Rabu, 06 Januari 2016

Cincin Hati

Arif benar-benar beruntung. Lelaki tua itu berhasil memperistri seorang perempuan muda bernama Ani. Usia mereka terpaut 25 tahun. Di usia senja, kasih sayang sang istri tak sedikit pun berubah. Perempuan yang berusia kepala tiga itu, setia mendampinginya, yang hanya bisa duduk, berdiam diri di atas rumah panggung mereka.

Ani benar-benar mengabdi setulus hati. Padahal jika mau, mudah saja baginya mengkhianati sang suami. Apalagi ia masih kelihatan menawan. Sebelum menikah dengan Arif, ia bahkan seorang gadis pujaan lelaki di desanya. Tapi begitulah, persoalan jodoh merupakan perihal yang sulit ditebak, dan kadang-kadang tak masuk di akal.

Kini, selain sebagai ibu rumah tangga, Ani pun menjadi tulang punggung keluarga. Tak ada pilihan lain. Segala macam penyakit telah melemahkan otot-otot Arif. Tak lagi seperti dulu, saat masih kuat-kuatnya, Arif mampu mengumpulkan cukup uang dengan bekerja sebagai pemecah batu gunung. Dan sekarang, pekerjaan itu, diambil alih sang istri. 

Keadaan Arif yang tak lagi memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tak pernah dipermasalahkan Ani. Ia ikhlas banting tulang demi keluarga kecilnya. Beruntunglah, mereka hanya memiliki seorang anak, Basri, lelaki pemalas yang tak mau disuruh-suruh. Seorang anak yang tetap dikasihi Ani dengan penuh kelembutan. Sampai sikapnya itu, turut menentramkan sang suami yang sering kali jengkel melihat sikap si anak yang kurang ajar.

Atas tabiat Basri yang pemalas, sedang Ani menjadi satu-satunya tumpuan, kehidupan keluarga itu pun, sungguh sangat sederhana. Tak ada harta berharga yang mereka miliki, kecuali cincin pernikahan yang tersimpan rapi dalam lemari. Arif dan Ani memang jarang mengenakan cincin pernikahan itu. Hati mereka telah terikat, meski tanpa cincin. Cincin itu pun diniatkan untuk diberikan kepada Basri kala pernikahannya. Hanya itu harta yang mereka bisa berikan.

“Basri, kamu liat cincin Ibu? Perasaan Ibu simpan dalam lemari. Kok tidak ada?” tanya Ani kepada anaknya. Cincin pernikahannya itu tiba-tiba raib.

“Mana aku tahu. Mungkin Ibu salah ingat di mana menempatkannya. Coba ingat baik-baik di mana menaruhnya!” balas Basri dengan nada tinggi.

Dicari-cari, cincin itu tak juga ditemukan. Hilang.

Sikap tak sopan Basri, tetap disikapi Ani dengan tenang. Rasa cintanya pada sang anak membuat ia tak tega bertindak keras. Basri selalu baik di matanya. Karena itu juga, ia tak penah berpikir jika anak semata wayangnyalah itulah yang mencuri cincin pernikahannya. 

Dan senyatanya, Basri telah menjual cincin orang tuanya untuk mendapatkan modal berfoya-foya bersama sang pujaan hati, Mita. Seorang gadis sekampungnya yang cantik jelita. Uang hasil penjualan itu pun telah lenyap dalam sekejap. Dan nahas bagi Basri. Di waktu selanjutnya, Mita tega mengkhianati perasaannya. Wanita itu meninggalkan Basri untuk seorang lelaki yang lain.

“Nak, kamu tahu sendiri kan keadaan Ayahmu. Ia pernah cerita kalau ia ingin kau menikah secepatnya. Umurmu juga sudah 20 tahun lebih. Sudah waktunyalah kau berkeluarga,” bujuk Ani.

Basri tak terlalu kaget dengan pertanyaan itu. Wajahnya biasa saja. Malas. Tak berselera merespons. “Iya. Siapa juga yang menolak jika disuruh menikah. Tapi Ibu tahu kan, menikah juga butuh biaya. Mana untuk pesta, maskawin, dan lain sebagainya. Memang Ibu punya?” balas Basri, sembari tertunduk memainkan game di smartphone-nya.

“Ibu paham Nak. Tapi menikah kan tak perlu mewah-mewah juga. Ada maskawin, sudah cukup. Andai saja cincin itu masih ada, kau gunakahlah untuk pernikahanmu. Kami hanya punya itu. Sengaja kami simpan untuk kau pakai jika suatu saat kau menikah, Nak,” tutur Ani, lalu tersenyum.

Basri terperanjat mendengar penuturan sang Ibu. Baru diketahuinya kalau ternyata cincin itu adalah cincin pernikahan kedua orang tuanya yang dibekalkan untuk pernikahannya kelak. Tapi semua sudah terjadi, cincin itu telah lenyap demi kesenangan semu bersama gadis pujaannnya. 

Mengetahui kenyataan itu, tiba-tiba lidah Basri kelu. Ia tak kuasa lagi mengeluarkan kata-kata kasar kepada sang Ibu. “Ya, sudahlah, Bu. Jodoh kan urusan Tuhan. Kalau memang sudah waktunya, aku pasti ketemu jodohku,” balas Basri, dengan tutur kata yang melemah.

Seketika, rasa berdosa menggugah Basri. Kini ia sadar betapa kasih kedua orang tuanya begitu besar, sedang ia membalas dengan kedurhakaan. Besok-besoknya, perlahan, ia mulai berubah. Menjadi sangat giat bekerja untuk mengais rezeki. Bahkan, ia hendak membeli kembali cincin pernikahan orang tuanya, yang telah ia jual di satu toko. 

“Ini cincin yang Ibu maksud kan?” kata Basri kepada Ibunya, di satu pagi. Ia berhasil membeli cincin pernikahan itu setelah mati-matian memecah batu, selama berbulan-bulan.

Ibunya tertegun. “Kamu dapat di mana, Nak?”

“Aku dapat di sela-sela tumpukan kayu bakar, di bawah kolong, Bu. Mungkin jatuh dari atas rumah melalui celah lantai kayu,” tutur Ani, lalu menyodorkan cincin tersebut.

“Simpanlah, Nak. Kami telah rida cincin itu untukmu dan istrimu, kelak. Cepatlah menikah, demi Ayahmu,” pinta Ani dengan tutur yang lemah lembut.

“Iya, Bu. Aku selalu berdoa dan meniatkannya setiap hari. Tapi entah siapa juga yang mau menikah denganku. Kalaupun ada, jelas tak akan sebaik dan sesetia Ibu,” puji Basri.

Ani menimpali segera, “Tak perlu susah-susah cari pasangan hidup Nak. Kau tahu Pak Rahim kan? Dia teman baik Ayahmu sejak dulu. Kamu pasti kenal anaknya, si Mita?" Rasa senang, kemudian tergambar di wajahnya. "Ayahmu pernah cerita kalau Pak Rahim terima saja jika kau mau menikahi Mita. Bagaimana menurutmu, Nak?”

Basri terperangah. Jelas, Mita adalah wanita yang telah mengkhianatinya. Dan tanpa berpikir lama, ia tak akan mempertimbangkan tawaran itu. “Tidak Bu. Aku tak akan mau menikah dengan dia. Kukira, dia bukan gadis yang baik untuk jadi seorang istri. Ibu dan Ayah tak usah susah-susah mencarikanku jodoh. Suatu saat, jodoh yang terbaik, akan datang juga padaku, di waktu yang tepat,” tolak Basri, dengan sikap tenang.

Ani menatap pilu. Tapi meski merasa kecewa, ia tak ingin memaksakan kehendak. "Kaulah yang menentukan soal itu, Nak. Toh, kau juga yang akan menjalaninya. Yang pasti, doa terbaikku untukmu," katanya, sembari tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar