Masih
terjaga sebuah foto yang mengabadikan tentang kita terakhir kalinya. Kubingkai
sebaik mungkin, agar tak buram dan terhapus, sebagaimana pesanmu sebelum pergi,
selama-lamanya. Kubersihkan saat debu-debu mulai menempel, atau ketika kelembapan
udara membahayakannya. Kujaga sepenuh hati, sebagaimana cintaku padamu.
Pada
selembar foto itu, masih tampak jelas kita yang duduk bersampingan, bak raja
dan ratu. Terlihat sangat bahagia, sebagaimana dua sejoli yang tengah duduk di
pelaminan. Sama-sama menatap ke depan, dengan senyuman terbaik, seakan tanpa
beban. Aku mengenakan gaun putih dengan riasan seadanya, sedangkan kau mengenakan
setelan resmi berupa jas berdasi.
Sepanjang
waktu, aku selalu suka memandangi wajahmu di foto. Memandang bola matamu,
seakan-akan keduanya balas menatapku penuh keteduhan. Mengagumi lekukan di
sekitar bibir dan pipimu, yang membuatku takjub seumur hidup. Hingga kuterka-terka
janggut dan kumismu yang suka kupelintir, dan kau tak pernah melarangku
melakukan keusilan itu.
Adegan-adegan
berkesan menjelang pengambilan foto, juga masih tersimpan baik di memoriku.
Tentang kau yang mengusapkan bedak di wajahku, mewarnai alis dan bibirku, juga
menata rambutku. Perihal yang kau lakukan sebab berkeras soal bentuk dandanan
yang bisa menampakkan cantikku seutuhnya, yang kau sukai, walau hasilnya
sedikit mengecewakanku.
Di
menit-menit terakhir itu, aku pun melakukan hal yang sama padamu. Kurapikan
kumis dan jenggutmu, kusisiri rambutmu, dan kupasangkan dasimu. Kulakukan perlahan,
sebaik mungkin, sebagaimana pintamu, sambil menahan air mata beserta rasa takut
bahwa maut akan segera menjemputmu sebelum kita sempat berfoto.
“Masih
ada waktu! Kita bisa pergi!” kataku, membujukmu, sebelum kau menegaskan
rencanamu untuk mengabadikan kita dalam sebuah foto, dan kita larut dalam persiapan
yang memburu.
“Sudahlah, sayang. Entah sebentar atau kelak, akan sampai waktunya kita berpisah.” Kau
lalu tersenyum. Tampak tegar dan pasrah para akhir menyedihkan yang sudah bisa
ditebak. Kau lalu menggenggam lenganku. Memberiku kekuatan. “Tak perlu takut. Sejauh
mana pun kita berlari, waktu akan menampakkan takdir yang telah digariskan.”
“Tapi….”
Suaraku tertahan. Air mataku bergulir.
Seketika,
kau menyeka pipiku yang basah. “Jangan mengangis,” katamu.
“Tapi…,”
Aku berusaha mengelak, sambil menatap matamu. “Masih ada waktu untuk kita
bergegas dan meloloskan diri ke atas bukit.”
Kau
hanya tersenyum. “Sudahlah, sayang. Biarkan waktu bekerja. Kau tahu sendiri,
kita hanya berdua. Sejoli yang mempertahankan cintanya yang suci. Dan, dari
jarak yang dekat, mungkin mereka bergegas kemari dalam jumlah puluhan, atau
bahkan ratusan,” katamu. Tampak tenang. “Setidaknya, di sini, kita masih bisa
menikmati sedikit waktu untuk kebahagiaan kita bersama.”
“Tapi
aku takut. Aku khawatir padamu. Dan kau tahu, aku mencintaimu,” tentangku lagi,
berharap kau berubah pikiran.
“Jangan takut soal diriku. Takutlah jika anak
kita, tak akan pernah melihat sosok ayahnya sama sekali,” tuturmu, sambil
membelai rambutku. “Aku tak ingin mati tanpa terduga, hingga tak sempat
meningalkan jejak untuk anak kita. Aku ingin, kelak, kau memperlihatkan rupaku
padanya, sambil bercerita tentang cinta dan rinduku yang mendalam,” pesanmu,
sembari menggenggam tanganku, lalu mengusap-usap perutku yang membuncit. “Aku
hidup dalam dirinya, kelak. Kau tak akan kesepian. Iya, kan?”
Aku
mengangguk. Pasrah pada keteguhanmu.
Dan
setelah permintaan terakhirmu, seusai kita berfoto layaknya sepasang pengantin,
terjadilah apa yang aku takutkan. Sebuah peristiwa yang kau sadari sendiri,
akan terjadi juga. Kau meninggal dengan tikaman bertubi-tubi. Tanpa perlawanan.
Mati membawa janjimu untuk terus bersamaku, sebagaimana pernah kau ikrarkan di
depan Tuhan. Mati demi cinta yang suci, di bawah hukum para pendahuluku yang kokoh pada adat-istiadat.
Engkaulah
seorang buronan yang terbunuh setelah membawaku pergi demi mengikatkan cinta di tempat yang jauh, tanpa pendahulu kita. Meninggalkan lingkungan hukum
yang menurutmu membelenggu kemanusiaan. Seperangkat hukum yang membunuh cinta.
Hukum yang menginjak-injak esensi kemanusian. Kau gigih membebaskan kita, menentang para tetua, tanpa peduli dicap pembangkang, pendosa, dan harus terbunuh, demi
nilai yang kau pegang teguh: cinta dan kebenaran sejati.
Hingga
sampailah aku di tahun-tahun kemudian, pada saat sekarang ini, kala aku hanya
menjumpaimu di sebingkai foto. Pada berkas dua dimensi peninggalanmu itulah,
aku mengobati kerinduan, tiap kali terkenang padamu, yang kutahu betul, begitu
mencintaiku. Cinta yang tak akan membuatku berpaling, meski kini, kau hanyalah
sebuah gambar, sebab aku tahu, tak ada cinta yang melebihi cintamu padaku.
Untuk
kebersamaan antara kita yang telah berada dalam dimensi kehidupan yang berbeda,
maka sepeninggal kedua orang tuaku, kutaruhlah foto kenangan kita di sisi atas
dinding, tepat di depan kasurku. Itu kulakukan agar setiap waktu, aku bisa
menatapmu, sambil berkhayal bahwa kau akan keluar dari bingkai, lalu memberiku
kehangatan. Atau paling tidak, bayanganmu akan terbawa di alam bawah sadarku,
sampai kita bersua di alam mimpi.
Dan
malam ini, menjelang tidur, anak kita yang telah bertumbuh, sampai berumur
depalan tahun, mempertanyakan tentang dirimu.
“Ayah
terlihat tampan di foto. Ibu juga terlihat cantik. Seperti raja dan ratu saja,”
sentilnya, saat kami tengah berbaring di atas kasur, sambil menatap foto yang
membingkai kita.
“Ayahmu memang tampan, Nak. Makanya, kau juga
tampan,” pujiku, sambil mengelus rambutnya.
Senyumannya pun merekah. Persis semanis senyumanmu. “Ceritakan padaku tentang Ayah, Bu.”
Aku
pun berkisah banyak tentangmu. Menceritakan soal keteguhan cintamu. Juga
menyampaikan pesan kerinduanmu padanya. Namun tetap saja, kupilih kata-kata yang
tepat agar ia tak merasakan keganjilan dan mulai bertanya soal rahasia kepergianmu
yang tragis, yang tersimpan di balik foto.
“Sungguh,
kau harus tahu, Nak, kalau dia, begitu sangat mencintaimu, meski kalian tak
sempat berjumpa di alam dunia,” kataku.
Dia
terlihat takzim. Raut kerinduannya pun, berubah semringah.
Kukecup
dahinya. “Tidurlah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar