Pada
hari-hari kemarin, aku tak pernah berencana menuliskan cerita tentang kita.
Kurasa, kisah kita terlalu romantis untuk diumbar-umbar, kalaupun kau. Tapi
kupikir lagi, perlu juga orang lain meniru cara kita saling mencintai. Aku
ingin berbagi pelajaran pada semua orang, tentang bagaimana cinta yang
sesungguhnya. Kurasa tak baik jika hanya aku yang tahu caranya menjadi lelaki
paling romantis di dunia. Sedangkan kau menjadi satu-satunya perempuan anggun
di dunia. Terlalu egois jika begitu. Aku ingin semua orang di dunia memiliki alur
cerita yang mengesankan seperti kita, bukan terjebak dalam kisah murahan yang
palsu.
Sungguh,
aku tak pernah menduga, apalagi memaksakan kisah kita bermuara ke mana. Sejak
mengenalmu, aku tak pernah mau mengatakan perasaanku padamu. Bukan tak mampu,
apalagi tak berani. Sekali lagi, aku adalah lelaki terjantan yang paling
romantis di dunia. Karena itu juga, aku akan merasa sangat berdosa jika kau sampai
tahu kata hatiku yang sejujurnya. Aku tak ingin membuaimu. Membawamu ke dalam
surga yang sesungguhnya neraka. Tak ada gunanya mempermainkan perasaan
masing-masing, bak hidup dalam dunia ilusi. Begitulah caraku menjaga dan
menyayangimu.
Penantian
panjang ini, bahkan sampai kapan pun, tak pernah membosankan bagiku. Aku yakin,
kaulah jiwa yang kurindukan sejak ruh ditiupkan pada jasadku. Sejak saat
itulah, kita saling menumpuk rindu tanpa tutur kata-kata cinta. Waktu-waktu
yang berjalan setelahnya bukanlah perentang jarak, tetapi mendekatkan kita pada
pertemuan suci untuk menebus rindu. Selalu kuyakin nama kita disandingkan dalam
kitab takdir. Apalagi sejak kutahu kau menolak mentah-mentah bunga dari para
pelantun puisi murahan untuk mengajakmu mememadu kasih yang belum saatnya.
Sejak saat itu, aku yakin kau menungguku, sama dengan sikapku terhadapmu.
Semoga kita jadi pemenang-pemenang cinta.
Melihat
pergolakan dunia kadang juga membuatku was-was telah membiarkan tentang kita
dalam ketidakjelasan. Menerka-nerka. Hingga ujung-ujungnya nanti, takdir kita
diubah karena sikapku yang menyia-nyiakan kesempatan. Kau pun terrenggut karena
menunggu melampaui batas. Bencilah aku sebagai lelaki paling pengecut kalau begitu.
Pergi menjauh entah ke mana, sampai waktu memudarkan harapan kita yang
menggantung. Ataukah sebenarnya, kau tak tahu perasaanku, atau memang
perasaanku padamu tak berbalas. Terkutuklah akulah yang terlalu perasa, mendambakan
dan suka memata-mataimu, hingga tak bisa lepas dari jeratmu. Sedangkan kau
sebenarnya tak mengapa. Tapi kupikir lagi, sebelum aku siap dan sungguh-sungguh
mencintaimu, lebih baik begitu. Jika pun kau akhirnya dengan yang lain,
setidaknya karena rasa tak terucap, kau tak perlu terbebani keadaanku. Sudah
bersyukur aku mencintaimu diam-diam.
Sampai
kini, harapan itu masih menyala. Kurasa begitu. Dirimu masih tak tergoyahkan
serangan bertubi-tubi dari para penjilat perasaan. Sikapmu itu meyakinkanku
untuk meneguhkan perasaan dan terus bertahan. Aku rela menunggu dalam
ketidakpastian untukmu, meski dicap lelaki paling bodoh dan asing di dunia. Dianggap
menyia-nyiakan kelaki-lakian. Biarlah aku menyendiri demi angan indah bersamamu
kelak, meski masih tanda tanya. Tetap akan kujaga memoriku dari virus-virus
masa lalu, demi masa depan kita. Aku tak ingin kau punya pembanding kalau-kalau
nanti, kita benar-benar bersama.
Sekarang
kita telah terpisah. Aku kehilangan jejakmu. Tapi sudahlah. Jika memang kita
ditakdirkan bersama, kepergianmu hanya selingan, lalu kau akan kembali membawa cintamu
yang teruji. Dan….
“Kawan,
lihat! Bagaimana desain undangannya menurutmu,” tanya teman kerjaku. “Si calon
isteri menilai desain ini sudah bagus kok.”
Aku
terpaksa menghentikan ketikanku, lalu menghampirinya di gerbang pintu. Kusorot
huruf demi huruf. A-I-R-I-N R-I-T-A-M-I dan A-K-I-L S-U-J-I-W-O. “Kurasa tak
ada masalah. Begini sudah menarik,” balasku.
Beginilah
aku sekarang. Aku hanya pegawai di salah satu percetakan undangan pernikahan. Syukurlah,
aku tidak sedang bercerita tentang Airin dalam ceritaku ini. Tentu saja bukan
dia. Cerita ini tentang kekagumanku pada seeorang. Tak usah kusebutkan namanya.
Dia adalah Tanpa Nama. Anonim.
Notifikasi
muncul di tab mesin pencari laptopku. Aku dapat pesan melalui email.
“Hai,
aku salah seorang pembaca setiamu. Aku menunggu gubahan ceritamu tentangku,”
tulisnya.
“Maaf,
nama anda siapa?” balasku, bertanya.
“Aku
Tanpa Nama,” balasnya
Kini
aku tahu, ada seseorang yang memata-mataiku. Apakah itu kau?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar