Selasa, 24 Mei 2016

Sindrom Orang Dalam

Baru kemarin saya mendengar seorang teman bertanya tentang lowongan kerja pada seorang teman yang lain. Ia bertanya ada tidaknya lowongan bagi perawat di sebuah rumah sakit. Itu tentu pertanyaan biasa saja. Tapi jadi menggelitik kala ia menanyakan haruskah ada orang dalam agar diterima sebagai pekerja. Ya, orang dalam yang dimaksud adalah teman atau keluarga yang dapat menyediakan “jembatan” keberhasilan. Praktik ini lazim diistilahkan kolusi dan nepotisme.

Tak lama sebelum itu, ada juga kenalan saya berpikir serupa. Ia sangat ingin lulus masuk perguruan tinggi negeri tahun ini. Jalur seleksi tertulis nasional menjadi tumpuannya setelah sebelumnya dinyatakan tidak lulus pada jalur undangan. Akibat tak percaya diri, ia ragu akan lulus di tahap bergengsi ini. Terlebih, ia menduga, orang yang lulus punya orang dalam. Sebagai antisipasi, ia berujar bahwa orang tuanya akan berusaha menggunakan lobi orang dalam atas nama keluarga, demi kelulusannya nanti.

Fenomena semacam ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Masih sering timbul kecurigaan bahwa keberhasilan seseorang dilatarbelakangi bantuan orang dalam. Kecurigaan itu tertuju menyasar institusi swasta maupun negeri. Teringat lagi beberapa tahun lalu, kala kakak saya lulus sebagai Pegawai Negeri Sipil. Beberapa orang di kampung pun mempertanyakan jalan suksesnya. Mirisnya, bukan sekadar bertanya bagaimana proses yang harus dilalui, atau setidaknya, pengetahuan apa saja yang dibutuhkan untuk menjawab soal, tapi tentang adakah orang dalam yang kiranya juga dapat digunakannya.

Saya pun pernah merasakan pengalaman serupa. Beberapa tahun silam, kecurigaan muncul kala saya dinyatakan lulus di sebuah perguruan tinggi negeri yang terpandang melalui jalur tertulis. Beberapa orang, bahkan keluarga sendiri, mempertanyakan tentang bagaimana saya bisa lulus. Mereka pun meragukan bahwa proses yang saya lalui sebagaimana adanya dan mestinya, sesuai aturan. Dipikirnya, ada orang dalam yang terlibat, yang suatu waktu bisa membantu mereka juga, padahal sama sekali tidak ada.

Kenyataan ini menunjukkan adanya sindrom orang dalam. Sudah akut. Setiap orang saling mencurigai bahwa akses keberhasilan menuju kemenangan dalam sebuah kompetisi, diperoleh dengan cara yang tidak-tidak. Keadaan ini bahkan telah menjadi rahasia umum. Beberapa orang dengan mudah tuduh-menuduh akan keterlibatan orang dalam. Apalagi kalau pada diri seseorang yang berhasil, tidak menunjukkan potensi menjadi pemenang, seperti tak tampak kecerdasannya.

Sindrom orang dalam lambat laun menghilangkan kepercayaan diri. Itu tentu sangat berbahaya. Orang menjadi tak yakin bahwa unsur kemampuan diri dan keberuntungannya, akan mengantarkannya pada keberhasilan, tanpa bantuan orang dalam. Terbukti dari beberapa kasus yang terjadi, ada orang yang terbilang pintar secara akademik, namun enggan berkompetisi secara sehat. Ia takut dikibuli, padahal itu karena ketidakpercayaannya saja. Kepintarannnya pun dikorbankan, bahkan disalahgunakan untuk mencari jasa orang dalam.

Penyebab timbulnya sindrom orang dalam ini. Sangatlah kompleks. Bisa jadi karena orang-orang sudah masa bodoh, ketidakinginan dipecundangi, keengganan melihat teman atau keluarga tidak berhasil, ataukah keinginan untuk memperoleh keberhasilan secara instan. Selain alasan itu, tentu masih banyak lagi motivasi, motif, dan modus yang memperparah sindrom orang dalam.

Lalu, dari sekian banyak faktor masalahnya, bagaimana sindrom tersebut dapat disembuhkan? Sindrom orang dalam pada dasarnya wujud dari ketidakpercayaan. Ketidakpercayaan ini tidak sekadar teruju pada kemampuan diri sendiri, tetapi juga pada orang lain, maupun sistem. Akar ketidakpercayaan itu adalah kecurigaan. Curiga bahwa diri sendiri tak mampu, curiga kalau orang pengambil kebijakan akan bermain mata dan uang, atau curiga bahwa sistem telah mengendalikan orang-orang sehingga tak mampu menghindari praktik kotor orang dalam.

Kalau telah sepakat bahwa ketidakpercayaan yang berpangkal dati kecurigaanlah yang menjadi akar masalahnya, maka solusinya adalah menumbuhkan kembali kepercayaan itu. Setiap orang harus mendasari setiap perilakunya atas dasar kepercayaan terlebih dahulu, sampai fakta penghianatan meruntuhkannya. Jika pada diri setiap orang sudah tumbuh kepercayaan bahwa segala sesuatu akan terjadi sebagaimana mestinya, bahwa proses yang baik tidak akan menghianati hasil, maka eksistensi orang dalam pun jadi tak diperlukan dan sirna.

Perlu dicamkan bahwa maraknya orang dalam tidak lain akibat dari tuntutan orang-orang pragmatis yang tak mau susah-payah dalam menggapai keberhasilan. Buah dari praktik suap-menyuap yang mempertuhankan uang dan menghianati proses. Sintesis itu tepat digambarkan dalam ilustrasi klasik bahwa maraknya sistem percaloan di sejumlah instansi, tidak melulu akibat tidak tegasnya penegakan aturan, tetapi juga akibat keinginan sejumlah orang yang tak mau repot-repot dan ingin mendapatkan pelayanan ekslusif, padahal itu jelas melanggar prosedur.

Tidak ada maksud untuk menampikkan kenyataan bahwa selama ini, memang masih banyak praktik orang dalam yang terorganisir. Jelas praktik kolusi dan nepotisme masih marak terjadi. Ego sentris dan ego kelompok menjadi pemucunya. Selama ada kedekatan emosional yang lebih antarorang, karena alasan teman atau keluarga, praktik orang dalam tak mungkin dapat diberangus total.

Di sisi lain, maraknya paraktik orang dalam tidak boleh berujung pada tindakan menggeneralisasi bahwa setiap keberhasilan, terjadi akibat sentuhan orang dalam. Masih banyak fakta-fakta yang menunjukkan bahwa seseorang berhasil tanpa bantuan orang dalam. Kelak, saat menjadi pengambil kebijakan, pada merekalah, harapan digantungkan, bahwa kelak, praktik orang dalam disikapi dengan upaya pemberantasan. Mereka melangkah ringan dalam kebajikan, sebab tak terbebani dosa masa lalu. Tak ada utang budi atas peran orang dalam.

Secara ringkas, untuk mengatasi sindrom orang dalam, dua segi upaya pemberantasan harus dikombinasikan, yaitu pemberantasan dari luar dan dalam. Pemberantasan dari luar maksudnya adalah menegakkan aturan hukum secara tegas kepada orang-orang yang menawarkan jasa sebagai orang dalam. Upaya itu lalu dibarengi dengan pemberantasan dari dalam, yaitu membangkitkan kepercayaan terhadap diri sendiri dan lingkungan. 

Ingatlah bahwa nikmatnya keberhasilan ada pada pengorbanan diri sendiri, pada keringat yang menetes.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar