Baru
kemarin saya mendengar seorang teman bertanya tentang lowongan kerja pada
seorang teman yang lain. Ia bertanya ada tidaknya lowongan bagi perawat di
sebuah rumah sakit. Itu tentu pertanyaan biasa saja. Tapi jadi menggelitik kala
ia menanyakan haruskah ada orang dalam agar diterima sebagai pekerja. Ya, orang
dalam yang dimaksud adalah teman atau keluarga yang dapat menyediakan “jembatan”
keberhasilan. Praktik ini lazim diistilahkan kolusi dan nepotisme.
Tak
lama sebelum itu, ada juga kenalan saya berpikir serupa. Ia sangat ingin lulus
masuk perguruan tinggi negeri tahun ini. Jalur seleksi tertulis nasional menjadi
tumpuannya setelah sebelumnya dinyatakan tidak lulus pada jalur undangan. Akibat
tak percaya diri, ia ragu akan lulus di tahap bergengsi ini. Terlebih, ia menduga,
orang yang lulus punya orang dalam. Sebagai antisipasi, ia berujar bahwa orang
tuanya akan berusaha menggunakan lobi orang dalam atas nama keluarga, demi
kelulusannya nanti.
Fenomena
semacam ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Masih sering timbul kecurigaan
bahwa keberhasilan seseorang dilatarbelakangi bantuan orang dalam. Kecurigaan
itu tertuju menyasar institusi swasta maupun negeri. Teringat lagi beberapa
tahun lalu, kala kakak saya lulus sebagai Pegawai Negeri Sipil. Beberapa orang
di kampung pun mempertanyakan jalan suksesnya. Mirisnya, bukan sekadar bertanya
bagaimana proses yang harus dilalui, atau setidaknya, pengetahuan apa saja
yang dibutuhkan untuk menjawab soal, tapi tentang adakah orang dalam yang kiranya
juga dapat digunakannya.
Saya
pun pernah merasakan pengalaman serupa. Beberapa tahun silam, kecurigaan muncul
kala saya dinyatakan lulus di sebuah perguruan tinggi negeri yang terpandang
melalui jalur tertulis. Beberapa orang, bahkan keluarga sendiri, mempertanyakan
tentang bagaimana saya bisa lulus. Mereka pun meragukan bahwa proses yang saya
lalui sebagaimana adanya dan mestinya, sesuai aturan. Dipikirnya, ada orang
dalam yang terlibat, yang suatu waktu bisa membantu mereka juga, padahal sama
sekali tidak ada.
Kenyataan
ini menunjukkan adanya sindrom orang dalam. Sudah akut. Setiap orang saling
mencurigai bahwa akses keberhasilan menuju kemenangan dalam sebuah kompetisi,
diperoleh dengan cara yang tidak-tidak. Keadaan ini bahkan telah menjadi
rahasia umum. Beberapa orang dengan mudah tuduh-menuduh akan keterlibatan orang
dalam. Apalagi kalau pada diri seseorang yang berhasil, tidak menunjukkan
potensi menjadi pemenang, seperti tak tampak kecerdasannya.
Sindrom
orang dalam lambat laun menghilangkan kepercayaan diri. Itu tentu sangat
berbahaya. Orang menjadi tak yakin bahwa unsur kemampuan diri dan
keberuntungannya, akan mengantarkannya pada keberhasilan, tanpa bantuan orang
dalam. Terbukti dari beberapa kasus yang terjadi, ada orang yang terbilang
pintar secara akademik, namun enggan berkompetisi secara sehat. Ia takut
dikibuli, padahal itu karena ketidakpercayaannya saja. Kepintarannnya pun
dikorbankan, bahkan disalahgunakan untuk mencari jasa orang dalam.
Penyebab
timbulnya sindrom orang dalam ini. Sangatlah kompleks. Bisa jadi karena orang-orang
sudah masa bodoh, ketidakinginan dipecundangi, keengganan melihat teman atau
keluarga tidak berhasil, ataukah keinginan untuk memperoleh keberhasilan secara
instan. Selain alasan itu, tentu masih banyak lagi motivasi, motif, dan modus
yang memperparah sindrom orang dalam.
Lalu,
dari sekian banyak faktor masalahnya, bagaimana sindrom tersebut dapat
disembuhkan? Sindrom orang dalam pada dasarnya wujud dari ketidakpercayaan.
Ketidakpercayaan ini tidak sekadar teruju pada kemampuan diri sendiri, tetapi
juga pada orang lain, maupun sistem. Akar ketidakpercayaan itu adalah
kecurigaan. Curiga bahwa diri sendiri tak mampu, curiga kalau orang pengambil
kebijakan akan bermain mata dan uang, atau curiga bahwa sistem telah
mengendalikan orang-orang sehingga tak mampu menghindari praktik kotor orang
dalam.
Kalau
telah sepakat bahwa ketidakpercayaan yang berpangkal dati kecurigaanlah yang
menjadi akar masalahnya, maka solusinya adalah menumbuhkan kembali kepercayaan
itu. Setiap orang harus mendasari setiap perilakunya atas dasar kepercayaan
terlebih dahulu, sampai fakta penghianatan meruntuhkannya. Jika pada diri
setiap orang sudah tumbuh kepercayaan bahwa segala sesuatu akan terjadi sebagaimana
mestinya, bahwa proses yang baik tidak akan menghianati hasil, maka eksistensi
orang dalam pun jadi tak diperlukan dan sirna.
Perlu
dicamkan bahwa maraknya orang dalam tidak lain akibat dari tuntutan orang-orang
pragmatis yang tak mau susah-payah dalam menggapai keberhasilan. Buah dari
praktik suap-menyuap yang mempertuhankan uang dan menghianati proses. Sintesis
itu tepat digambarkan dalam ilustrasi klasik bahwa maraknya sistem percaloan di
sejumlah instansi, tidak melulu akibat tidak tegasnya penegakan aturan, tetapi
juga akibat keinginan sejumlah orang yang tak mau repot-repot dan ingin mendapatkan
pelayanan ekslusif, padahal itu jelas melanggar prosedur.
Tidak
ada maksud untuk menampikkan kenyataan bahwa selama ini, memang masih banyak
praktik orang dalam yang terorganisir. Jelas praktik kolusi dan nepotisme masih
marak terjadi. Ego sentris dan ego kelompok menjadi pemucunya. Selama ada
kedekatan emosional yang lebih antarorang, karena alasan teman atau keluarga,
praktik orang dalam tak mungkin dapat diberangus total.
Di
sisi lain, maraknya paraktik orang dalam tidak boleh berujung pada tindakan menggeneralisasi
bahwa setiap keberhasilan, terjadi akibat sentuhan orang dalam. Masih banyak
fakta-fakta yang menunjukkan bahwa seseorang berhasil tanpa bantuan orang
dalam. Kelak, saat menjadi pengambil kebijakan, pada merekalah, harapan
digantungkan, bahwa kelak, praktik orang dalam disikapi dengan upaya pemberantasan. Mereka melangkah
ringan dalam kebajikan, sebab tak terbebani dosa masa lalu. Tak ada utang budi atas
peran orang dalam.
Secara
ringkas, untuk mengatasi sindrom orang dalam, dua segi upaya pemberantasan
harus dikombinasikan, yaitu pemberantasan dari luar dan dalam. Pemberantasan dari luar maksudnya adalah menegakkan aturan hukum secara tegas kepada orang-orang
yang menawarkan jasa sebagai orang dalam. Upaya itu lalu dibarengi dengan
pemberantasan dari dalam, yaitu membangkitkan kepercayaan terhadap diri sendiri
dan lingkungan.
Ingatlah bahwa nikmatnya keberhasilan ada pada pengorbanan diri sendiri, pada keringat yang menetes.
Ingatlah bahwa nikmatnya keberhasilan ada pada pengorbanan diri sendiri, pada keringat yang menetes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar