Rabu, 06 Januari 2016

Buah Tanpa Pohon

Sebuah pepatah berbunyi: buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Artinya bahwa watak seorang manusia merupakan cerminan dari orang tuanya. Meski pada dasarnya setiap manusia memiliki naluri dan nurani yang sama, tapi perwujudannya dalam bentuk perilaku sangat mungkin berbeda-beda. Bentuk perilaku seseorang cenderung mencontoh realitas lingkungannya, terutama cerminan pendidikan dan teladan dari orang tuanya. Sedangkan diketahui, manusia memiliki hati nurani dan akal pikiran yang sisa diarahkan dan diteguhkan sehingga terwujud dalam tindakan lahiriah yang terpuji. Di sinilah peran orang tua sebagai pembimbing agar pontensi keturunannya terwujud bagi kemaslahatan kehidupan dunia.

Tanda tanya besar kemudian muncul di benak setiap orang, tentang apa akar masalah dari banyaknya anak remaja yang terjerumus dalam tindak penyimpangan potensi kemanusiaannya? Sepertinya tak perlu lagi memperdebatkan validitas data tentang itu. Fenomena menunjukkan begitu banyak kejadian tawuran yang melibatkan para remaja, keterlibatan mereka dalam aksi pembegalan, hingga terperosot dalam penyalahgunaan obat terlarang dan pergaulan bebas. Kenyataan itu sangat memiriskan. 

Akhirnya digugatlah pepetah yang dikutip di awal tulisan. Pelesetan buah tanpa pohon sepertinya lebih tepat di masa kini. Peran orang tua rasa-rasanya telah terabaikan. Pendidikan dan keteladanan orang di lingkungan keluarga sudah diangggap tak terlalu penting. Buktinya, banyak orang tua dengan entengnya lepas tangan dari pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya. Mereka berpikir bahwa komunitas ataupun organisasi formal dan informal di luar lingkungan keluarga, akan mendidik anak-anak mereka dengan sendirinya. Imbasnya, anak remaja pun mencangkok pola perilaku dari lingkungan pergaulannya yang begitu beragam dan penuh dengan anomali nilai, baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat.

Masih sering terjadi adanya orang tua yang menyalahkan lingkungan di luar keluarga, misalnya sekolah, karena dinilai gagal mendidik dan melindungi anak-anak mereka. Namun refleksi terhadap peran mereka sendiri, tak dilakukan. Tanpa disadari, banyak tindakan tak acuh para orang tua. Semisal, ogah mencarikan lembaga pendidikan yang berkualitas mendidik mental anak, malas mengadakan komunikasi dan evaluasi terhadap kegiatan anak di dunia luar, ataupun mengadakan komunikasi langsung terhadap para informan, seperti para teman dan guru anak tentang perkembangannya. Mereka benar-benar lepas tangan. Padahal peran orang tua dalam pembentukan mental anak adalah asasi. Dalam keluargalah, bekal anak seharusnya dipersiapkan dan menjamin keselamatannya dalam mengarungi kehidupan yang penuh lika-liku. 

Tersesatnya anak dalam pergaulan bebas misalnya, tidak terlepas dari karut-marut pola pendidikan orang tua. Asalkan anak sudah mampu berjalan sendiri, orang tua memberikan kebebasan -yang sesungguhnya kebablasan- untuk menentukan arah hidupnya. Akhirnya, emosi menggebu-gebu anak remaja, tanpa dibentengi kekokohan mental sebagai buah pendidikan dan keteladanan orang tua, menjadi awal dari kehancuran generasi manusia. Di sinilah mulanya pintu menuju pergaulan bebas yang sangat berbahaya, dimulai. Hasilnya, lahirnya anak-anak tanpa kejelasan orang tua, terciptalah anak-anak yang terlunta-lunta di jalanan, hingga maraknya aborsi dan pembunuhan anak. Parahnya, akibat negatif dari perilaku anak dalam pergaulan bebas, seperti dianggap biasa. Bahkan, pergaulan menyimpang anak tak lagi menjadi suatu aib yang memalukan bagi orang tua. 

Saking kolot dan abainya beberapa orang tua, mereka seperti tak mau ambil pusing dengan pergaulan anak-anak mereka. Ada kesan orang tua malah merasa bangga anak-anaknya dekat dengan lawan jenis dalam ikatan yang lebih dari teman, bukan malah was-was dan memberikan pendidikan tentang batas-batas pergaulan. Dipikirnya, di zaman modern ini, anak harus dilepas agar mandiri. Benteng keluarga telah diruntuhkan. Jelas saja, kelonggaran batas pergaulan itu akan membuat tingkah para anak yang masih labil semakin menjadi-jadi. Masuklah mereka dalam komunitas dengan budaya yang entah positif atau negatif. Di sanalah mereka menemukan orang tua pengganti yang ditiru dalam membentuk pola perilakunya. Anak bak berlayar tanpa kompas.

Segyogianyalah peran orang tua dalam keluarga masa kini, dioptimalkan. Saatnya mengawali dan menumpukan pengentasan persoalan penyimpangan perilaku anak ke dalam keluarga. Keluarga harus menjadi landasan utama dalam melepas generasi muda menuju pergumulan kehidupan yang penuh godaan. Setiap orang, masyarakat, hingga pemerintah harus menyadari urgennya persoalan ini. Bisa dibayangkan, jika pendidikan dalam setiap keluarga baik, bisa dipastikan kehidupan dunia pun baik pula. Bukan juga berarti mengabaikan pentingnya pendidikan di sekolah dan lingkungan masyarakat. Tapi sekali lagi, pendidikan di luar lingkungan keluarga, selayaknya dipandang sebagai komponen pendukung. 

Sudah seharusnya orang tua mengawal kehidupan anak-anaknya dengan senantiasa memberikan pendidikan, tuntunan, nesehat, dan teladan. Peran orang tua harus dilakukan kontinu, hingga anaknya dinilai telah mampu bertanggung jawab dan telah berkeluarga/menikah. Jika mereka belum memikul kewajiban, dalam hal ini belum memiliki keluarga sendiri, maka orang tuanya berkewajiban besar untuk mengayominya dengan baik. Orang tua tentu dapat menilai dan tahu perkembangan serta kematangan mental anaknya. 

Menitikberatkan pendidikan anak pada keluarga, selanjutnya akan dihadapkan pada pertanyaan mendasar selama ini: bagaimana jika orang tua yang diharapakan mendidik anak tak cakap dan cerdas sebab tak berpendidikan? Pertanyaan semacam itu akan mengecoh kita untuk mengiyakan bahwa pendidikan anak selayaknya ditumpukan pada organisasi di luar lingkungan keluarga, misalnya pada sekolah formal. Jawaban untuk pertanyaan tersebut seharusnya tak segegabah itu. Diakui atau tidak, pendidikan di sekolah formal selama ini tak terlalu mementingkan pendidikan mental anak. Sekolah hanya menggembleng kecerdasan intelektual, tapi kecerdasan emosional dan spiritual sangat bertumpu pada pendidikan keluarga. Untuk itu, orang tua tanpa pendidikan formal pun sangat mungkin melaksanakan fungsinya dalam mendidik anak-anak secara baik.

Akhirnya, sudah sepatutnyalah setiap anak muda sekarang dididik untuk menjadi generasi yang baik. Dididik menjadi pendidik, yang akan mendidik calon pendidik. Saatnya berbenah dan mematangkan diri untuk menjadi orang tua atau calon orang tua yang bertanggung jawab bagi anak-anak. Mendidik anak secara baik dalam keluarga, berarti turut terlibat dalam perbaikan kehidupan sosial masyarakat, bahkan dunia. Jangan sampailah di masa mendatang, buah-buah tak lagi tahu di mana pohonnya, atau malah mengingkari dan mendurhakai pohonnya sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar