Belakangan,
kasus kekerasan seksual yang mencuat di media semakin marak dan sadis.
Taruhlah, kekerasan seksual yang menimpa Yuyun dan Eno Parihah. Kenyataan itu
ditanggapi presiden dengan “keras”. Tepat hari Rabu, 25 Mei 2016, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disahkan Presiden. Perpu
tersebut pada dasarnya menambah beban pidana bagi para pelaku kejahatan
seksual, yaitu dengan adanya penambahan pidana pokok, pidana tambahan, dan tindakan
tertentu.
Sanksi
pidana untuk pelaku kejahatan seksual terhadap anak selama ini, dirasa tidak
terlalu memberikan efek jera. Permasalahan itulah yang menjadi motivasi
lahirnya Perpu No. 1 Tahun 2016. Sebelumnya, sanksi bagi setiap orang yang dengan
ancaman, paksaan, atau tipu muslihat, memaksa anak (seseorang yang belum
berumur 18 tahun), melakukan persetubuhan atau tindakan cabul, diatur dalam UU
No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pidana penjara bagi pelaku paling
singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun, dan denda paling sedikit 60 juta dan
paling banyak 300 juta.
Setelah
dilakukan perubahan UU No. 23 tahun 2002 dengan UU No. 35 Tahun 2014, pidana
penjara minimum bagi pelaku menjadi 5 tahun, sedangkan maksimumnya tetap 15
tahun. Jika pelaku adalah orang dekat korban, maka pidana penjaranya dapat
ditambah 1/3 tahun dari ancaman pidana tersebut. Selain itu, ancaman pidana
dendanya juga bertambah menjadi 5 milliar. Meski begitu, UU No. 23 Tahun 2002
maupun perubahnnya, yaitu UU No. 35 Tahun 2014, belum mencantumkan sanksi
pidana tambahan maupun tindakan.
Lahirnya
Perpu No. 1 Tahun 2016, berusaha mewadahi “kekurangan” pada UU sebelumnya,
yaitu terkait pemberatan sanksi pidana untuk memberika efek jera. Setiap pelaku
kejahatan seksual yang dikenakan pemberatan pidana berupa penambahan pidana
penjara dalam Perpu ini, diperluas -tidak hanya orang tua, wali, pengaruh anak,
pendidik, dan tenaga kependidikan- hingga menyasar kepada setiap pelaku yang
mempunyai hubungan keluarga dengan korban, aparat yang menangani perlindungan
anak, pelaku kekerasan seksual lebih dari satu orang secara bersama sama, serta
bagi residivis pelaku kekerasan seksual.
Sanksi
pidana pagi pelaku akan menjadi semakin berat jika kekerasan seksual yang
dilakukannya menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka
berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi
reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia. Bagi pelaku kekerasan seksual
berupa persetubuhan sebagaimana dimaksud Pasal 76D UU No. 35 Tahun 2014, yang
menimbulkan akibat sebagaimana dimaksud di atas, maka diancam pidana mati,
seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun. Namun jika akibat tersebut hanya dampak dari
kekerasan seksual berupa pencabulan sebagaimana dimaksud Pasal 76E, maka
ancaman pidananya hanya ditambah 1/3.
Di
luar pidana pokok tersebut, Perpu No. 1 Tahun 2016, juga mencantumkan pidana tambahan
berupa pengumuman identitas bagi pelaku kejahatan seksual, kecuali yang masih
anak-anak. Selain itu, dicantumkan juga tindakan hukum tertentu kepada pelaku,
berupa tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan
rehabilitasi.
Paradigma Pemidanaan, Sempit
Lahirnya
Perpu No. 1 Tahun 2016 sangat jelas berangkat dari anggapan bahwa penyelesaian
persoalan kekerasan seksual, harus dengan penjatuhan sanksi pidana yang berat.
Pidana sekadar dilihat sebagai penghukuman dan pemberian efek jera. Itu
terlihat jelas dengan adanya penambahan ancaman pidana pokok, hukuman seumur
hidup, hingga hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual yang memenuhi
kualifikasi tertentu. Kekerasan seksual telah dianggap sebagai kejahatan luar
biasa, sehingga butuh pengenaan sanksi yang luar biasa pula kepada pelaku.
Paradigma
pemidanaan sempit yang digunaakan dalam Perpu tersebut, jelas bermuara sekadar memberikan
kesengsaraan kepada pelaku. Pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku,
menjadi salah satu instrumen yang dinggap handal untuk membuat orang berpikir
berkali-kali sebelum melakukan kekerasan seksual. Walaupun pengumuman identitas
tidak berlaku untuk anak-anak, tapi sanksi semacam ini jelas mengabaikan norma
yang menegaskan bahwa pelaku maupun korban asusila, berhak atas penyamaran
identitasnya. Penegakan norma itu penting sebab bagaimana pun juga, pelaku
tetap berhak atas masa depan. Pengumuman identitas jelas akan berdampak secara
psikologis bagi pelaku, bahkan dapat menghilangkan semangat hidupnya.
Dampak
serupa juga terjadi pada penjatuhan sanksi tindakan berupa pemasangan alat
pendeteksi elektronik. Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan
mantan narapidana kekerasan seksual. Sanksi ini jelas mengerangkeng kebebasan
seseorang yang dinyatakan tanggung jawabnya impas atas tindak pidana setelah
menjalani masa hukuman. Dampaknya, mantan narapidana akan kehilangan semangat
hidup untuk melakukan aktivitas positif setelah dinyatakan bebas. Penerapan
sanksi semacam ini, jelas mengindikasikan bahwa pemerintah meragukan kinerja
lembaga pemasyarakatan sebagai lembaga pembinaan.
Tak
kalah menyentaknya adalah, adanya sanksi tindakan berupa pengebirian kimia
bagi pelaku kekerasan seksual yang diputuskan pengadilan bersamaan dengan
pidana pokok, dengan memuat jangka waktu pelaksanaannya. Sanksi pengebirian
yang diterapkan kepada pelaku setelah menjalani pidana pokok, juga menegaskan
kembali bahwa lembaga pemasyarakatan tidak dioptimalkan untuk mengembalikan
fitrah kemanusiaan narapidana. Belum lagi, pengebirian akan menimbulkan efek
samping sebab menggunakan bahan kimia. Jika saja fungsi pemidanaan ditempatkan
kembali sebagi proses memanusiakan manusia, maka pengebirian ini tentu tidak
berguna, bahkan sebuah tindakan berlebihan.
Paradigma
pemidanaan dalam Perpu No. 1 Tahun 2016, jelas menganggap bahwa sanksi
pemidanaan menyasar pada orang/pelaku, buka pada perbuatannya. Karena itulah,
tak heran jika seseorang yang telah mempertanggungjawabkan perbuatannya dan
dinyatakan bebas, masih dikenai tindakan hukum tertentu. Tak ada pengakuan
bahwa seorang dapat berubah menjadi baik. Jika akhirnya begitu, kenapa tidak
setiap pencuri juga dihilangkan potensinya untuk mencuri, semisal memborgol
tangannya setelah melalui proses pemidanaan? Ataukah mulut para pelaku
pemcemaran nama baik, disumpal agar tak melakukannya lagi? Sekali lagi, pemidanaan harus menjamin bahwa
manusia dikembalikan ke fitrahnya sebagai manusia yang berbudi dan berakhlak,
bukan malah memvonis mereka sebagai manusia “terkutuk”.
Utamakan Pencegahan
Kejahatan,
termasuk kekerasan seksual, bukanlah tindakan jasad belaka, tetapi wujud dari motivasi
kejiwaan. Kekerasan seksual, sebagaimana kejahatan lain, tentu didorong oleh
motovasi-motivasi yang diperoleh dari lingkungan kehidupan, hingga membentuk
pola kejiwaan. Jelas, setiap orang punya potensi untuk melakukan kejahatan,
selama ia masih hidup sebagai manusia. Terwujud tidaknya potensi kejahatan tersebut,
tergantung pada mampu tidaknya seseorang mengendalikan dirinya.
Kekerasan
seksual pada dasarnya wujud dari ketidakmampuan seseorang menahan dirinya atas
motivasi-motivasi seksual yang terus membendung. Terjadinya kekerasan seksual,
bukan berarti bahwa pelaku tidak menyadari perbuatan sebagai sebuah kejahatannya.
Bukan juga bahwa pelaku tidak mengetahui bahwa tindakannya melanggar hukum
positif dan akan dikenai sanksi yang terbilang berat. Kekerasan seksual adalah hasil
akhir dari lingkungan yang tidak mampu membebaskan orang dari stimulus-stimulus
seksual.
Teringat
lagi ungkapan seorang psikolog pendidikan anak, Elly Risman, di salah satu
acara talkshow stasiun TV swasta. Ia
mengatakan bahwa masalah kekerasan seksual merupakan buah dari konten pornografi
yang jelas merusak otak. Bencana kemanusiaan itu katanya, hanya menunggu waktu
untuk mencuat sebagai tindak kekerasan sesksual secara beruntun. Ataukah
pandangan seorang ahli neuropsokologi, Ihsan Gumilang. Ia menyatakan bahwa
kekerasan seksual merupakan wujud dari candu pornografi. Jika seseorang adiksi
pornografi, dan juga memiliki keberanian, semisal ia dalam keadaan mabuk, maka
ia akan melampiaskan nafsunya tanpa peduli akibatnya.
Motivasi
seksual dimaksud, dapat berasal dari mana saja. Seiring dengan perkembangan
teknologi, maka konten-konten pornografi pun dengan mudah diperoleh. Bahkan menyasar
anak-anak yang masih labil dan tidak memiliki pengendalian emosi yang baik. Berdasarkan
data, Indonesia bahkan menempati urutan kedua sebagai negara pengakses konten
pornografi setelah Amerika Serikat.
Tayangan-tayangan
di media sosial maupun elektronik, terutama TV, juga sangat longgar terhadap adegan-adegan
tak senonoh. Atau paling tidak, tayangan masa kini, menampilkan adegan yang
menghilangkan batas-batas pergaulan antarlawan jenis. Akhirnya, pergaulan bebas
pun menjadi hal yang dianggap sesuai dengan perkembangan zaman. Pergaulan bebas
itu, tentu rentan berujung pada tindak kekerasan seksual. Perlu dicatat bahwa
dari beberapa kasus kekerasan seksual, juga melibatkan bahkan diinisiasi “orang
dekat” yang punya hubungan spesial dengan korban.
Berkaca
dari kenyataan yang terjadi, maka upaya pencegahan seharusnya diutamanakan.
Semisal memberangus konten-konten pornografi dalam segala bentuk. Terutama
juga, melindungi anak-anak yang pengendalian emosinya masih labil, dari paparan
pornografi. Hal ini tentu butuh dukungan orang tua, sekolah, dan masyarakat.
Di
sisi lain, segenap komponen sosial, terutama pemerintah, juga harus menyediaan
wadah kreativitas bagi masyarakat untuk menyalurkan minat dan bakatnya. Wadah
semacam itu, efektif untuk menghindari anak bangsa dari aktivitas atau bentuk
pergaulan yang negatif. Jika waktu mereka habis karena disibukkan kegiatan
positif, maka celah untuk berpikir tentang perbuatan negatif, akan mengecil.
Tidak
ada maksud mengatakan bahwa sanksi pidana tidaklah penting. Pidana tetaplah
salah satu cara untuk memberangus kejahatan seksual. Sanksi pidana efektif
untuk memberikan efek jera dan menimbulkan momok menakutkan bagi setiap jiwa
yang berpotensi melakukan kejahatan seksual. Meski begitu, fungsi pemidanaan
sebagai upaya pembinaan, tak boleh diabaikan.
Kiranya,
perlu dipertimbangkan kembali tentang lahirnya undang-undang yang lebih komprehensif
mengatur tentang pemberantasan kejahatan seksual. Tidak sekadar terpaku pada
korban anak seperti pada Perpu No. 1 Tahun 2016, tetapi juga kepada orang
dewasa, terutama perempuan yang selama ini rentan terhadap kekerasan seksual.
Undang-undang itu juga diharapkan tidak sekadar mengatur mengenai sistem pemidanaan
bagi pelaku kekerasan seksual anak atau orang dewasa, tetapi juga upaya
pencegahan dan juga pemulihan/rehabilitasi terdapat pelaku dan korban kekerasan
seksual.
Sekali
lagi, upaya pencegahan harus diutamakan. Jika tidak, seiring waktu, pelaku
kejahatan seksual akan terus bertambah. Korban-korban pun terus berjatuhan.
Semoga tidak!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar