Sebuah
pepatah berbunyi: buah jatuh tak jauh
dari pohonnya. Artinya bahwa watak seorang manusia merupakan cerminan dari orang
tuanya. Meski pada dasarnya setiap manusia memiliki naluri dan nurani yang
sama, tapi perwujudannya dalam bentuk perilaku sangat mungkin berbeda-beda.
Bentuk perilaku seseorang cenderung mencontoh realitas lingkungannya, terutama cerminan
pendidikan dan teladan dari orang tuanya. Sedangkan diketahui, manusia memiliki
hati nurani dan akal pikiran yang sisa diarahkan dan diteguhkan sehingga
terwujud dalam tindakan lahiriah yang terpuji. Di sinilah peran orang tua
sebagai pembimbing agar pontensi keturunannya terwujud bagi kemaslahatan
kehidupan dunia.
Tanda
tanya besar kemudian muncul di benak setiap orang, tentang apa akar masalah
dari banyaknya anak remaja yang terjerumus dalam tindak penyimpangan potensi
kemanusiaannya? Sepertinya tak perlu lagi memperdebatkan validitas data tentang
itu. Fenomena menunjukkan begitu banyak kejadian tawuran yang melibatkan para remaja,
keterlibatan mereka dalam aksi pembegalan, hingga terperosot dalam
penyalahgunaan obat terlarang dan pergaulan bebas. Kenyataan itu sangat
memiriskan.
Akhirnya
digugatlah pepetah yang dikutip di awal tulisan. Pelesetan buah tanpa pohon sepertinya lebih tepat di masa kini. Peran orang
tua rasa-rasanya telah terabaikan. Pendidikan dan keteladanan orang di
lingkungan keluarga sudah diangggap tak terlalu penting. Buktinya, banyak orang
tua dengan entengnya lepas tangan dari pertumbuhan dan perkembangan
anak-anaknya. Mereka berpikir bahwa komunitas ataupun organisasi formal dan
informal di luar lingkungan keluarga, akan mendidik anak-anak mereka dengan
sendirinya. Imbasnya, anak remaja pun mencangkok pola perilaku dari lingkungan
pergaulannya yang begitu beragam dan penuh dengan anomali nilai, baik di lingkungan
sekolah maupun masyarakat.
Masih
sering terjadi adanya orang tua yang menyalahkan lingkungan di luar keluarga,
misalnya sekolah, karena dinilai gagal mendidik dan melindungi anak-anak
mereka. Namun refleksi terhadap peran mereka sendiri, tak dilakukan. Tanpa
disadari, banyak tindakan tak acuh para orang tua. Semisal, ogah mencarikan
lembaga pendidikan yang berkualitas mendidik mental anak, malas mengadakan
komunikasi dan evaluasi terhadap kegiatan anak di dunia luar, ataupun
mengadakan komunikasi langsung terhadap para informan, seperti para teman dan guru
anak tentang perkembangannya. Mereka benar-benar lepas tangan. Padahal peran
orang tua dalam pembentukan mental anak adalah asasi. Dalam keluargalah, bekal
anak seharusnya dipersiapkan dan menjamin keselamatannya dalam mengarungi
kehidupan yang penuh lika-liku.
Tersesatnya
anak dalam pergaulan bebas misalnya, tidak terlepas dari karut-marut pola
pendidikan orang tua. Asalkan anak sudah mampu berjalan sendiri, orang tua
memberikan kebebasan -yang sesungguhnya kebablasan- untuk menentukan arah
hidupnya. Akhirnya, emosi menggebu-gebu anak remaja, tanpa dibentengi kekokohan
mental sebagai buah pendidikan dan keteladanan orang tua, menjadi awal dari
kehancuran generasi manusia. Di sinilah mulanya pintu menuju pergaulan bebas
yang sangat berbahaya, dimulai. Hasilnya, lahirnya anak-anak tanpa kejelasan
orang tua, terciptalah anak-anak yang terlunta-lunta di jalanan, hingga maraknya
aborsi dan pembunuhan anak. Parahnya, akibat negatif dari perilaku anak dalam
pergaulan bebas, seperti dianggap biasa. Bahkan, pergaulan menyimpang anak tak
lagi menjadi suatu aib yang memalukan bagi orang tua.
Saking
kolot dan abainya beberapa orang tua, mereka seperti tak mau ambil pusing
dengan pergaulan anak-anak mereka. Ada kesan orang tua malah merasa bangga
anak-anaknya dekat dengan lawan jenis dalam ikatan yang lebih dari teman, bukan
malah was-was dan memberikan pendidikan tentang batas-batas pergaulan.
Dipikirnya, di zaman modern ini, anak harus dilepas agar mandiri. Benteng
keluarga telah diruntuhkan. Jelas saja, kelonggaran batas pergaulan itu akan
membuat tingkah para anak yang masih labil semakin menjadi-jadi. Masuklah
mereka dalam komunitas dengan budaya yang entah positif atau negatif. Di
sanalah mereka menemukan orang tua pengganti yang ditiru dalam membentuk pola
perilakunya. Anak bak berlayar tanpa kompas.
Segyogianyalah
peran orang tua dalam keluarga masa kini, dioptimalkan. Saatnya mengawali dan
menumpukan pengentasan persoalan penyimpangan perilaku anak ke dalam keluarga. Keluarga
harus menjadi landasan utama dalam melepas generasi muda menuju pergumulan kehidupan
yang penuh godaan. Setiap orang, masyarakat, hingga pemerintah harus menyadari
urgennya persoalan ini. Bisa dibayangkan, jika pendidikan dalam setiap keluarga
baik, bisa dipastikan kehidupan dunia pun baik pula. Bukan juga berarti
mengabaikan pentingnya pendidikan di sekolah dan lingkungan masyarakat. Tapi
sekali lagi, pendidikan di luar lingkungan keluarga, selayaknya dipandang
sebagai komponen pendukung.
Sudah
seharusnya orang tua mengawal kehidupan anak-anaknya dengan senantiasa memberikan
pendidikan, tuntunan, nesehat, dan teladan. Peran orang tua harus dilakukan
kontinu, hingga anaknya dinilai telah mampu bertanggung jawab dan telah
berkeluarga/menikah. Jika mereka belum memikul kewajiban, dalam hal ini belum
memiliki keluarga sendiri, maka orang tuanya berkewajiban besar untuk
mengayominya dengan baik. Orang tua tentu dapat menilai dan tahu perkembangan
serta kematangan mental anaknya.
Menitikberatkan
pendidikan anak pada keluarga, selanjutnya akan dihadapkan pada pertanyaan
mendasar selama ini: bagaimana jika orang tua yang diharapakan mendidik anak
tak cakap dan cerdas sebab tak berpendidikan? Pertanyaan semacam itu akan mengecoh
kita untuk mengiyakan bahwa pendidikan anak selayaknya ditumpukan pada
organisasi di luar lingkungan keluarga, misalnya pada sekolah formal. Jawaban
untuk pertanyaan tersebut seharusnya tak segegabah itu. Diakui atau tidak,
pendidikan di sekolah formal selama ini tak terlalu mementingkan pendidikan
mental anak. Sekolah hanya menggembleng kecerdasan intelektual, tapi kecerdasan
emosional dan spiritual sangat bertumpu pada pendidikan keluarga. Untuk itu, orang
tua tanpa pendidikan formal pun sangat mungkin melaksanakan fungsinya dalam
mendidik anak-anak secara baik.
Akhirnya,
sudah sepatutnyalah setiap anak muda sekarang dididik untuk menjadi generasi
yang baik. Dididik menjadi pendidik, yang akan mendidik calon pendidik. Saatnya
berbenah dan mematangkan diri untuk menjadi orang tua atau calon orang tua yang
bertanggung jawab bagi anak-anak. Mendidik anak secara baik dalam keluarga,
berarti turut terlibat dalam perbaikan kehidupan sosial masyarakat, bahkan dunia.
Jangan sampailah di masa mendatang, buah-buah tak lagi tahu di mana pohonnya,
atau malah mengingkari dan mendurhakai pohonnya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar