lembar bait daftar lagu Sheila On 7 di album Pejantan Tangguh. Ada daftar lirik untuk setiap lagunya. Ampuh. Kusorot bait lagu Itu Aku yang sedang kudengarkan, mungkin untuk yang terakhir kalinya.
Kusibak lembar-lembar bait daftar lagu Sheila On 7 di album Pejantan Tangguh. Ada daftar lirik untuk setiap lagunya. Ampuh. Kusorot bait lagu Itu Aku yang sedang kudengarkan, mungkin untuk yang terakhir kalinya.
Semoga
kau bisa menghafal dan menyanyikannya. Ingatlah momen tentang kita. Itu aku! Sebuah
tulisan samar-samar di akhir bait lagu itu, kini membuatku bertanya-tanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar