Jumat, 15 Januari 2016

Berkas Lamaran

Aku harus menikmati neraka yang kuciptakan sendiri. Seperti sejak dulu, aku selalu enteng mengulur-ulur waktu hingga terdesak sendiri. Dua hari ke depan adalah deadline pengumpulan berkas lamaran kerja. Perusahaan pengiriman barang milik pemerintah membuka lowongan. Lama sudah aku menganggur, tanpa harapan hidup. Tapi lagi-lagi, kesempatan ini kupermainkan. Dari rentang waktu dua puluh hari pengumpulan berkas, aku baru grasak-grusuk empat hari belakangan. Jadinya, hari ini adalah peperangan hidup dan mati bagiku. Jika berkasku sampai ke alamat tertuju dua hari ke depan, aku masih berkesempatan. Jika tidak, tamat lagi riwayatku. Kembali jadi pengangguran dan bermalas-malasan. Aku setengah hati jika mengurusi kebun dan ternak yang hasilnya tak memuaskan.

Semalam, berkas lamaran kerja telah kupastikan lengkap, sebelum aku pasrah terlelap. Sekarang, jam menunjukkan pukul 15.00 tepat. Sejam lagi, cabang perusahaan pengiriman barang akan tutup. Tak lagi menerima daftar pengiriman hari ini. Aku benar-benar diburu waktu. Akhirnya, kondisi harus dipaksakan. Tak akan kuhabiskan waktu berlama-lama untuk mengecek kesiapan motor bututku, termasuk memanasi mesinnya. Berbekal cok, langsung saja kukebut motor itu setelah menyala. Kulajukan dengan kecepatan semaksimal mungkin. Sangat beresiko memang. Apalagi, beberapa malam yang lalu, motor tua itu mogok karena diperlakukan tak layak. Kali ini, lagi-lagi keadaan kubuat memaksa. Salahku. Kuhitung-hitung, jika lancar, sekitar 30 menit kuhabiskan di perjalanan. Rumahku memang jauh dari ibukota provinsi, tempat kantor pengiriman barang terdekat.

Kutekadkan, selama perjalanan, akan kumanfaatkan setiap detik sebaik mungkin. Akan kuabaikan semua godaan yang dapat mengulur-ulur waktuku. Kupasrahkan rasa dahaga dan lapar menghujam sistem pencernaanku. Aku memang tak menyantap apa pun selama sehari. Pasti kubalas juga dengan santapan terenak setelah urusan pengiriman berkas selesai. Memenangkan pertempuran lebih penting. Klakson motor kufungsikan dengan baik. Sangat efektif menyingkirkan penghuni jalan lain yang tak pernah tahu mendebarkannya pertempuran ini. Mataku harus fokus menatap jalan di depan. Sebisa mungkin, kumanfaatan celah kosong di jalanan untuk nyelap-nyelip. Mengurangi jarak yang ada, meski semili.

Tapi tak kuduga, godaan benar-benar datang mengujiku. Ini bukan tentang urusan lambung. Kulihat, di bawa paparan debu dan panas aspal yang menyesakkan, seorang bapak tua, seperti sudah kepala lima, sedang mendorong motornya yang mogok. Aku mencoba tak peduli. Waktuku akan terbuang sia-sia jika repot-repot membantunya. Tapi mengabaikan kenyataan itu akan membuatku sangat berdosa. Dia pasti setengah mati jika harus mendorong motornya sejauh dua kilometer ke depan, menuju bengkel terdekat. Apalagi, kebanyakan orang di kota acuh tak acuh. Kuingat lagi ketika di satu waktu, lewat tengah malam, motorku mogok. Seseorang datang begitu saja dan menumpu motorku dengan kaki sejauh lebih tiga kilometer. Aku takut karma. Akhirnya, aku menepi, berbalik arah, dan menghampirinya.

“Motornya mogok Pak?” tanyaku.

“Iya Nak. Syukurlah, bengkel tak jauh lagi,” jawabnya sembari mengusap cucuran keringat di dahi dan pipinya. Mencoba memberi isyarat bahwa ia masih kuat mendorong motornya, meski terlihat sangat capek.

“Masih ada sekitar dua kilometer Pak. Biar aku bantu. Naik saja di motor, biar aku tumpu dengan kaki dari belakang,” tawarku.

“Tapi kau kelihatannya buru-buru Nak. Tak usah. Biarlah kudorong saja,” balasnya sambil tersenyum.

“Tak mengapa Pak. Aku sudah terbiasa melakukannya,” jawabku sambil menutupi raut wajahku yang masam karena terburu-buru. Berusaha membuatnya yakin untuk menerima tawaranku. 

Akhirnya, ia pun bersedia kubantuan. “Baiklah. Kau yang memaksa,” tuturnya sambil tertawa kecil. Mencoba mencairkan suasana.

Sesampainya di bengkel, aku mencoba menghindari percakapan panjang. Waktuku sisa 30 menit sebelum kantor pengiriman barang tutup. Itu pun kalau tak tutup lebih awal dari jam kerja biasanya.

“Nak, terima kasih sudah membantu. Ambillah ini untukmu membeli sesuatu. Anggap saja, kita impas dengan ini. Kau pasti tahu, sungguh tak enak merasa berutang budi. Aku senang jika kau menerimanya.” Bapak itu menawarkan selembar uang Rp. 100.000,-.

“Tak usah Pak. Malah aku yang harusnya berterima kasih telah diberikan kesempatan berbuat baik,” balasku, menolak secara halus. Segera kunyalakan motorku, lalu pergi secepatnya setelah mengucapkan salam. Aku harap ia mengerti. Kuintip sekilas Bapak di kaca spion. Ia terlihat melambaikan tangannya. Kuduga ia masih butuh waktu bernegosiasi denganku. 

Kulajukan kembali motorku pada tujuan yang sesungguhnya. Waktuku semakin singkat. Masih butuh lima belas menit untuk sampai ke sana. Sisa 15 menitnya lagi, akan habis untuk mengantre dan menyelesaikan semua proses administrasi. Aku benar-benar terburu waktu. 

Sesampainya di parkiran kantor pengiriman, kurasa sangat lega. Apalagi, tampak di balik dinding kacanya, tak terlihat ada antrean seperti biasanya di dalam. Aku pun bergegas masuk.

“Permisi Pak, ada yang bisa kami bantu?” tutur satpam di gerbang pintu, seperti biasanya.

“Aku mau mengirim berkas lamaran kerja Pak. Masih bisa kan?” tuturku.

“Maaf Pak. Setengah jam lalu kami sudah tutup. Para pegawai pun sudah beres-beres untuk segera pulang. Besok saja Pak, ya,” usulnya.

Pandanganku tiba-tiba gelap. Aku tak menyangka nasibku akan sesial ini. Kusesali sudah, kenapa juga aku harus menolong Bapak tua yang namanya pun tak kutahu itu.

“Tapi Pak, jika tak dikirim hari ini, berkasku akan sampai setelah deadline. Itu artinya, harapanku untuk dapat kerja juga pupus Pak. Aku mohon, tolong Pak,” tuturku dengan wajah lesu, coba mengiba.

“Sekali lagi kami mohon maaf,” balasnya singkat, sambil menyungging.

Aku menggerutu dalam hati. Kurang ajar! Pegawai pemerintah memang semena-mena. Datang dan pulang kerja pada waktu yang ia inginkan. Tak ada aturan. Nanti kalau lamaranku berhasil dan aku kerja di kantor pusat cabang ini, pegawai-pegawai tak beradab akan kupangkas. 

Aku coba melampiaskan amarahku.

“Lalu bekasku ini…. harus aku apakan Pak?” tuturku dengan intonasi yang diba-tiba menurun di ujung kalimat. Aku tersentak. Merasa rugi saja marah-marah. Berkas lamaran yang kucoba gapai di tas kecil belakangku, lenyap. Pikirku, pasti tercecer di jalan. Salahku juga menarunya di tas yang tak seharusnya. Tas mini untuk berkas berukuran sekitar 20 x 30 cm. Sepertinya, separuh map yang tak masuk ke ruang tas, tertiup angin, lalu jatuh. “Baiklah Pak, aku tak bisa memaksa kalau begitu. Permisi,” pungkasku dengan nada datar, sebelum satpam kekar itu membalas.

Terpaksa, aku susuri jalanku kembali. Pulang dengan perasaan kecewa. Selera makanku pun tiba-tiba hilang. Ada pelajaran dari kekalahanku pada waktu hari ini, bahwa menjadi orang yang terlalu baik demi orang lain, ternyata tak selamanya tepat. Menolong orang lain juga harus dipikir-pikir untung ruginya bagi diri sendiri. Kadang-kadang, menjadi egois itu harus. Tapi dari semua kesialan itu, kusadari, ternyata mengulur-ulur waktu juga ada baiknya. Aku bersyukur tak mengurus berkas lamaran kerja jauh-jauh hari. Bisa dibayangkan, betapa terpuruknya kurasa jika mengurus sejak sebulan yang lalu, dan akhirnya sia-sia begini. 

Lima hari berlalu setelah kucoba mencari pekerjaan lain dan melupakan hari terkonyol yang lalu, sebuah pesan singkat masuk ke ponselku. Inti pesannya menyatakan aku lolos berkas untuk penerimaan pegawai pada kantor pusat perusahaan pengiriman barang milik pemerintah itu. Aku akan menghadapi tes tertulis seminggu ke depan. Betapa kagetnya kurasa. Tak pernah kuduga. Entah bagaimana ceritanya.

“Bagaimana seleksi berkas lamaran pekerjaannya Nak. Lolos?” tutur seseorang lelaki di ujung telepon lima jam kemudian. Seraknya seperti suara ayahku. Aku terheran lagi, bagaimana bisa ayahku tahu kalau aku telah melamar pekerjaan.

“Syukurlah. Aku lolos berkas Yah. Ayah ganti nomor lagi?” balasku.

“Maaf sebelumnya Nak. Aku tak pernah memberi kabar padamu tentang kejadian lima hari yang lalu padamu. Ini aku, Pak Ardan, lelaki tua yang kau tolong di jalan dulu karena motornya mogok,” balasnya lagi.

Asumsi-asumsi bertebaran di benakku. “Jadi….,” aku bertutur terbata-bata. 

Tak kuduga, dia menemukan berkas lamaran pekerjaanku yang jatuh di pelataran bengkel, setelah aku menolongnya. Dia juga yang mengirimkannya ke alamat yang aku maksud di surat lamaran. Ternyata, dia adalah kepala cabang kantor pengiriman barang, tempatku bermaksud mengirimkan berkas. Sungguh tak terduga. Sekarang, pelajaran tentang kejadian lima hari lalu yang penuh kejutan, harus kuubah dan kutegaskan: aku akan tetap jadi penolong, tanpa pamrih, sebagaimana orang lain telah memperlakukanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar