Kamis, 22 Maret 2018

Cerita Foto

Masih terjaga sebuah foto yang mengabadikan tentang kita terakhir kalinya. Kubingkai sebaik mungkin, agar tak buram dan terhapus, sebagaimana pesanmu sebelum pergi, selama-lamanya. Kubersihkan saat debu-debu mulai menempel, atau ketika kelembapan udara membahayakannya. Kujaga sepenuh hati, sebagaimana cintaku padamu.
 
Pada selembar foto itu, masih tampak jelas kita yang duduk bersampingan, bak raja dan ratu. Terlihat sangat bahagia, sebagaimana dua sejoli yang tengah duduk di pelaminan. Sama-sama menatap ke depan, dengan senyuman terbaik, seakan tanpa beban. Aku mengenakan gaun putih dengan riasan seadanya, sedangkan kau mengenakan setelan resmi berupa jas berdasi.

Sepanjang waktu, aku selalu suka memandangi wajahmu di foto. Memandang bola matamu, seakan-akan keduanya balas menatapku penuh keteduhan. Mengagumi lekukan di sekitar bibir dan pipimu, yang membuatku takjub seumur hidup. Hingga kuterka-terka janggut dan kumismu yang suka kupelintir, dan kau tak pernah melarangku melakukan keusilan itu.

Adegan-adegan berkesan menjelang pengambilan foto, juga masih tersimpan baik di memoriku. Tentang kau yang mengusapkan bedak di wajahku, mewarnai alis dan bibirku, juga menata rambutku. Perihal yang kau lakukan sebab berkeras soal bentuk dandanan yang bisa menampakkan cantikku seutuhnya, yang kau sukai, walau hasilnya sedikit mengecewakanku.

Di menit-menit terakhir itu, aku pun melakukan hal yang sama padamu. Kurapikan kumis dan jenggutmu, kusisiri rambutmu, dan kupasangkan dasimu. Kulakukan perlahan, sebaik mungkin, sebagaimana pintamu, sambil menahan air mata beserta rasa takut bahwa maut akan segera menjemputmu sebelum kita sempat berfoto.

“Masih ada waktu! Kita bisa pergi!” kataku, membujukmu, sebelum kau menegaskan rencanamu untuk mengabadikan kita dalam sebuah foto, dan kita larut dalam persiapan yang memburu.

“Sudahlah, sayang. Entah sebentar atau kelak, akan sampai waktunya kita berpisah.” Kau lalu tersenyum. Tampak tegar dan pasrah para akhir menyedihkan yang sudah bisa ditebak. Kau lalu menggenggam lenganku. Memberiku kekuatan. “Tak perlu takut. Sejauh mana pun kita berlari, waktu akan menampakkan takdir yang telah digariskan.”

“Tapi….” Suaraku tertahan. Air mataku bergulir. 

Seketika, kau menyeka pipiku yang basah. “Jangan mengangis,” katamu. 

“Tapi…,” Aku berusaha mengelak, sambil menatap matamu. “Masih ada waktu untuk kita bergegas dan meloloskan diri ke atas bukit.”

Kau hanya tersenyum. “Sudahlah, sayang. Biarkan waktu bekerja. Kau tahu sendiri, kita hanya berdua. Sejoli yang mempertahankan cintanya yang suci. Dan, dari jarak yang dekat, mungkin mereka bergegas kemari dalam jumlah puluhan, atau bahkan ratusan,” katamu. Tampak tenang. “Setidaknya, di sini, kita masih bisa menikmati sedikit waktu untuk kebahagiaan kita bersama.”

“Tapi aku takut. Aku khawatir padamu. Dan kau tahu, aku mencintaimu,” tentangku lagi, berharap kau berubah pikiran.

“Jangan takut soal diriku. Takutlah jika anak kita, tak akan pernah melihat sosok ayahnya sama sekali,” tuturmu, sambil membelai rambutku. “Aku tak ingin mati tanpa terduga, hingga tak sempat meningalkan jejak untuk anak kita. Aku ingin, kelak, kau memperlihatkan rupaku padanya, sambil bercerita tentang cinta dan rinduku yang mendalam,” pesanmu, sembari menggenggam tanganku, lalu mengusap-usap perutku yang membuncit. “Aku hidup dalam dirinya, kelak. Kau tak akan kesepian. Iya, kan?”

Aku mengangguk. Pasrah pada keteguhanmu.

Dan setelah permintaan terakhirmu, seusai kita berfoto layaknya sepasang pengantin, terjadilah apa yang aku takutkan. Sebuah peristiwa yang kau sadari sendiri, akan terjadi juga. Kau meninggal dengan tikaman bertubi-tubi. Tanpa perlawanan. Mati membawa janjimu untuk terus bersamaku, sebagaimana pernah kau ikrarkan di depan Tuhan. Mati demi cinta yang suci, di bawah hukum para pendahuluku yang kokoh pada adat-istiadat. 

Engkaulah seorang buronan yang terbunuh setelah membawaku pergi demi mengikatkan cinta di tempat yang jauh, tanpa pendahulu kita. Meninggalkan lingkungan hukum yang menurutmu membelenggu kemanusiaan. Seperangkat hukum yang membunuh cinta. Hukum yang menginjak-injak esensi kemanusian. Kau gigih membebaskan kita, menentang para tetua, tanpa peduli dicap pembangkang, pendosa, dan harus terbunuh, demi nilai yang kau pegang teguh: cinta dan kebenaran sejati. 

Hingga sampailah aku di tahun-tahun kemudian, pada saat sekarang ini, kala aku hanya menjumpaimu di sebingkai foto. Pada berkas dua dimensi peninggalanmu itulah, aku mengobati kerinduan, tiap kali terkenang padamu, yang kutahu betul, begitu mencintaiku. Cinta yang tak akan membuatku berpaling, meski kini, kau hanyalah sebuah gambar, sebab aku tahu, tak ada cinta yang melebihi cintamu  padaku.

Untuk kebersamaan antara kita yang telah berada dalam dimensi kehidupan yang berbeda, maka sepeninggal kedua orang tuaku, kutaruhlah foto kenangan kita di sisi atas dinding, tepat di depan kasurku. Itu kulakukan agar setiap waktu, aku bisa menatapmu, sambil berkhayal bahwa kau akan keluar dari bingkai, lalu memberiku kehangatan. Atau paling tidak, bayanganmu akan terbawa di alam bawah sadarku, sampai kita bersua di alam mimpi.

Dan malam ini, menjelang tidur, anak kita yang telah bertumbuh, sampai berumur depalan tahun, mempertanyakan tentang dirimu.

“Ayah terlihat tampan di foto. Ibu juga terlihat cantik. Seperti raja dan ratu saja,” sentilnya, saat kami tengah berbaring di atas kasur, sambil menatap foto yang membingkai kita.

“Ayahmu memang tampan, Nak. Makanya, kau juga tampan,” pujiku, sambil mengelus rambutnya.

Senyumannya pun merekah. Persis semanis senyumanmu. “Ceritakan padaku tentang Ayah, Bu.”

Aku pun berkisah banyak tentangmu. Menceritakan soal keteguhan cintamu. Juga menyampaikan pesan kerinduanmu padanya. Namun tetap saja, kupilih kata-kata yang tepat agar ia tak merasakan keganjilan dan mulai bertanya soal rahasia kepergianmu yang tragis, yang tersimpan di balik foto.

“Sungguh, kau harus tahu, Nak, kalau dia, begitu sangat mencintaimu, meski kalian tak sempat berjumpa di alam dunia,” kataku.

Dia terlihat takzim. Raut kerinduannya pun, berubah semringah.

Kukecup dahinya. “Tidurlah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar