Setiap
orang hidup dengan penilaian di sana-sini. Menilai memang mudah dan enteng. Masalahnya
adalah, tidak semua penilaian itu objektif. Selalu ada motif tersembunyi dalam
setiap penilaian yang berseliweran. Untuk itu, ada baiknya menimbang-nimbang
kembali penilaian orang lain. Terlebih itu hanya pandangan dan pendapat pribadi
penilai. Menelan mentah-mentah sebuah penilaian akan membuat individu sebagai
objek ternilai tak pernah bisa menjadi dirinya sendiri. Pola kehidupannya
mengikuti selera orang lain. Kebebasan jadi terkekang. Kebahagiaan terkurung
dalam raga. Tak ada kemerdekaan.
Penilaian
orang-orang memang tak perlu dihindari. Selama hidup dan berinteraksi dengan
orang lain, maka saling menilai adalah sebuah keniscayaan. Kritik dan saran
tetaplah penting demi perbaikan diri. Apalagi karena ego, orang kadang merasa
dirinya telah sempurna, sehingga buta atas kekurangannya sendiri. Menutup telinga
terhadap penilaian orang lain adalah perilaku antikritik, atau malah antisosial
yang tak baik. Sikap semacam itu akan membuat seseorang sulit diterima dalam sebuah
lingkungan pergaualan. Terlebih, dalam setiap kelompok atau kominitas, tentu ada
pakem budaya kehidupan. Oleh karena itu, penilaian tetap perlu dipertimbangnya
untuk direfleksikan, lalu mengambil sikap atas penilaian secara cerdas dan
merdeka.
Sebuah
kekeliruan jika menjadi seseorang yang terlalu mudah dilumpuhkan oleh penilaian
individual maupun stigma yang terkesan umum. Padahal kebaikan dan kebenaran sebuah
penilaian, masih perlu diverifikasi. Kadang, tanpa pikir panjang, beberapa
orang turut saja menyesuaikan perilakunya berdasarkan pandangan orang-orang dalam
pergaulannya. Ia rela mengabaikan daya pikir dan perasaannya. Pasrah menenggelamkan
diri dalam lautan pendapat orang lain. Tujuannya sederhana, yaitu agar tak
dicela serta mendapatkan pengakuan dan pujian. Setidaknya, untuk kepentingan
pragmatis, ia dapat diterima dalam lingkungan pergaulannya itu.
Dampak
lanjutan dari kecenderungan seseorang untuk menggubris penilaian secara
buta-buta adalah terciptanya kumpulan individu yang dikendalikan oleh stigma
tak bertuan. Dikatakan tak bertuan sebab sebenanrnya tak ada seorang pun yang
sreg dengan nilai-nilai yang telah dianggap umum itu. Tapi entah kenapa, pola nilai
tanpa dasar itu, dianggap sebagai pandangan umum, bahkan dicap sebagai budaya.
Jika sampai begitu, orang-orang akan benar-benar teralienasi dari dirinya
sendiri. Tak ada lagi kemandirian seseorang dalam mengendalikan dirinya.
Terjajah.
Berangkat
dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, bisa jadi kini, pendapat
atau penilaian tak bertuanlah yang menyetir pola pikir dan perilaku seseorang.
Parahnya, akal dan nurani malah buntu. Orang-orang menjadi malas mengkritisi
apakah pendapat yang diangggap umum benar-baik atau tidak, untuk dirinya
sendiri maupun orang lain. Atas jargon demi menghormati tradisi, orang-orang
larut saja menuruti pandangan tak berdasar. Padahal tak satu pun yang tahu
tentang sejarah lahirnya sederet kebiasaan itu, sehingga dianggap patut untuk dilestarikan
ataukah tidak.
Perwujudan
perilaku yang termakan pendapat absurd
dapat teramati dalam banyak aspek kehidupan di zaman globalisasi yang modernis ini.
Di mana-mana, ada standar nilai yang dianggap telah umum dan sakral, sehingga tak
boleh diingkari. Misalnya saja tentang tata cara bertutur kata dan berpakaian. Dalam
satu komunitas yang dicitrakan akan kesederhanaannya, setiap individu akan
menampakkan dirinya sesederhana mungkin. Begitupun dalam kominitas yang
dipandang sebagai kumpulan orang kaya, setiap anggotanya pun memaksakan diri
untuk tampil glamor. Padahal sejatinya, individu tersebut tak menikmati gaya hidup
semacam itu. Apalagi, itu bukan budaya dari komunitas bersangkutan.
Sekali
lagi, tak ada salahnya mengikuti pendapat dan perilaku orang lain. Yang salah
adalah ketika menganggap pola perilaku sebuah komunitas adalah keharusan untuk
diikuti, sehingga membuat seseorang tak pernah bisa menjadi dirinya sendiri.
Padahal tujuan utama dalam komunitas itu, sama sekali tidak mempersyarakan
perilaku demikian. Memang benar bahwa setiap kelompok memiliki budaya
tersendiri yang sepatutnya ditaati. Namun begitu, selama visi dan misi kelompok
tak ternodai atas penyimpangan pola perilaku yang dianggap umum, seharusnya tak
masalah jika setiap individu memilih tampil berbeda, demi menjadi dirinya
sendiri. Menjadi merdeka. Apalagi jika tanpa disadari, memang telah terjadi
penyimpangan budaya yang sejatinya pada komunitas itu secara turun temurun.
Upaya kembali ke jati diri memang harus dilakukan, meski dengan tindakan yang
dianggap membangkang.
Kesadaran
terhadap perlunya pembersihan perilaku dari pandangan-pandangan umum tak
bertuan, sangatlah penting. Itu sebab kenyataan kehidupan kekinian memperlihatkan
adanya adopsi budaya luar oleh komunitas di dalam masyarakat yang sejatinya
memiliki budaya sendiri. Memang butuh orang-orang edan untuk menjadi pionir pelurusan pandangan dan perwujudan budaya
yang mulai melenceng. Diharapkan kelak, orang-orang itu dapat menggeser pandangan
impor atau tak bertuan dengan pandangan yang benar-benar lahir dari budaya
sejati komunitas masyarakat tertentu.
Penting
dipahami bahwa tak ada salahnya berbeda. Bahkan untuk kasus-kasus tertentu,
kita memang harus menjadi berbeda. Bukan untuk kepentingan diri sendiri, tapi
juga untuk memberikan teladan bagi orang lain bahwa tak ada yang salah dengan
perbedaan, bahkan seharusnya begitu. Meski demikian, perilaku berbeda janganlah
bebas tanpa pedoman. Perbedaan tak cukup hanya indah, tetapi juga benar dan
baik. Menjadi berbeda harus tetap berpedoman pada budaya sejati dan norma yang
berlaku dalam masyarakat. Tentunya juga harus sejalan dengan nurani kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar