Aku
tak berani banyak cakap pada kakakku sendiri, Ibas. Dia pemarah, meski aku
selalu berlaku baik padanya, layaknya adik yang penuh pengabdian. Dia serasa
orang asing bagiku. Sama sekali tak asyik ditemani mengobrol, apalagi berbagi
humor. Padahal dia saudaraku satu-satunya. Kali ini, entah apa balasannya jika
aku jujur kalau baru saja aku menghilangkan sandalnya. Tambah lagi, sandal itu kupakai
tanpa seizinnya. Yang pasti, jika tak ada aral melintang, ia akan gusar
setengah mati, menceramahiku, lalu memintaku segera menggantinya. Terlebih, sandal
itu baru dibelinya seminggu yang lalu. Sandal yang tak terlalu mahal, tapi juga
tak pasaran. Terbaik di antara jenis sandal jepit yang dijual di toko-toko biasanya.
“Alim,
kau taruh di mana sandalku?” tanya Kakaku di teras rumah panggung kami. Seperti
menggertak.
“Mmm,
tadi aku…,” balasku gugup.
“Kamu
apa tadi? Kamu pasti menghilangkannya. Iya kan?” balasnya mengeyel, sembari
menguliti dan melahap satu per satu buah rambutan.
“Aku
tak menghilangkannya. Tadi, pas waktu aku hendak pulang dari rumah Paman Kardi,
sandal itu tak ada di tangga. Sepertinya dicuri,” balasku, sangat segan. “Aku
akan mencarinya lagi.”
“Ah,
alasanmu saja. Tapi sudahlah. Kau tak usah menangis. Umurmu sudah sebelas
tahun. Aku tak akan memintamu menggantinya. Kali ini aku berbaik hati padamu.
Ayo sini, makan rambutan,” balasnya dengan mimik datar. Aku tak menduga ia
begitu bersahabat sekarang.
Keesokan
harinya, aku mengecek sandal itu di rumah Paman. Aku berharap menemukannya. Betapa
senangnya Kakakku jika aku berhasil membawa sandal barunya pulang. Kuharap ia
berubah dan benar-benar menyayangi aku sebagai adiknya.
“Paman
Kardi, lihat sandal yang aku pakai ke sini kemarin? Kemarin, saat aku hendak
pulang ke rumah, sandalku tak ada lagi di tangga Paman,” tanyaku.
“Oh,
sandal yang satunya kuning, satunya merah?” tanyanya balik.
Aku
mengangguk sambil tersenyum. “Iya Paman.”
“Oh.
Tadi sandal itu aku bawa ke masjid. Aku simpan di sana. Kau ambil saja di
sana,” tutur Paman. “Aku tak tahu itu punyamu. Kemarin aku dapat sandal itu di
kebun belakang. Kau bilang barusan, kemarin sandalmu di bawah tangga. Kok bisa
lari ke sana?”
Aku
cemas, takut, dan malu. Seakan malaikat maut sedetik lagi akan mencabut
nyawaku. Aku kikuk. Tak tahu harus bilang apa pada Paman. “Mmm….”
“Sudahlah
Alim, jujur saja. Saatnyalah kau belajar berkata jujur. Jangan biasakan
berbohong. Tak ada gunanya meniru Kakakmu yang kau katakan sering membohongimu
itu. Nanti kau kualat sendiri,” nasihat Paman. Dia sepertinya tahu apa yang
kulakukan kemarin sore. Lama-lama, aku merasa tenang. Berani terpaksa jujur.
Pasrah.
“Maafkan
aku Paman. Aku mengaku salah. Kemarin aku benar-benar ingin makan rambutan
milik Pak Durin di kebun. Tapi aku kaget pas liat paman menuju ke arah pohon rambutan,”
balasku menunduk. Tak berani bersetatap dengan Paman. “Andai saja Pak Durin ada
di rumahnya, aku pasti memintanya terlebih dahulu.”
“Sudahlah
Alim. Tak mengapa,” tuturnya, sambil menepuk-nepuk lenganku. “Padahal jika kau
tak ketakutan dan lari pontang-panting kemarin, kau akan makan rambutan lebih
banyak. Pak Durin ke luar kota. Dia memberi izin kepadaku untuk memanen buah
rambutannya,” tuturnya sambil merekahkan senyuman. Tak lama kemudian, ia
tertawa pendek. “Sejujurnya, kemarin aku ingin meminta bantuan padamu untuk
membantuku memanen. Tapi kamunya ketakutan duluan.”
Sekarang
aku merasa bodoh. Geli membayangkan tindakan tak senonohku kemarin. “Tapi
biarpun Paman punya hak pada buah rambutan itu, aku belum berhak tanpa seizin
Paman. Tindakanku tetap salah Paman. Maafkan aku,” tuturku.
“Ya
sudah. Yang penting kamu jujur,” balasnya. “Sore nanti, bantu paman penen di
pohon rambutan yang satunya ya?”
“Baik
Paman,” pungkasku, lalu pulang dengan rasa malu yang begitu membekas.
Sang
surya terus bergeser ke arah barat. Sekarang jam dua siang. Aku hendak pulang
ke rumah dahulu. Jam empat sore nanti, aku akan datang membantu pamanku memanen
rambutan.
Sekarang
kusadari, jujur itu menenangkan. Andai Paman tak tahu kejadian sesungguhnya,
dosa-dosa pasti masih menakutiku. Aku bertekat selalu berperilaku jujur agar hidupku
bahagia. Karena itu juga, uang beragam pecahan, berjumlah Rp. 18.000,-, yang
kudapat di jalan, delapan hari lalu, akan kumasukkan ke kas masjid. Sudah
seminggu uang itu kutaruh di bawah kasurku.
“Kak
Ibas, tak liat uang yang kutaruh dibawa kasur?” tanyaku pada Kakak yang sedang
tiduran di kursi sambil memaninkan ponselnya.
“Yang
kau dapat tempo hari? Yang jumlahnya Rp. 18.000,-?” jawabnya dengan mimik
datar.
“Iya
Kak. Uang yang itu. Kakak tak menggunakannya untuk jajan kan?” tanyaku lagi.
“Alaahhh.
Sudahlah bocah. Aku juga tahu kalau makan dari uang haram itu tak baik. Makanya
aku gunakan membeli sandal….,” balasnya seperti meremehkan.
“Sandal…,”
selaku.
“Sandal
yang kau hilangkan itu bocah!” balasnya, tegas. “Kau jangan salah paham dulu.
Aku tak berniat macam-macam, apalagi menggunakannya. Tempo hari ada orang tua tak
punya sandal. Ia mampir di rumah. Katanya rumahnya di bukit atas. Aku lihat dia
tak punya sandal. Kasihan sekali. Karena aku tak punya uang, kubelikanlah ia sandal
di tokoh sebelah dengan uang yang kau dapat itu. Tapi dia tak mau menerimanya.
Jadi kugantung saja di kusen bawah kolong. Rancana akan kubawa di masjid
keesokan harinya. Begitu ceritanya, bocah!” jelasnya panjang sebar. Masih
memandang layar ponselnya. “Kau juga harus punya jiwa yang baik seperti kakakmu
ini. Bantulah orang-orang yang membutuhkan semampumu. Dan satu lagi, jangan
biasakan berbohong. Ok?”
“Baikkah.
Aku tak akan bohong-bohong lagi Kak,” jawabku. Aku lalu berbalik dan
melampiaskan kegembiraanku dalam hati. Betapa menenangkannnya jujur dan
mengakui dosa-dosa tersembunyi.
Kini
aku tak perlu pusing akan kuapakan uang tak bertuan itu. Aku juga tak perlu
mengambil sandal di masjid. Sudah di sanalah tempatnya. Sudah jam empat sore. Saatnya
aku bersiap-siap membantu Paman memanen rambutan.
“Eh
satu lagi,” seru Kakak, membuat langkahku harus tertahan. “Aku tahu peristiwa
kemarin sore. Mudah-mudahan kau belajar menjadi orang yang punya rasa malu,”
tuturnya, menatapku tenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar