Aku
harus menikmati neraka yang kuciptakan sendiri. Seperti sejak dulu, aku selalu
enteng mengulur-ulur waktu hingga terdesak sendiri. Dua hari ke depan adalah deadline pengumpulan berkas lamaran
kerja. Perusahaan pengiriman barang milik pemerintah membuka lowongan. Lama sudah
aku menganggur, tanpa harapan hidup. Tapi lagi-lagi, kesempatan ini kupermainkan.
Dari rentang waktu dua puluh hari pengumpulan berkas, aku baru grasak-grusuk empat
hari belakangan. Jadinya, hari ini adalah peperangan hidup dan mati bagiku. Jika
berkasku sampai ke alamat tertuju dua hari ke depan, aku masih berkesempatan. Jika
tidak, tamat lagi riwayatku. Kembali jadi pengangguran dan bermalas-malasan.
Aku setengah hati jika mengurusi kebun dan ternak yang hasilnya tak memuaskan.
Semalam,
berkas lamaran kerja telah kupastikan lengkap, sebelum aku pasrah terlelap.
Sekarang, jam menunjukkan pukul 15.00 tepat. Sejam lagi, cabang perusahaan
pengiriman barang akan tutup. Tak lagi menerima daftar pengiriman hari ini. Aku
benar-benar diburu waktu. Akhirnya, kondisi harus dipaksakan. Tak akan kuhabiskan
waktu berlama-lama untuk mengecek kesiapan motor bututku, termasuk memanasi
mesinnya. Berbekal cok, langsung saja kukebut motor itu setelah menyala. Kulajukan
dengan kecepatan semaksimal mungkin. Sangat beresiko memang. Apalagi, beberapa
malam yang lalu, motor tua itu mogok karena diperlakukan tak layak. Kali ini,
lagi-lagi keadaan kubuat memaksa. Salahku. Kuhitung-hitung, jika lancar,
sekitar 30 menit kuhabiskan di perjalanan. Rumahku memang jauh dari ibukota
provinsi, tempat kantor pengiriman barang terdekat.
Kutekadkan,
selama perjalanan, akan kumanfaatkan setiap detik sebaik mungkin. Akan
kuabaikan semua godaan yang dapat mengulur-ulur waktuku. Kupasrahkan rasa
dahaga dan lapar menghujam sistem pencernaanku. Aku memang tak menyantap apa pun
selama sehari. Pasti kubalas juga dengan santapan terenak setelah urusan
pengiriman berkas selesai. Memenangkan pertempuran lebih penting. Klakson motor
kufungsikan dengan baik. Sangat efektif menyingkirkan penghuni jalan lain yang
tak pernah tahu mendebarkannya pertempuran ini. Mataku harus fokus menatap
jalan di depan. Sebisa mungkin, kumanfaatan celah kosong di jalanan untuk
nyelap-nyelip. Mengurangi jarak yang ada, meski semili.
Tapi
tak kuduga, godaan benar-benar datang mengujiku. Ini bukan tentang urusan
lambung. Kulihat, di bawa paparan debu dan panas aspal yang menyesakkan, seorang
bapak tua, seperti sudah kepala lima, sedang mendorong motornya yang mogok. Aku
mencoba tak peduli. Waktuku akan terbuang sia-sia jika repot-repot membantunya.
Tapi mengabaikan kenyataan itu akan membuatku sangat berdosa. Dia pasti
setengah mati jika harus mendorong motornya sejauh dua kilometer ke depan,
menuju bengkel terdekat. Apalagi, kebanyakan orang di kota acuh tak acuh. Kuingat
lagi ketika di satu waktu, lewat tengah malam, motorku mogok. Seseorang datang
begitu saja dan menumpu motorku dengan kaki sejauh lebih tiga kilometer. Aku
takut karma. Akhirnya, aku menepi, berbalik arah, dan menghampirinya.
“Motornya
mogok Pak?” tanyaku.
“Iya
Nak. Syukurlah, bengkel tak jauh lagi,” jawabnya sembari mengusap cucuran
keringat di dahi dan pipinya. Mencoba memberi isyarat bahwa ia masih kuat
mendorong motornya, meski terlihat sangat capek.
“Masih
ada sekitar dua kilometer Pak. Biar aku bantu. Naik saja di motor, biar aku
tumpu dengan kaki dari belakang,” tawarku.
“Tapi
kau kelihatannya buru-buru Nak. Tak usah. Biarlah kudorong saja,” balasnya
sambil tersenyum.
“Tak
mengapa Pak. Aku sudah terbiasa melakukannya,” jawabku sambil menutupi raut
wajahku yang masam karena terburu-buru. Berusaha membuatnya yakin untuk
menerima tawaranku.
Akhirnya,
ia pun bersedia kubantuan. “Baiklah. Kau yang memaksa,” tuturnya sambil tertawa
kecil. Mencoba mencairkan suasana.
Sesampainya
di bengkel, aku mencoba menghindari percakapan panjang. Waktuku sisa 30 menit sebelum
kantor pengiriman barang tutup. Itu pun kalau tak tutup lebih awal dari jam
kerja biasanya.
“Nak,
terima kasih sudah membantu. Ambillah ini untukmu membeli sesuatu. Anggap saja,
kita impas dengan ini. Kau pasti tahu, sungguh tak enak merasa berutang budi.
Aku senang jika kau menerimanya.” Bapak itu menawarkan selembar uang Rp.
100.000,-.
“Tak
usah Pak. Malah aku yang harusnya berterima kasih telah diberikan kesempatan
berbuat baik,” balasku, menolak secara halus. Segera kunyalakan motorku, lalu
pergi secepatnya setelah mengucapkan salam. Aku harap ia mengerti. Kuintip
sekilas Bapak di kaca spion. Ia terlihat melambaikan tangannya. Kuduga ia masih
butuh waktu bernegosiasi denganku.
Kulajukan
kembali motorku pada tujuan yang sesungguhnya. Waktuku semakin singkat. Masih butuh
lima belas menit untuk sampai ke sana. Sisa 15 menitnya lagi, akan habis untuk
mengantre dan menyelesaikan semua proses administrasi. Aku benar-benar terburu
waktu.
Sesampainya
di parkiran kantor pengiriman, kurasa sangat lega. Apalagi, tampak di balik
dinding kacanya, tak terlihat ada antrean seperti biasanya di dalam. Aku pun
bergegas masuk.
“Permisi
Pak, ada yang bisa kami bantu?” tutur satpam di gerbang pintu, seperti
biasanya.
“Aku
mau mengirim berkas lamaran kerja Pak. Masih bisa kan?” tuturku.
“Maaf
Pak. Setengah jam lalu kami sudah tutup. Para pegawai pun sudah beres-beres
untuk segera pulang. Besok saja Pak, ya,” usulnya.
Pandanganku
tiba-tiba gelap. Aku tak menyangka nasibku akan sesial ini. Kusesali sudah,
kenapa juga aku harus menolong Bapak tua yang namanya pun tak kutahu itu.
“Tapi
Pak, jika tak dikirim hari ini, berkasku akan sampai setelah deadline. Itu artinya, harapanku untuk
dapat kerja juga pupus Pak. Aku mohon, tolong Pak,” tuturku dengan wajah lesu,
coba mengiba.
“Sekali
lagi kami mohon maaf,” balasnya singkat, sambil menyungging.
Aku
menggerutu dalam hati. Kurang ajar! Pegawai pemerintah memang semena-mena.
Datang dan pulang kerja pada waktu yang ia inginkan. Tak ada aturan. Nanti
kalau lamaranku berhasil dan aku kerja di kantor pusat cabang ini,
pegawai-pegawai tak beradab akan kupangkas.
Aku
coba melampiaskan amarahku.
“Lalu
bekasku ini…. harus aku apakan Pak?” tuturku dengan intonasi yang diba-tiba
menurun di ujung kalimat. Aku tersentak. Merasa rugi saja marah-marah. Berkas
lamaran yang kucoba gapai di tas kecil belakangku, lenyap. Pikirku, pasti
tercecer di jalan. Salahku juga menarunya di tas yang tak seharusnya. Tas mini
untuk berkas berukuran sekitar 20 x 30 cm. Sepertinya, separuh map yang tak
masuk ke ruang tas, tertiup angin, lalu jatuh. “Baiklah Pak, aku tak bisa
memaksa kalau begitu. Permisi,” pungkasku dengan nada datar, sebelum satpam
kekar itu membalas.
Terpaksa,
aku susuri jalanku kembali. Pulang dengan perasaan kecewa. Selera makanku pun
tiba-tiba hilang. Ada pelajaran dari kekalahanku pada waktu hari ini, bahwa
menjadi orang yang terlalu baik demi orang lain, ternyata tak selamanya tepat.
Menolong orang lain juga harus dipikir-pikir untung ruginya bagi diri sendiri. Kadang-kadang,
menjadi egois itu harus. Tapi dari semua kesialan itu, kusadari, ternyata mengulur-ulur
waktu juga ada baiknya. Aku bersyukur tak mengurus berkas lamaran kerja jauh-jauh
hari. Bisa dibayangkan, betapa terpuruknya kurasa jika mengurus sejak sebulan
yang lalu, dan akhirnya sia-sia begini.
Lima
hari berlalu setelah kucoba mencari pekerjaan lain dan melupakan hari terkonyol
yang lalu, sebuah pesan singkat masuk ke ponselku. Inti pesannya menyatakan aku
lolos berkas untuk penerimaan pegawai pada kantor pusat perusahaan pengiriman barang
milik pemerintah itu. Aku akan menghadapi tes tertulis seminggu ke depan. Betapa
kagetnya kurasa. Tak pernah kuduga. Entah bagaimana ceritanya.
“Bagaimana
seleksi berkas lamaran pekerjaannya Nak. Lolos?” tutur seseorang lelaki di
ujung telepon lima jam kemudian. Seraknya seperti suara ayahku. Aku terheran
lagi, bagaimana bisa ayahku tahu kalau aku telah melamar pekerjaan.
“Syukurlah.
Aku lolos berkas Yah. Ayah ganti nomor lagi?” balasku.
“Maaf
sebelumnya Nak. Aku tak pernah memberi kabar padamu tentang kejadian lima hari
yang lalu padamu. Ini aku, Pak Ardan, lelaki tua yang kau tolong di jalan dulu
karena motornya mogok,” balasnya lagi.
Asumsi-asumsi
bertebaran di benakku. “Jadi….,” aku bertutur terbata-bata.
Tak
kuduga, dia menemukan berkas lamaran pekerjaanku yang jatuh di pelataran
bengkel, setelah aku menolongnya. Dia juga yang mengirimkannya ke alamat yang
aku maksud di surat lamaran. Ternyata, dia adalah kepala cabang kantor
pengiriman barang, tempatku bermaksud mengirimkan berkas. Sungguh tak terduga.
Sekarang, pelajaran tentang kejadian lima hari lalu yang penuh kejutan, harus
kuubah dan kutegaskan: aku akan tetap
jadi penolong, tanpa pamrih, sebagaimana orang lain telah memperlakukanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar