Sejak diundangkan pada tanggal 10 Agustus
2012, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) telah menuai
nada penolakan. Penolakan datang dari para pemerhati pendidikan dan mahasiswa.
Salah satu isi UU Dikti yang paling dikritisi adalah konsep Perguruan Tinggi
Negeri Badan Hukum (PTNBH). Konsep ini dinilai sarat dengan nuansa kapitalisasi
pendidikan. Imbasnya, pendidikan tinggi hanya milik mereka yang berduit,
tidak bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Jalan menuju komersialisasi pendidikan dalam
UU Dikti terbuka lebar sebab perguruan tinggi tidak hanya otonom dalam bidang
akademik, tetapi juga di bidang nonakademik, meliputi organisasi, keuangan,
kemahasiswaan, ketenagaan, sarana dan prasarana. Otonomi diberikan secara
selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh menteri urusan pendidikan tinggi. Khusus
PTNBH, diberikan hak istimewa, di antaranya mengelola kekayaan negara yang
dipisahkan, mengelola dana secara mandiri, mendirikan badan usaha, kemandirian
dalam tata kelola dan pengambilan keputusan, keluwesan mengadakan program studi
dan mengangkat dosen.
Otonomi perguruan tinggi yang begitu luas
dalam konsep PTNBH, membuka pintu menuju komersialisasi pendidikan tinggi. Tak
pelak, tuntutan untuk merevisi atau bahkan mencabut UU Dikti terus bergelora. Namun,
protes keras yang dilakukan mahasiswa selalu redam di telinga para pengambil
kebijakan, terutama para penyelenggara pendidikan tinggi, tempat mahasiswa
menyampaikan aspirasi. Atas dasar bahwa PTNBH adalah perintah UU, maka
dianggap tidak ada alasan untuk menolaknya. Status PTNHB bahkan dianggap sebagai
kasta tertinggi bagi sebuah perguruan tinggi, sehingga dijadikan sasaran
buruan.
Tidak hanya penolakan dalam bentuk unjuk
rasa, jalur litigasi melalui upaya judicial review (JR) UU Dikti, juga ditempuh.
Tercatat telah beberapa kali upaya JR dilakukan terhadap UU Dikti, misalnya
pada permohonan Nomor 103/PUU-X/2012 dan Nomor 111/PUU-X/2012. Namun di amar putusannya,
MK menyatakan bahwa permohonan tersebut tidak dapat diterima atau pun ditolak.
Konsep otonomi perguruan tinggi, khususnya PTNBH, dianggap telah sejalan dengan
perkembangan zaman dan tidak untuk komersialisasi pendidikan
Benarkah konsep PTNBH dalam UU Dikti tidak
untuk komersialisasi pendidikan? Jika iya, apakah konsep itu telah sejalan
dengan fungsi dan tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam UUD NRI Tahun
1945?
Negara
Lepas Tangan
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 telah
mengamanahkan kepada negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara dalam
hal ini adalah penyelenggara negara, bertanggung jawab terhadap bidang
pendidikan. Ini berarti bahwa pendidikan adalah hak warga negara sebagaimana
ditegaskan Pasal 31 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap
warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Cita-cita mulia itu selanjutnya
ditopang oleh ketentuan ayat (4) pasal yang sama, bahwa negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dana APBN dan APBD untuk
penyelenggaraan pendikan nasional.
Mengamati amanah konstitusi di atas, tidak
beralasan jika negara lepas tangan terhadap penyelenggaraan pendidikan. Segala
celah dan upaya menuju komersial pendidikan, jelas bertentangan dengan amanah
konstitusi. Pendidikan sebagai hak, berarti pemerintah berkewajiban menjamin layanan
pendikan warga negara, terpenuhi secara menyeluruh. Harapan tersebut bukanlah
cita-cita yang mengawang-awang, seandainya amanah konstitusi terkait pendanaan
penyelenggaraan pendidikan, dillaksanakan secara baik.
Sayangnya, UU Dikti tidak mampu
mengejawantahkan amanah konstitusi ke dalam rumusan pasal secara tepat.
Tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, lambat laun akan lenyap
seiring diberikannya otonomi melalui penetapan status
PTNBH. Dalam persoalan pembiayaan, anggaran dari negara
sedikit demi sedikit akan dikurangi, dan dibebankan kepada perguruan tinggi. Pendidikan akhirnya bukan
lagi hak eksklusif warga negara yang terjamin, tatapi harus diupayakan secara
mandiri.
Pengalihan tanggung jawab negara dalam
penyelenggaraan pendidikan tinggi, tampak jelas pada sistem pembiayaan
perguruan tinggi berstatus PTNBH. Atas otonominya, perguruan tinggi dibebankan
tanggung jawab untuk mencari dan mengelola sumber pendanaannya secara mandiri.
Perguruan tinggi akhirnya fokus untuk “mengumpulkan uang” ketimbang
melaksanakan tridharma perguruan tinggi. Kalau dana yang diperoleh tidak
mencukupi, biaya kuliah mahasiswa pun dinaikkan. Di sisi lain, pemerintah hanya
turut membantu dengan menutupi kekurangan dana perguruan tinggi berstatus PTNBH
melalui pemberian dana BOPTN. Dengan bagitu, negara bukan lagi sebagai
penyelenggara utama pendidikan tinggi, tetapi sebatas penyokong.
Anggaran pendidikan selama ini, masih jauh
dari kategori tepat guna dan tepat sasaran. UU No. 14 Tahun 2016 tentang APBN
Tahun Anggaran 2016 menetapkan anggaran pendidikan sekitar Rp. 429 triliun. Jumlah itu
sekadar sebanding dengan 20% total belanja negara yang jumlahnya sekitar Rp. 2,095
kuadran. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendapatkan anggaran sebesar Rp. 49,23 triliun. Adapun Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) sebesar Rp39,49 triliun. Anggaran
pendidikan lainnya tersebar di kemanterian yang juga turut menyelenggarakan pendidikan.
Meski hitung-hitungan anggaran untuk pendidikan telah sesuai amanah konstitusi, nyatanya Bantuan Operasional PTN (BOPTN) tahun 2016, sebagai bentuk pembiayaan negara dari APBN untuk fungsi pendidikan, hanya berkisar Rp. 5 trilliun. Sebanyak 30% dana BOPTN tersebut pun, ditujukan untuk kegiatan penelitian sesuai ketetapan Pasal 89 ayat (6) UU Dikti. Kecilnya BOPTN tersebut tentu berpengaruh terhadap biaya kuliah mahasiswa, sebab BOPTN juga difungsikan untuk menutupi beban Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa.
Meski hitung-hitungan anggaran untuk pendidikan telah sesuai amanah konstitusi, nyatanya Bantuan Operasional PTN (BOPTN) tahun 2016, sebagai bentuk pembiayaan negara dari APBN untuk fungsi pendidikan, hanya berkisar Rp. 5 trilliun. Sebanyak 30% dana BOPTN tersebut pun, ditujukan untuk kegiatan penelitian sesuai ketetapan Pasal 89 ayat (6) UU Dikti. Kecilnya BOPTN tersebut tentu berpengaruh terhadap biaya kuliah mahasiswa, sebab BOPTN juga difungsikan untuk menutupi beban Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa.
Kecenderungan bahwa negara lepas tangan
dalam pembiayaan pendidikan tinggi dengan adanya status PTNBH, sulit tak
terbaca. Apalagi, pemberian status PTNBH mempertimbangkan tingkat kemapanan sebuah
perguruan tinggi dalam persoalan kemandirian pendanaan. Perguruan tinggi diarahkan
untuk membiayai dirinya sendiri. Akhirnya, jika seluruh perguruan tinggi negeri
telah berstatus PTNBH, maka negara tak akan ambil pusing lagi dalam persoalan
pembiayaan. Lalu, diapakan dana sekurang-kurangnya 20% dana dari APBN dan APBD
untuk pendidikan?
UU Dikti secara terang tidak sejalan dengan
amanah konstitusi. Selain memberikan otonomi yang kebablasan kepada perguruan
tinggi melalui konsep PTNBH, UU ini juga tidak menguraikan atau setidaknya
mencantumkan bahwa pendanaan perguruan tinggi oleh negara diperoleh dari dana
di bidang pendidikan, yaitu sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan ABPD. Pasal 83
UU Dikti hanya meyatakan bahwa pemerintah mengalokasikan dana pendidikan tinggi
dari APBN, sedangkan pemerintah daerah sifatnya hanya membantu.
Masalah pendanaan pendidikan, termasuk
pendidikan tinggi, adalah tanggung jawab utama negara. Pasal 49 UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa dana pendidikan
selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, dialokasikan minimal 20%
dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD. Namun sayang, UU
Dikti, juga tidak dirumuskan secara harmonis dengan undang-undang lain yang terkait
pendidikan. Hal itu tampak dalam konsideran bagian Mengingat yang tidak merujuk
kepada undang-undang lain yang terkait bidang pendidikan. Tak mengherankan jika
UU Dikti terkesan berdiri sendiri.
Lahirnya UU Dikti, malah membuat pendidikan
tinggi bukan lagi bagian dari sistem pendidikan nasional. Padahal Pasal 1 angka
11 UU No. 20 Tahun 2003 telah menyatakan bahwa pendidikan formal bersifat
terstruktur dan berjenjang, terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah,
dan pendidikan tinggi. Kesan bahwa pendidikan tinggi telah diabaikan sebagai bagian
dari sistem pendidikan, semakin diperkuat dengan adanya pemisahan Kemendikbud dan
Kemenristekdikti. Akhirnya, teranglah bahwa negara telah lepas tangan dari
penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Kembalikan
Tanggung Jawab Negara
Sudah saatnya penyelenggaraan pendidikan
tinggi sebagai jenjang tertinggi pendidikan formal, dikembalikan sesuai dengan
amanah konstitusi. Kembali kepada konstitusi berarti mengembalikan kedudukan
negara sebagai penanggung jawab utama penyelenggaraan pendidikan. Negara harus
memberikan jaminan bahwa hak warga negara dalam penyelenggaraan pendidikan, terpenuhi.
Pentingnya mendudukkan negara sebagai pemeran
utama dalam penyelengaraan pendidikan tinggi, tidak terlepas dari tujuan dari
pendidikan itu sendiri. Jika negara memegang kendali terhadap pendidikan, maka
cita-cita menuju bangsa yang cerdas akan terwujud. Sebaliknya, jika negara
lepas tangan, maka anak bangsa tidak akan terdidik menjadi pribadi yang cerdas,
tapi terdidik menjadi “mesin” untuk kepentingan “pemilik modal”.
Tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan
pendidikan selain berpegang tegung pada roh pendidikan bangsa, sebagaimana
ditegaskan pendiri bangsa dalam konstitusi negara. Telah ditegaskan bahwa tanggung
jawab negaralah untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan pendidikan di
semua jenjang. Jika konstitusi dilaksanakan dengan amanah, bisa dijamin bahwa
pendidikan bukan lagi “barang langka”. Tapi jika konstitusi sebagai sebagai
dasar bernegara sekaligus payung pendidikan telah “diinjak-injak”, jangan heran
melihat kehidupan pendidikan bangsa menjadi karut-marut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar