Jumat, 15 Januari 2016

Sebuah Nama

Pada hari-hari kemarin, aku tak pernah berencana menuliskan cerita tentang kita. Kurasa, kisah kita terlalu romantis untuk diumbar-umbar, kalaupun kau. Tapi kupikir lagi, perlu juga orang lain meniru cara kita saling mencintai. Aku ingin berbagi pelajaran pada semua orang, tentang bagaimana cinta yang sesungguhnya. Kurasa tak baik jika hanya aku yang tahu caranya menjadi lelaki paling romantis di dunia. Sedangkan kau menjadi satu-satunya perempuan anggun di dunia. Terlalu egois jika begitu. Aku ingin semua orang di dunia memiliki alur cerita yang mengesankan seperti kita, bukan terjebak dalam kisah murahan yang palsu.
 
Sungguh, aku tak pernah menduga, apalagi memaksakan kisah kita bermuara ke mana. Sejak mengenalmu, aku tak pernah mau mengatakan perasaanku padamu. Bukan tak mampu, apalagi tak berani. Sekali lagi, aku adalah lelaki terjantan yang paling romantis di dunia. Karena itu juga, aku akan merasa sangat berdosa jika kau sampai tahu kata hatiku yang sejujurnya. Aku tak ingin membuaimu. Membawamu ke dalam surga yang sesungguhnya neraka. Tak ada gunanya mempermainkan perasaan masing-masing, bak hidup dalam dunia ilusi. Begitulah caraku menjaga dan menyayangimu.

Penantian panjang ini, bahkan sampai kapan pun, tak pernah membosankan bagiku. Aku yakin, kaulah jiwa yang kurindukan sejak ruh ditiupkan pada jasadku. Sejak saat itulah, kita saling menumpuk rindu tanpa tutur kata-kata cinta. Waktu-waktu yang berjalan setelahnya bukanlah perentang jarak, tetapi mendekatkan kita pada pertemuan suci untuk menebus rindu. Selalu kuyakin nama kita disandingkan dalam kitab takdir. Apalagi sejak kutahu kau menolak mentah-mentah bunga dari para pelantun puisi murahan untuk mengajakmu mememadu kasih yang belum saatnya. Sejak saat itu, aku yakin kau menungguku, sama dengan sikapku terhadapmu. Semoga kita jadi pemenang-pemenang cinta.

Melihat pergolakan dunia kadang juga membuatku was-was telah membiarkan tentang kita dalam ketidakjelasan. Menerka-nerka. Hingga ujung-ujungnya nanti, takdir kita diubah karena sikapku yang menyia-nyiakan kesempatan. Kau pun terrenggut karena menunggu melampaui batas. Bencilah aku sebagai lelaki paling pengecut kalau begitu. Pergi menjauh entah ke mana, sampai waktu memudarkan harapan kita yang menggantung. Ataukah sebenarnya, kau tak tahu perasaanku, atau memang perasaanku padamu tak berbalas. Terkutuklah akulah yang terlalu perasa, mendambakan dan suka memata-mataimu, hingga tak bisa lepas dari jeratmu. Sedangkan kau sebenarnya tak mengapa. Tapi kupikir lagi, sebelum aku siap dan sungguh-sungguh mencintaimu, lebih baik begitu. Jika pun kau akhirnya dengan yang lain, setidaknya karena rasa tak terucap, kau tak perlu terbebani keadaanku. Sudah bersyukur aku mencintaimu diam-diam. 

Sampai kini, harapan itu masih menyala. Kurasa begitu. Dirimu masih tak tergoyahkan serangan bertubi-tubi dari para penjilat perasaan. Sikapmu itu meyakinkanku untuk meneguhkan perasaan dan terus bertahan. Aku rela menunggu dalam ketidakpastian untukmu, meski dicap lelaki paling bodoh dan asing di dunia. Dianggap menyia-nyiakan kelaki-lakian. Biarlah aku menyendiri demi angan indah bersamamu kelak, meski masih tanda tanya. Tetap akan kujaga memoriku dari virus-virus masa lalu, demi masa depan kita. Aku tak ingin kau punya pembanding kalau-kalau nanti, kita benar-benar bersama.   

Sekarang kita telah terpisah. Aku kehilangan jejakmu. Tapi sudahlah. Jika memang kita ditakdirkan bersama, kepergianmu hanya selingan, lalu kau akan kembali membawa cintamu yang teruji. Dan….

“Kawan, lihat! Bagaimana desain undangannya menurutmu,” tanya teman kerjaku. “Si calon isteri menilai desain ini sudah bagus kok.”

Aku terpaksa menghentikan ketikanku, lalu menghampirinya di gerbang pintu. Kusorot huruf demi huruf. A-I-R-I-N R-I-T-A-M-I dan A-K-I-L S-U-J-I-W-O. “Kurasa tak ada masalah. Begini sudah menarik,” balasku.

Beginilah aku sekarang. Aku hanya pegawai di salah satu percetakan undangan pernikahan. Syukurlah, aku tidak sedang bercerita tentang Airin dalam ceritaku ini. Tentu saja bukan dia. Cerita ini tentang kekagumanku pada seeorang. Tak usah kusebutkan namanya. Dia adalah Tanpa Nama. Anonim. 

Notifikasi muncul di tab mesin pencari laptopku. Aku dapat pesan melalui email. 

“Hai, aku salah seorang pembaca setiamu. Aku menunggu gubahan ceritamu tentangku,” tulisnya.

“Maaf, nama anda siapa?” balasku, bertanya.

“Aku Tanpa Nama,” balasnya

Kini aku tahu, ada seseorang yang memata-mataiku. Apakah itu kau?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar