Minggu, 22 Mei 2016

Meluruskan Otonomi Perguruan Tinggi Negeri

Pendidikan menjadi penentu masa depan sebuah bangsa. Pada pendidikanlah, anak bangsa dididik agar memiliki kecerdasan secara menyeluruh, meliputi kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Kecerdasan itu tercermin pada diri pribadi maupun dalam pergaulan sosial. Untuk itulah penyelenggara pendidikan harus difokuskan pada fungsi mendidik. Keberhasilan sebuah proses pendidikan pun harus didasarkan pada kualitas lulusan yang dihasilkan.

Perguruan tinggi sebagai jenjang terakhir pendidikan formal, memiliki kedudukan yang strategis. Kehadirannya sangat berpengaruh bagi kehidupan berbangsa melalui pelaksanaan tridharma perguruan tinggi, berupa pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Karena itu, selain melahirkan lulusan cerdas, perguruan tinggi jadi harapan untuk menghasilkan karya intelektual yang berguna bagi masyarakat.

Sadar akan kedudukan perguruan tinggi sebagai rumah para penjaga nilai, maka otonomi di bidang akademik sudah seyogianya ditegakkan. Perguruan tinggi tidak boleh disetir untuk kepentingan pihak tertentu, yang bertentangan dengan prinsip kebenaran ilmiah. Akademisi harus berani menyatakan sebuah kebenaran, meski dengan segala risiko. Lalu, bagaimana konsep otonomi perguruan tinggi saat ini?

Salah Konsep

UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi tidak hanya memberikan otonomi di bidang akademik kepada perguruan tinggi, tetapi juga otonomi bidang nonakademik. Otonomi nonakademik di antaranya adalah kemandirian dalam mengelola dana dan membentuk badan usaha. Ditetapkanlah konsep status pengelolaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) untuk perguruan tinggi yang dinilai mampu melaksanakan otonomi tersebut. Dengan kewenangan luasnya, diharapkan perguruan tinggi menjadi mandiri, terutama dalam soal pendanaan.

Jika dirunut ke belakang, tampak bahwa komersialisasi pendidikan menjadi motivasi pemberian otonomi luas kepada perguruan tinggi. Dampak globalisasi yang kental dengan perdagangan bebas, turut mengorbankan pendidikan. Indonesia sebagai anggota World Trade Organization (WTO) melalui UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establising The World Trade, seperti tak berdaya melindungi sektor pendidikan. Apalagi setelah disepakatinya persetujuan WTO terkait perdagangan sektor jasa, yaitu GATS (General Agreemaent on Trade and Sevice), yang mengatur liberalisasi 12 sektor jasa, termasuk pendidikan.

Di tingkat nasional, komersialisasi sektor pendidikan difirmulasikan dalam aturan hukum dengan memuat pemberian otonomi luas. Konsep otonomi perguruan tinggi dengan status badan hukum, awalnya didasari PP No. 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. PP itu merujuk UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai dasarnya. Setelah itu, lahirlah tujuh perguruan tinggi badan hukum dengan status BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Untuk memperkuat status otonomi itu, pada tahun 2008, disahkanlah UU No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, yang menggantikan status BHMN menjadi BHP. Tapi nahas, UU tersebut dinyatakan inkonstitusional karena Pasal 53 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas sebagai dasar pembentukannya, ditafsirkan berbeda oleh Mahkamah Konstitusi.

Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas menyatakan bahwa penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Ketentuan itu memaksakan penyeragaman semua status perguruan tinggi, yaitu berbentuk badan hukum. MK akhirnya menyatakan bahwa istilah “badan hukum pendidikan” itu bukanlah nama dan bentuk badan hukum tertentu, melainkan sebutan dari fungsi penyelenggara pendidikan, yang berarti bahwa suatu lembaga pendidikan harus dikelola oleh suatu badan hukum. Bentuk badan hukum yang dimaksud di antaranya yayasan, perkumpulan, perserikatan, badan wakaf, dan sebagainya.

Imbas putusan MK yang menyatakan UU No. 9 Tahun 2009 tentang BHP, inkonstitusional, membuat perguruan tinggi berstatus BHMN, kehilangan dasar pijakan yang kuat. Dibuatlah konstruksi baru pengelolaan pendidikan tinggi badan hukum. Apalagi tafsir MK atas pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas mengiyakan pengelolaan pendidikan oleh suatu badan hukum. Tidak heran kemudian, muncul dugaan kuat bahwa konstruksi UU No. 12 Tahun 2012 berupaya mengakomodir konsep perguruan tinggi BHMN dengan perubahan istilah menjadi PTNBH. Kedua konsep itu jelas sama-sama memberikan hak otonomi nonakademik kepada perguruan tinggi. Kesamaan tersebut di antaranya memiliki kebebasan dalam hak keuangan, berwenang mendirikan badan usaha, kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah, dan hak pengelolaan kekayaan secara mandiri.

Menyucikan Otonomi

Otonomi perguruan tinggi memang mutlak pada bidang akademik, meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi. Setiap perguruan tinggi harus diberikan keleluasaan dalam menghasilkan kajian ilmiah yang bermanfaat untuk masyarakat luas. Sudah tepatlah pemberian kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan kepada setiap perguruan tinggi.

Di sisi lain, pemberian otonomi di bidang nonakademik, terutama dalam hal pembiayaan, seharusnya tidak dilakukan. Terutama kepada perguruan tinggi negeri yang jelas menjadi tanggung jawab utama pemerintah. Otonomi nonakademik, akan membuat kontrol pemerintah terhadap proses pendidikan tinggi, lepas. Itu dikarenakan otonomi luas itu dapat memutus hubungan perguruan tinggi dengan pemerintah. Dengan otonominya, perguruan tinggi akhirnya bebas mengatur dirinya sendiri, termasuk orientasi dan output lulusannya. Imbasnya, tujuan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tanggung jawab negara, pun sulit diharapkan. Pendidikan akan disetir untuk kepentingan “uang”.

Otonomi nonakademik, khususnya dalam soal pendanaan, juga dapat membuat perguruan tinggi tidak lagi fokus fungsi Tridharma, melainkan pada upaya memperoleh sumber pendanaan. Pembangunan fisik yang notabene hanya sebagai sarana, malah menjadi tujuan utama demi memperoleh predikat world class university. Di sisi lain, hak mahasiswa atas pendidikan tinggi sejati dan seutuhnya, terabaikan. Akhirnya, perguruan tinggi bak istana berisi orang-orang yang tak bisa dikategorikan kaum intelektual.

Sudah saatnya amanah konstitusi yang mendudukkan negara, dalam hal ini pemerintah, sebagai penanggung jawab pendidikan, dikembalikan kepada hakikatnya. Perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi negeri, harus didudukkan kembali sebagai penyelenggara, bukan penyedia segala macam kebutuhan penyelenggaraan. Perguruan tinggi seharusnya tak disibukkan mengurusi persoalan pendanaan, melainkan fokus pada penciptaan watak bangsa yang cerdas. Perguruan tinggi selayaknya tak lagi membebani mahasiswa dengan segala macam pembayaran, hanya untuk memenuhi hasrat tak bertujuan para pemangku kuasa perguruan tinggi. Tidakkah cukup pengorbanan masyarakat untuk pendidikan melalui pembayaran pajak? Saatnya merefleksikan sistem pendidikan tinggi, lalu berbenah. Persoalan ini menyangkut kehidupan bangsa. Penting!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar