Senin, 02 Mei 2016

PTNBH: Pendidikan Tanpa Negara

Sejak diundangkan pada tanggal 10 Agustus 2012, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) telah menuai nada penolakan. Penolakan datang dari para pemerhati pendidikan dan mahasiswa. Salah satu isi UU Dikti yang paling dikritisi adalah konsep Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH). Konsep ini dinilai sarat dengan nuansa kapitalisasi pendidikan. Imbasnya, pendidikan tinggi hanya milik mereka yang berduit, tidak bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah.
 
Jalan menuju komersialisasi pendidikan dalam UU Dikti terbuka lebar sebab perguruan tinggi tidak hanya otonom dalam bidang akademik, tetapi juga di bidang nonakademik, meliputi organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan, sarana dan prasarana. Otonomi diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh menteri urusan pendidikan tinggi. Khusus PTNBH, diberikan hak istimewa, di antaranya mengelola kekayaan negara yang dipisahkan, mengelola dana secara mandiri, mendirikan badan usaha, kemandirian dalam tata kelola dan pengambilan keputusan, keluwesan mengadakan program studi dan mengangkat dosen.

Otonomi perguruan tinggi yang begitu luas dalam konsep PTNBH, membuka pintu menuju komersialisasi pendidikan tinggi. Tak pelak, tuntutan untuk merevisi atau bahkan mencabut UU Dikti terus bergelora. Namun, protes keras yang dilakukan mahasiswa selalu redam di telinga para pengambil kebijakan, terutama para penyelenggara pendidikan tinggi, tempat mahasiswa menyampaikan aspirasi. Atas dasar bahwa PTNBH adalah perintah UU, maka dianggap tidak ada alasan untuk menolaknya. Status PTNHB bahkan dianggap sebagai kasta tertinggi bagi sebuah perguruan tinggi, sehingga dijadikan sasaran buruan. 

Tidak hanya penolakan dalam bentuk unjuk rasa, jalur litigasi melalui upaya judicial review (JR) UU Dikti, juga ditempuh. Tercatat telah beberapa kali upaya JR dilakukan terhadap UU Dikti, misalnya pada permohonan Nomor 103/PUU-X/2012 dan Nomor 111/PUU-X/2012. Namun di amar putusannya, MK menyatakan bahwa permohonan tersebut tidak dapat diterima atau pun ditolak. Konsep otonomi perguruan tinggi, khususnya PTNBH, dianggap telah sejalan dengan perkembangan zaman dan tidak untuk komersialisasi pendidikan

Benarkah konsep PTNBH dalam UU Dikti tidak untuk komersialisasi pendidikan? Jika iya, apakah konsep itu telah sejalan dengan fungsi dan tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam UUD NRI Tahun 1945? 

Negara Lepas Tangan

Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 telah mengamanahkan kepada negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara dalam hal ini adalah penyelenggara negara, bertanggung jawab terhadap bidang pendidikan. Ini berarti bahwa pendidikan adalah hak warga negara sebagaimana ditegaskan Pasal 31 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Cita-cita mulia itu selanjutnya ditopang oleh ketentuan ayat (4) pasal yang sama, bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dana APBN dan APBD untuk penyelenggaraan pendikan nasional.

Mengamati amanah konstitusi di atas, tidak beralasan jika negara lepas tangan terhadap penyelenggaraan pendidikan. Segala celah dan upaya menuju komersial pendidikan, jelas bertentangan dengan amanah konstitusi. Pendidikan sebagai hak, berarti pemerintah berkewajiban menjamin layanan pendikan warga negara, terpenuhi secara menyeluruh. Harapan tersebut bukanlah cita-cita yang mengawang-awang, seandainya amanah konstitusi terkait pendanaan penyelenggaraan pendidikan, dillaksanakan secara baik.

Sayangnya, UU Dikti tidak mampu mengejawantahkan amanah konstitusi ke dalam rumusan pasal secara tepat. Tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, lambat laun akan lenyap seiring diberikannya otonomi melalui penetapan status PTNBH. Dalam persoalan pembiayaan, anggaran dari negara sedikit demi sedikit akan dikurangi, dan dibebankan kepada perguruan tinggi. Pendidikan akhirnya bukan lagi hak eksklusif warga negara yang terjamin, tatapi harus diupayakan secara mandiri.

Pengalihan tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, tampak jelas pada sistem pembiayaan perguruan tinggi berstatus PTNBH. Atas otonominya, perguruan tinggi dibebankan tanggung jawab untuk mencari dan mengelola sumber pendanaannya secara mandiri. Perguruan tinggi akhirnya fokus untuk “mengumpulkan uang” ketimbang melaksanakan tridharma perguruan tinggi. Kalau dana yang diperoleh tidak mencukupi, biaya kuliah mahasiswa pun dinaikkan. Di sisi lain, pemerintah hanya turut membantu dengan menutupi kekurangan dana perguruan tinggi berstatus PTNBH melalui pemberian dana BOPTN. Dengan bagitu, negara bukan lagi sebagai penyelenggara utama pendidikan tinggi, tetapi sebatas penyokong. 

Anggaran pendidikan selama ini, masih jauh dari kategori tepat guna dan tepat sasaran. UU No. 14 Tahun 2016 tentang APBN Tahun Anggaran 2016 menetapkan anggaran pendidikan sekitar Rp. 429 triliun. Jumlah itu sekadar sebanding dengan 20% total belanja negara yang jumlahnya sekitar Rp. 2,095 kuadran. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendapatkan anggaran sebesar Rp. 49,23 triliun. Adapun Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) sebesar Rp39,49 triliun. Anggaran pendidikan lainnya tersebar di kemanterian yang juga turut menyelenggarakan pendidikan. 

Meski hitung-hitungan anggaran untuk pendidikan telah sesuai amanah konstitusi, nyatanya Bantuan Operasional PTN (BOPTN) tahun 2016, sebagai bentuk pembiayaan negara dari APBN untuk fungsi pendidikan, hanya berkisar Rp. 5 trilliun. Sebanyak 30% dana BOPTN tersebut pun, ditujukan untuk kegiatan penelitian sesuai ketetapan Pasal 89 ayat (6) UU Dikti. Kecilnya BOPTN tersebut tentu berpengaruh terhadap biaya kuliah mahasiswa, sebab BOPTN juga difungsikan untuk menutupi beban Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa.

Kecenderungan bahwa negara lepas tangan dalam pembiayaan pendidikan tinggi dengan adanya status PTNBH, sulit tak terbaca. Apalagi, pemberian status PTNBH mempertimbangkan tingkat kemapanan sebuah perguruan tinggi dalam persoalan kemandirian pendanaan. Perguruan tinggi diarahkan untuk membiayai dirinya sendiri. Akhirnya, jika seluruh perguruan tinggi negeri telah berstatus PTNBH, maka negara tak akan ambil pusing lagi dalam persoalan pembiayaan. Lalu, diapakan dana sekurang-kurangnya 20% dana dari APBN dan APBD untuk pendidikan? 

UU Dikti secara terang tidak sejalan dengan amanah konstitusi. Selain memberikan otonomi yang kebablasan kepada perguruan tinggi melalui konsep PTNBH, UU ini juga tidak menguraikan atau setidaknya mencantumkan bahwa pendanaan perguruan tinggi oleh negara diperoleh dari dana di bidang pendidikan, yaitu sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan ABPD. Pasal 83 UU Dikti hanya meyatakan bahwa pemerintah mengalokasikan dana pendidikan tinggi dari APBN, sedangkan pemerintah daerah sifatnya hanya membantu. 

Masalah pendanaan pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, adalah tanggung jawab utama negara. Pasal 49 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD. Namun sayang, UU Dikti, juga tidak dirumuskan secara harmonis dengan undang-undang lain yang terkait pendidikan. Hal itu tampak dalam konsideran bagian Mengingat yang tidak merujuk kepada undang-undang lain yang terkait bidang pendidikan. Tak mengherankan jika UU Dikti terkesan berdiri sendiri.

Lahirnya UU Dikti, malah membuat pendidikan tinggi bukan lagi bagian dari sistem pendidikan nasional. Padahal Pasal 1 angka 11 UU No. 20 Tahun 2003 telah menyatakan bahwa pendidikan formal bersifat terstruktur dan berjenjang, terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Kesan bahwa pendidikan tinggi telah diabaikan sebagai bagian dari sistem pendidikan, semakin diperkuat dengan adanya pemisahan Kemendikbud dan Kemenristekdikti. Akhirnya, teranglah bahwa negara telah lepas tangan dari penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Kembalikan Tanggung Jawab Negara

Sudah saatnya penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai jenjang tertinggi pendidikan formal, dikembalikan sesuai dengan amanah konstitusi. Kembali kepada konstitusi berarti mengembalikan kedudukan negara sebagai penanggung jawab utama penyelenggaraan pendidikan. Negara harus memberikan jaminan bahwa hak warga negara dalam penyelenggaraan pendidikan, terpenuhi.

Pentingnya mendudukkan negara sebagai pemeran utama dalam penyelengaraan pendidikan tinggi, tidak terlepas dari tujuan dari pendidikan itu sendiri. Jika negara memegang kendali terhadap pendidikan, maka cita-cita menuju bangsa yang cerdas akan terwujud. Sebaliknya, jika negara lepas tangan, maka anak bangsa tidak akan terdidik menjadi pribadi yang cerdas, tapi terdidik menjadi “mesin” untuk kepentingan “pemilik modal”.

Tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan pendidikan selain berpegang tegung pada roh pendidikan bangsa, sebagaimana ditegaskan pendiri bangsa dalam konstitusi negara. Telah ditegaskan bahwa tanggung jawab negaralah untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan pendidikan di semua jenjang. Jika konstitusi dilaksanakan dengan amanah, bisa dijamin bahwa pendidikan bukan lagi “barang langka”. Tapi jika konstitusi sebagai sebagai dasar bernegara sekaligus payung pendidikan telah “diinjak-injak”, jangan heran melihat kehidupan pendidikan bangsa menjadi karut-marut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar