Jumat, 15 Januari 2016

Jejak Sandal


Aku tak berani banyak cakap pada kakakku sendiri, Ibas. Dia pemarah, meski aku selalu berlaku baik padanya, layaknya adik yang penuh pengabdian. Dia serasa orang asing bagiku. Sama sekali tak asyik ditemani mengobrol, apalagi berbagi humor. Padahal dia saudaraku satu-satunya. Kali ini, entah apa balasannya jika aku jujur kalau baru saja aku menghilangkan sandalnya. Tambah lagi, sandal itu kupakai tanpa seizinnya. Yang pasti, jika tak ada aral melintang, ia akan gusar setengah mati, menceramahiku, lalu memintaku segera menggantinya. Terlebih, sandal itu baru dibelinya seminggu yang lalu. Sandal yang tak terlalu mahal, tapi juga tak pasaran. Terbaik di antara jenis sandal jepit yang dijual di toko-toko biasanya.

“Alim, kau taruh di mana sandalku?” tanya Kakaku di teras rumah panggung kami. Seperti menggertak.

“Mmm, tadi aku…,” balasku gugup.

“Kamu apa tadi? Kamu pasti menghilangkannya. Iya kan?” balasnya mengeyel, sembari menguliti dan melahap satu per satu buah rambutan.

“Aku tak menghilangkannya. Tadi, pas waktu aku hendak pulang dari rumah Paman Kardi, sandal itu tak ada di tangga. Sepertinya dicuri,” balasku, sangat segan. “Aku akan mencarinya lagi.”

“Ah, alasanmu saja. Tapi sudahlah. Kau tak usah menangis. Umurmu sudah sebelas tahun. Aku tak akan memintamu menggantinya. Kali ini aku berbaik hati padamu. Ayo sini, makan rambutan,” balasnya dengan mimik datar. Aku tak menduga ia begitu bersahabat sekarang. 

Keesokan harinya, aku mengecek sandal itu di rumah Paman. Aku berharap menemukannya. Betapa senangnya Kakakku jika aku berhasil membawa sandal barunya pulang. Kuharap ia berubah dan benar-benar menyayangi aku sebagai adiknya.

“Paman Kardi, lihat sandal yang aku pakai ke sini kemarin? Kemarin, saat aku hendak pulang ke rumah, sandalku tak ada lagi di tangga Paman,” tanyaku.

“Oh, sandal yang satunya kuning, satunya merah?” tanyanya balik.

Aku mengangguk sambil tersenyum. “Iya Paman.”

“Oh. Tadi sandal itu aku bawa ke masjid. Aku simpan di sana. Kau ambil saja di sana,” tutur Paman. “Aku tak tahu itu punyamu. Kemarin aku dapat sandal itu di kebun belakang. Kau bilang barusan, kemarin sandalmu di bawah tangga. Kok bisa lari ke sana?”

Aku cemas, takut, dan malu. Seakan malaikat maut sedetik lagi akan mencabut nyawaku. Aku kikuk. Tak tahu harus bilang apa pada Paman. “Mmm….”

“Sudahlah Alim, jujur saja. Saatnyalah kau belajar berkata jujur. Jangan biasakan berbohong. Tak ada gunanya meniru Kakakmu yang kau katakan sering membohongimu itu. Nanti kau kualat sendiri,” nasihat Paman. Dia sepertinya tahu apa yang kulakukan kemarin sore. Lama-lama, aku merasa tenang. Berani terpaksa jujur. Pasrah.

“Maafkan aku Paman. Aku mengaku salah. Kemarin aku benar-benar ingin makan rambutan milik Pak Durin di kebun. Tapi aku kaget pas liat paman menuju ke arah pohon rambutan,” balasku menunduk. Tak berani bersetatap dengan Paman. “Andai saja Pak Durin ada di rumahnya, aku pasti memintanya terlebih dahulu.” 

“Sudahlah Alim. Tak mengapa,” tuturnya, sambil menepuk-nepuk lenganku. “Padahal jika kau tak ketakutan dan lari pontang-panting kemarin, kau akan makan rambutan lebih banyak. Pak Durin ke luar kota. Dia memberi izin kepadaku untuk memanen buah rambutannya,” tuturnya sambil merekahkan senyuman. Tak lama kemudian, ia tertawa pendek. “Sejujurnya, kemarin aku ingin meminta bantuan padamu untuk membantuku memanen. Tapi kamunya ketakutan duluan.”

Sekarang aku merasa bodoh. Geli membayangkan tindakan tak senonohku kemarin. “Tapi biarpun Paman punya hak pada buah rambutan itu, aku belum berhak tanpa seizin Paman. Tindakanku tetap salah Paman. Maafkan aku,” tuturku.

“Ya sudah. Yang penting kamu jujur,” balasnya. “Sore nanti, bantu paman penen di pohon rambutan yang satunya ya?”

“Baik Paman,” pungkasku, lalu pulang dengan rasa malu yang begitu membekas. 

Sang surya terus bergeser ke arah barat. Sekarang jam dua siang. Aku hendak pulang ke rumah dahulu. Jam empat sore nanti, aku akan datang membantu pamanku memanen rambutan. 

Sekarang kusadari, jujur itu menenangkan. Andai Paman tak tahu kejadian sesungguhnya, dosa-dosa pasti masih menakutiku. Aku bertekat selalu berperilaku jujur agar hidupku bahagia. Karena itu juga, uang beragam pecahan, berjumlah Rp. 18.000,-, yang kudapat di jalan, delapan hari lalu, akan kumasukkan ke kas masjid. Sudah seminggu uang itu kutaruh di bawah kasurku. 

“Kak Ibas, tak liat uang yang kutaruh dibawa kasur?” tanyaku pada Kakak yang sedang tiduran di kursi sambil memaninkan ponselnya.

“Yang kau dapat tempo hari? Yang jumlahnya Rp. 18.000,-?” jawabnya dengan mimik datar.

“Iya Kak. Uang yang itu. Kakak tak menggunakannya untuk jajan kan?” tanyaku lagi.

“Alaahhh. Sudahlah bocah. Aku juga tahu kalau makan dari uang haram itu tak baik. Makanya aku gunakan membeli sandal….,” balasnya seperti meremehkan.

“Sandal…,” selaku.

“Sandal yang kau hilangkan itu bocah!” balasnya, tegas. “Kau jangan salah paham dulu. Aku tak berniat macam-macam, apalagi menggunakannya. Tempo hari ada orang tua tak punya sandal. Ia mampir di rumah. Katanya rumahnya di bukit atas. Aku lihat dia tak punya sandal. Kasihan sekali. Karena aku tak punya uang, kubelikanlah ia sandal di tokoh sebelah dengan uang yang kau dapat itu. Tapi dia tak mau menerimanya. Jadi kugantung saja di kusen bawah kolong. Rancana akan kubawa di masjid keesokan harinya. Begitu ceritanya, bocah!” jelasnya panjang sebar. Masih memandang layar ponselnya. “Kau juga harus punya jiwa yang baik seperti kakakmu ini. Bantulah orang-orang yang membutuhkan semampumu. Dan satu lagi, jangan biasakan berbohong. Ok?”

“Baikkah. Aku tak akan bohong-bohong lagi Kak,” jawabku. Aku lalu berbalik dan melampiaskan kegembiraanku dalam hati. Betapa menenangkannnya jujur dan mengakui dosa-dosa tersembunyi. 

Kini aku tak perlu pusing akan kuapakan uang tak bertuan itu. Aku juga tak perlu mengambil sandal di masjid. Sudah di sanalah tempatnya. Sudah jam empat sore. Saatnya aku bersiap-siap membantu Paman memanen rambutan. 

“Eh satu lagi,” seru Kakak, membuat langkahku harus tertahan. “Aku tahu peristiwa kemarin sore. Mudah-mudahan kau belajar menjadi orang yang punya rasa malu,” tuturnya, menatapku tenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar