Sabtu, 28 Mei 2016

Perpu Bukan Solusi Kekerasan Seksual

Belakangan, kasus kekerasan seksual yang mencuat di media semakin marak dan sadis. Taruhlah, kekerasan seksual yang menimpa Yuyun dan Eno Parihah. Kenyataan itu ditanggapi presiden dengan “keras”. Tepat hari Rabu, 25 Mei 2016, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disahkan Presiden. Perpu tersebut pada dasarnya menambah beban pidana bagi para pelaku kejahatan seksual, yaitu dengan adanya penambahan pidana pokok, pidana tambahan, dan tindakan tertentu. 


Sanksi pidana untuk pelaku kejahatan seksual terhadap anak selama ini, dirasa tidak terlalu memberikan efek jera. Permasalahan itulah yang menjadi motivasi lahirnya Perpu No. 1 Tahun 2016. Sebelumnya, sanksi bagi setiap orang yang dengan ancaman, paksaan, atau tipu muslihat, memaksa anak (seseorang yang belum berumur 18 tahun), melakukan persetubuhan atau tindakan cabul, diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pidana penjara bagi pelaku paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun, dan denda paling sedikit 60 juta dan paling banyak 300 juta. 

Setelah dilakukan perubahan UU No. 23 tahun 2002 dengan UU No. 35 Tahun 2014, pidana penjara minimum bagi pelaku menjadi 5 tahun, sedangkan maksimumnya tetap 15 tahun. Jika pelaku adalah orang dekat korban, maka pidana penjaranya dapat ditambah 1/3 tahun dari ancaman pidana tersebut. Selain itu, ancaman pidana dendanya juga bertambah menjadi 5 milliar. Meski begitu, UU No. 23 Tahun 2002 maupun perubahnnya, yaitu UU No. 35 Tahun 2014, belum mencantumkan sanksi pidana tambahan maupun tindakan.

Lahirnya Perpu No. 1 Tahun 2016, berusaha mewadahi “kekurangan” pada UU sebelumnya, yaitu terkait pemberatan sanksi pidana untuk memberika efek jera. Setiap pelaku kejahatan seksual yang dikenakan pemberatan pidana berupa penambahan pidana penjara dalam Perpu ini, diperluas -tidak hanya orang tua, wali, pengaruh anak, pendidik, dan tenaga kependidikan- hingga menyasar kepada setiap pelaku yang mempunyai hubungan keluarga dengan korban, aparat yang menangani perlindungan anak, pelaku kekerasan seksual lebih dari satu orang secara bersama sama, serta bagi residivis pelaku kekerasan seksual.

Sanksi pidana pagi pelaku akan menjadi semakin berat jika kekerasan seksual yang dilakukannya menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia. Bagi pelaku kekerasan seksual berupa persetubuhan sebagaimana dimaksud Pasal 76D UU No. 35 Tahun 2014, yang menimbulkan akibat sebagaimana dimaksud di atas, maka diancam pidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Namun jika akibat tersebut hanya dampak dari kekerasan seksual berupa pencabulan sebagaimana dimaksud Pasal 76E, maka ancaman pidananya hanya ditambah 1/3.

Di luar pidana pokok tersebut, Perpu No. 1 Tahun 2016, juga mencantumkan pidana tambahan berupa pengumuman identitas bagi pelaku kejahatan seksual, kecuali yang masih anak-anak. Selain itu, dicantumkan juga tindakan hukum tertentu kepada pelaku, berupa tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi.

Paradigma Pemidanaan, Sempit

Lahirnya Perpu No. 1 Tahun 2016 sangat jelas berangkat dari anggapan bahwa penyelesaian persoalan kekerasan seksual, harus dengan penjatuhan sanksi pidana yang berat. Pidana sekadar dilihat sebagai penghukuman dan pemberian efek jera. Itu terlihat jelas dengan adanya penambahan ancaman pidana pokok, hukuman seumur hidup, hingga hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual yang memenuhi kualifikasi tertentu. Kekerasan seksual telah dianggap sebagai kejahatan luar biasa, sehingga butuh pengenaan sanksi yang luar biasa pula kepada pelaku.

Paradigma pemidanaan sempit yang digunaakan dalam Perpu tersebut, jelas bermuara sekadar memberikan kesengsaraan kepada pelaku. Pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, menjadi salah satu instrumen yang dinggap handal untuk membuat orang berpikir berkali-kali sebelum melakukan kekerasan seksual. Walaupun pengumuman identitas tidak berlaku untuk anak-anak, tapi sanksi semacam ini jelas mengabaikan norma yang menegaskan bahwa pelaku maupun korban asusila, berhak atas penyamaran identitasnya. Penegakan norma itu penting sebab bagaimana pun juga, pelaku tetap berhak atas masa depan. Pengumuman identitas jelas akan berdampak secara psikologis bagi pelaku, bahkan dapat menghilangkan semangat hidupnya.

Dampak serupa juga terjadi pada penjatuhan sanksi tindakan berupa pemasangan alat pendeteksi elektronik. Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan mantan narapidana kekerasan seksual. Sanksi ini jelas mengerangkeng kebebasan seseorang yang dinyatakan tanggung jawabnya impas atas tindak pidana setelah menjalani masa hukuman. Dampaknya, mantan narapidana akan kehilangan semangat hidup untuk melakukan aktivitas positif setelah dinyatakan bebas. Penerapan sanksi semacam ini, jelas mengindikasikan bahwa pemerintah meragukan kinerja lembaga pemasyarakatan sebagai lembaga pembinaan.

Tak kalah menyentaknya adalah, adanya sanksi tindakan berupa pengebirian kimia bagi pelaku kekerasan seksual yang diputuskan pengadilan bersamaan dengan pidana pokok, dengan memuat jangka waktu pelaksanaannya. Sanksi pengebirian yang diterapkan kepada pelaku setelah menjalani pidana pokok, juga menegaskan kembali bahwa lembaga pemasyarakatan tidak dioptimalkan untuk mengembalikan fitrah kemanusiaan narapidana. Belum lagi, pengebirian akan menimbulkan efek samping sebab menggunakan bahan kimia. Jika saja fungsi pemidanaan ditempatkan kembali sebagi proses memanusiakan manusia, maka pengebirian ini tentu tidak berguna, bahkan sebuah tindakan berlebihan.

Paradigma pemidanaan dalam Perpu No. 1 Tahun 2016, jelas menganggap bahwa sanksi pemidanaan menyasar pada orang/pelaku, buka pada perbuatannya. Karena itulah, tak heran jika seseorang yang telah mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dinyatakan bebas, masih dikenai tindakan hukum tertentu. Tak ada pengakuan bahwa seorang dapat berubah menjadi baik. Jika akhirnya begitu, kenapa tidak setiap pencuri juga dihilangkan potensinya untuk mencuri, semisal memborgol tangannya setelah melalui proses pemidanaan? Ataukah mulut para pelaku pemcemaran nama baik, disumpal agar tak melakukannya lagi?  Sekali lagi, pemidanaan harus menjamin bahwa manusia dikembalikan ke fitrahnya sebagai manusia yang berbudi dan berakhlak, bukan malah memvonis mereka sebagai manusia “terkutuk”.

Utamakan Pencegahan

Kejahatan, termasuk kekerasan seksual, bukanlah tindakan jasad belaka, tetapi wujud dari motivasi kejiwaan. Kekerasan seksual, sebagaimana kejahatan lain, tentu didorong oleh motovasi-motivasi yang diperoleh dari lingkungan kehidupan, hingga membentuk pola kejiwaan. Jelas, setiap orang punya potensi untuk melakukan kejahatan, selama ia masih hidup sebagai manusia. Terwujud tidaknya potensi kejahatan tersebut, tergantung pada mampu tidaknya seseorang mengendalikan dirinya.

Kekerasan seksual pada dasarnya wujud dari ketidakmampuan seseorang menahan dirinya atas motivasi-motivasi seksual yang terus membendung. Terjadinya kekerasan seksual, bukan berarti bahwa pelaku tidak menyadari perbuatan sebagai sebuah kejahatannya. Bukan juga bahwa pelaku tidak mengetahui bahwa tindakannya melanggar hukum positif dan akan dikenai sanksi yang terbilang berat. Kekerasan seksual adalah hasil akhir dari lingkungan yang tidak mampu membebaskan orang dari stimulus-stimulus seksual.

Teringat lagi ungkapan seorang psikolog pendidikan anak, Elly Risman, di salah satu acara talkshow stasiun TV swasta. Ia mengatakan bahwa masalah kekerasan seksual merupakan buah dari konten pornografi yang jelas merusak otak. Bencana kemanusiaan itu katanya, hanya menunggu waktu untuk mencuat sebagai tindak kekerasan sesksual secara beruntun. Ataukah pandangan seorang ahli neuropsokologi, Ihsan Gumilang. Ia menyatakan bahwa kekerasan seksual merupakan wujud dari candu pornografi. Jika seseorang adiksi pornografi, dan juga memiliki keberanian, semisal ia dalam keadaan mabuk, maka ia akan melampiaskan nafsunya tanpa peduli akibatnya. 

Motivasi seksual dimaksud, dapat berasal dari mana saja. Seiring dengan perkembangan teknologi, maka konten-konten pornografi pun dengan mudah diperoleh. Bahkan menyasar anak-anak yang masih labil dan tidak memiliki pengendalian emosi yang baik. Berdasarkan data, Indonesia bahkan menempati urutan kedua sebagai negara pengakses konten pornografi setelah Amerika Serikat.

Tayangan-tayangan di media sosial maupun elektronik, terutama TV, juga sangat longgar terhadap adegan-adegan tak senonoh. Atau paling tidak, tayangan masa kini, menampilkan adegan yang menghilangkan batas-batas pergaulan antarlawan jenis. Akhirnya, pergaulan bebas pun menjadi hal yang dianggap sesuai dengan perkembangan zaman. Pergaulan bebas itu, tentu rentan berujung pada tindak kekerasan seksual. Perlu dicatat bahwa dari beberapa kasus kekerasan seksual, juga melibatkan bahkan diinisiasi “orang dekat” yang punya hubungan spesial dengan korban.

Berkaca dari kenyataan yang terjadi, maka upaya pencegahan seharusnya diutamanakan. Semisal memberangus konten-konten pornografi dalam segala bentuk. Terutama juga, melindungi anak-anak yang pengendalian emosinya masih labil, dari paparan pornografi. Hal ini tentu butuh dukungan orang tua, sekolah, dan masyarakat.

Di sisi lain, segenap komponen sosial, terutama pemerintah, juga harus menyediaan wadah kreativitas bagi masyarakat untuk menyalurkan minat dan bakatnya. Wadah semacam itu, efektif untuk menghindari anak bangsa dari aktivitas atau bentuk pergaulan yang negatif. Jika waktu mereka habis karena disibukkan kegiatan positif, maka celah untuk berpikir tentang perbuatan negatif, akan mengecil.

Tidak ada maksud mengatakan bahwa sanksi pidana tidaklah penting. Pidana tetaplah salah satu cara untuk memberangus kejahatan seksual. Sanksi pidana efektif untuk memberikan efek jera dan menimbulkan momok menakutkan bagi setiap jiwa yang berpotensi melakukan kejahatan seksual. Meski begitu, fungsi pemidanaan sebagai upaya pembinaan, tak boleh diabaikan. 

Kiranya, perlu dipertimbangkan kembali tentang lahirnya undang-undang yang lebih komprehensif mengatur tentang pemberantasan kejahatan seksual. Tidak sekadar terpaku pada korban anak seperti pada Perpu No. 1 Tahun 2016, tetapi juga kepada orang dewasa, terutama perempuan yang selama ini rentan terhadap kekerasan seksual. Undang-undang itu juga diharapkan tidak sekadar mengatur mengenai sistem pemidanaan bagi pelaku kekerasan seksual anak atau orang dewasa, tetapi juga upaya pencegahan dan juga pemulihan/rehabilitasi terdapat pelaku dan korban kekerasan seksual.

Sekali lagi, upaya pencegahan harus diutamakan. Jika tidak, seiring waktu, pelaku kejahatan seksual akan terus bertambah. Korban-korban pun terus berjatuhan. Semoga tidak!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar