Pendidikan
menjadi penentu masa depan sebuah bangsa. Pada pendidikanlah, anak bangsa
dididik agar memiliki kecerdasan secara menyeluruh, meliputi kecerdasan
intelektual, emosional, dan spiritual. Kecerdasan itu tercermin pada diri
pribadi maupun dalam pergaulan sosial. Untuk itulah penyelenggara pendidikan
harus difokuskan pada fungsi mendidik. Keberhasilan sebuah proses pendidikan pun
harus didasarkan pada kualitas lulusan yang dihasilkan.
Perguruan
tinggi sebagai jenjang terakhir pendidikan formal, memiliki kedudukan yang
strategis. Kehadirannya sangat berpengaruh bagi kehidupan berbangsa melalui
pelaksanaan tridharma perguruan tinggi, berupa pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat. Karena itu, selain melahirkan lulusan cerdas, perguruan
tinggi jadi harapan untuk menghasilkan karya intelektual yang berguna bagi
masyarakat.
Sadar
akan kedudukan perguruan tinggi sebagai rumah para penjaga nilai, maka otonomi
di bidang akademik sudah seyogianya ditegakkan. Perguruan tinggi tidak boleh
disetir untuk kepentingan pihak tertentu, yang bertentangan dengan prinsip
kebenaran ilmiah. Akademisi harus berani menyatakan sebuah kebenaran, meski dengan segala risiko. Lalu, bagaimana konsep otonomi perguruan tinggi saat ini?
Salah Konsep
UU
No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi tidak hanya memberikan otonomi di
bidang akademik kepada perguruan tinggi, tetapi juga otonomi bidang nonakademik.
Otonomi nonakademik di antaranya adalah kemandirian dalam mengelola dana dan
membentuk badan usaha. Ditetapkanlah konsep status pengelolaan Perguruan Tinggi
Negeri Badan Hukum (PTNBH) untuk perguruan tinggi yang dinilai mampu
melaksanakan otonomi tersebut. Dengan kewenangan luasnya, diharapkan perguruan
tinggi menjadi mandiri, terutama dalam soal pendanaan.
Jika
dirunut ke belakang, tampak bahwa komersialisasi pendidikan menjadi motivasi
pemberian otonomi luas kepada perguruan tinggi. Dampak globalisasi yang kental dengan
perdagangan bebas, turut mengorbankan pendidikan. Indonesia sebagai anggota World Trade Organization (WTO) melalui
UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establising The World Trade, seperti tak berdaya melindungi sektor pendidikan.
Apalagi setelah disepakatinya persetujuan WTO terkait perdagangan sektor jasa,
yaitu GATS (General Agreemaent on Trade
and Sevice), yang mengatur liberalisasi 12 sektor jasa, termasuk
pendidikan.
Di
tingkat nasional, komersialisasi sektor pendidikan difirmulasikan dalam aturan
hukum dengan memuat pemberian otonomi luas. Konsep otonomi perguruan tinggi dengan
status badan hukum, awalnya didasari PP No. 61 tahun 1999 tentang Penetapan
Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. PP itu merujuk UU No. 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai dasarnya. Setelah itu, lahirlah tujuh
perguruan tinggi badan hukum dengan status BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Untuk
memperkuat status otonomi itu, pada tahun 2008, disahkanlah UU No. 9 tahun 2009
tentang Badan Hukum Pendidikan, yang menggantikan status BHMN menjadi BHP. Tapi
nahas, UU tersebut dinyatakan inkonstitusional karena Pasal 53 ayat (1) UU No.
20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas sebagai dasar pembentukannya, ditafsirkan
berbeda oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal
53 ayat (1) UU Sisdiknas menyatakan bahwa penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan
oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Ketentuan itu
memaksakan penyeragaman semua status perguruan tinggi, yaitu berbentuk badan hukum.
MK akhirnya menyatakan bahwa istilah “badan hukum pendidikan” itu bukanlah nama
dan bentuk badan hukum tertentu, melainkan sebutan dari fungsi penyelenggara
pendidikan, yang berarti bahwa suatu lembaga pendidikan harus dikelola oleh
suatu badan hukum. Bentuk badan hukum yang dimaksud di antaranya yayasan,
perkumpulan, perserikatan, badan wakaf, dan sebagainya.
Imbas putusan MK yang menyatakan
UU No. 9 Tahun 2009 tentang BHP, inkonstitusional, membuat perguruan tinggi berstatus
BHMN, kehilangan dasar pijakan yang kuat. Dibuatlah konstruksi baru pengelolaan
pendidikan tinggi badan hukum. Apalagi tafsir MK atas pasal 53 ayat (1) UU
Sisdiknas mengiyakan pengelolaan pendidikan oleh suatu badan hukum. Tidak heran
kemudian, muncul dugaan kuat bahwa konstruksi UU No. 12 Tahun 2012 berupaya
mengakomodir konsep perguruan tinggi BHMN dengan perubahan istilah menjadi PTNBH.
Kedua konsep itu jelas sama-sama memberikan hak otonomi nonakademik kepada
perguruan tinggi. Kesamaan tersebut di antaranya memiliki kebebasan dalam hak
keuangan, berwenang mendirikan badan usaha, kekayaan awal berupa kekayaan negara
yang dipisahkan kecuali tanah, dan hak pengelolaan kekayaan secara mandiri.
Menyucikan
Otonomi
Otonomi perguruan tinggi memang
mutlak pada bidang akademik, meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional
serta pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi. Setiap perguruan tinggi harus
diberikan keleluasaan dalam menghasilkan kajian ilmiah yang bermanfaat untuk
masyarakat luas. Sudah tepatlah pemberian kebebasan akademik, kebebasan mimbar
akademik, dan otonomi keilmuan kepada setiap perguruan tinggi.
Di
sisi lain, pemberian otonomi di bidang nonakademik, terutama dalam hal
pembiayaan, seharusnya tidak dilakukan. Terutama kepada perguruan tinggi negeri
yang jelas menjadi tanggung jawab utama pemerintah. Otonomi nonakademik, akan
membuat kontrol pemerintah terhadap proses pendidikan tinggi, lepas. Itu
dikarenakan otonomi luas itu dapat memutus hubungan perguruan tinggi dengan pemerintah.
Dengan otonominya, perguruan tinggi akhirnya bebas mengatur dirinya sendiri,
termasuk orientasi dan output lulusannya.
Imbasnya, tujuan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai
tanggung jawab negara, pun sulit diharapkan. Pendidikan akan disetir untuk
kepentingan “uang”.
Otonomi
nonakademik, khususnya dalam soal pendanaan, juga dapat membuat perguruan
tinggi tidak lagi fokus fungsi Tridharma, melainkan pada upaya memperoleh
sumber pendanaan. Pembangunan fisik yang notabene hanya sebagai sarana, malah
menjadi tujuan utama demi memperoleh predikat world class university. Di sisi lain, hak mahasiswa atas pendidikan
tinggi sejati dan seutuhnya, terabaikan. Akhirnya, perguruan tinggi bak istana berisi
orang-orang yang tak bisa dikategorikan kaum intelektual.
Sudah
saatnya amanah konstitusi yang mendudukkan negara, dalam hal ini pemerintah,
sebagai penanggung jawab pendidikan, dikembalikan kepada hakikatnya. Perguruan
tinggi, khususnya perguruan tinggi negeri, harus didudukkan kembali sebagai
penyelenggara, bukan penyedia segala macam kebutuhan penyelenggaraan. Perguruan
tinggi seharusnya tak disibukkan mengurusi persoalan pendanaan, melainkan fokus
pada penciptaan watak bangsa yang cerdas. Perguruan tinggi selayaknya tak lagi
membebani mahasiswa dengan segala macam pembayaran, hanya untuk memenuhi hasrat
tak bertujuan para pemangku kuasa perguruan tinggi. Tidakkah cukup pengorbanan
masyarakat untuk pendidikan melalui pembayaran pajak? Saatnya merefleksikan sistem
pendidikan tinggi, lalu berbenah. Persoalan ini menyangkut kehidupan bangsa.
Penting!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar