Fenomena
kenikian menunjukkan sulitnya memisahkan hubungan kebajikan dengan publisitas. Tampak,
kebajikan seperti kejujuran, kesederhanaan, kepedulian, diganjar dengan
sejumlah penghargaan, bahkan disiarkan di sejumlah media. Klaim-mengklaim atas
kebajikan pun marak. Lihatlah pedagang memasang pengumuman “timbangan jujur”,
seakan yang lain tak jujur. Saksikan juga sifat kedermawanan seseorang yang dibarengi
dengan penampakan identitas, semisal menyumbang di lembaga sosial atau keagamaan,
seakan dirinya paling peduli.
Lalu, dapatkah dikatakan bahwa penampakan seseorang atas kebajikannya, benar sesuai dengan kata hatinya? Pertanyaan ini tentu sangat sulit dijawab. Tidak mungkin langsung memvonis bahwa seseorang yang mengatakan dirinya ikhlas, benar-benar ikhlas. Tidak tepat juga menyimpulkan bahwa orang ikhlas, sejatinya tak akan pernah menampakkan keikhlasannya, atau diam. Bisa jadi, orang yang mengaku ikhlas benar-benar ikhlas, dan bisa jadi juga pengakuannya hanya untuk menutupi kenyataan bahwa dirinya tidaklah ikhlas.
Lalu, dapatkah dikatakan bahwa penampakan seseorang atas kebajikannya, benar sesuai dengan kata hatinya? Pertanyaan ini tentu sangat sulit dijawab. Tidak mungkin langsung memvonis bahwa seseorang yang mengatakan dirinya ikhlas, benar-benar ikhlas. Tidak tepat juga menyimpulkan bahwa orang ikhlas, sejatinya tak akan pernah menampakkan keikhlasannya, atau diam. Bisa jadi, orang yang mengaku ikhlas benar-benar ikhlas, dan bisa jadi juga pengakuannya hanya untuk menutupi kenyataan bahwa dirinya tidaklah ikhlas.
Motif
kebajikan seseorang hanya dapat dinilai secara kontekstual. Sering kali
terjadi, seseorang diperhadapkan pada masalah kenyataan yang memaksa ia
mengakui kebajikannya. Taruhlah, seseorang tidak mungkin menolak pencantuman
namanya sebagai penyumbang kepada sebuah instansi, jikalau nantinya, identitas
sang dermawan dibutuhkan untuk menghindari asumsi bahwa telah terjadi penyogokan, pencucian uang, atau setidaknya sumber dana menjadi tidak jelas.
Jadi bisa terjadi kemungkinan, seseorang harus menampakkan kebaikannya.
Merujuk
pada pengantar di atas, maka selayaknya penampakan kebajikan tidak dijadikan
patokan untuk memvonis bahwa seseorang pamer kebaikan atau tidak. Selain
melihat pada dampak nyata sebuah kebajikan, tentu tak ada dasar menilai motif
kebajikan seseorang. Dirinyalah yang lebih tahu tentang niatnya. Maka dari itu,
tidak baiklah jika dikatakan bahwa semua kebajikan akan terkikis nilainya
seiring dengan aktivitas publikasi. Tidak tepat juga membatasi bahwa kebajikan
sejati, adalah yang tidak terucap. Bisa jadi, seseorang sengaja menutupi
kebajikannya untuk dianggap orang paling bajik dalam keikhlasan.
Tentu
selayaknya kebajikan dibanggakan. Tak ada yang salah jika seseorang merasa
senang dan membanggakan dirinya kala melakukan sebuah kebajikan, meskipun
kecil. Persoalan apakah kebajikan itu tampak di depan umum atau tidak,
janganlah jadi acuan untuk menilai isi hati seseorang. Apalagi, di zaman saat
akses informasi begitu terbuka, bisa jadi publikasi atas kebaikan seseorang,
bukan atas kehendaknya sendiri, tapi atas kemauanan, desakan, dan perbuatan
orang lain. Seseorang haruslah tetap bangga dalam kebajikan, baik diketahui
maupun tidak oleh orang lain.
Akibatnya
akan fatal kala setiap orang menilai setiap perilaku bajik tak boleh tampak,
agar nilainya tak terkikis dan berubah menjadi keburukan. Kebajikan sengaja ditutup-tutupi,
seakan serupa dengan aib. Ada keengganan kalau kebajikan diketahui orang lain.
Di sisi lain, kebiadaban tidak lagi menjadi sebuah “kemaluan”. Keburukanlah
yang jadi kebanggaan dan dipamer-pamerkan. Kalau keadaan sudah seperti ini, sungguh
dunia telah terbalik.
Saatnya
membenahi pola pikir. Suci tidaknya kebajikan tidak dilekatkan pada tampak
tidaknya identitas pelakon di depan umum. Setiap orang selayaknya memuji dan membanggakan
dirinya sendiri atas kebajikan yang telah ia lakukan, tanpa mempermasalahkan
apakah orang lain mengetahuinya atau tidak. Jangan sampai sebaliknya, kala
orang merasa malu karena kebajikannya tampak, tapi tak mempermasalahkan perbuatan
buruknya tersebar luas. Merasa keburukan bukanlah aib.
Kebajikan
memang seharusnya dibagikan. Setiap orang punya beban moril untuk menyebarluaskan
kebajikan sesuai kemampuan dan pemahamannya. Penyampaian kebajikan bisa melalui
tulisan, lisan, maupun perbuatan. Karena itu, setiap upaya penyebarluasan
kebajikan melalui media apa pun, tak selayaknya dicap pamer. Siapalah yang lebih
tahu tentang isi hati. Yang pasti, ketidakikhlasan seseorang atas kebajikannya,
akan menjadi beban batin untuk dirinya sendiri. Bahkan kebajikan bisa menjadi
bumerang jika motivasinya adalah penghargaan, padahal tak seorang pun
menghargainya.
Sudah
sepantasnya setiap orang melakukan kebajikan tanpa perlu takut akan dicap
“tukang pamer”. Kebajikan harus tetap dibanggakan dan diaktualisasikan, tanpa
perlu ambil pusing terhadap komentar orang lain. Motivasi terbaik untuk
melakukan kebajikan, hendaknya dikembalikan kepada diri sendiri. Pada diri
sendirilah penghargaan atas sebuah kebajikan benar-benar tulus. Kala kebajikan dilandasi
niat yang ikhlas, kelak rasa bahagia pun merasuki, termasuk anugerah cinta dari
orang lain. Kalaupun tidak, Tuhan Maha Tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar