Kedekatan
kita adalah sebuah kebetulan yang kurencanakan. Pada satu hari, kau menyapaku
di taman kampus. Sapaan itu bukan tanpa alasan. Tujuanmu hanya untuk
mengingatkanku bahwa ada buku di bangku yang telah kujauhi. Novelku tertinggal.
“Hei,
tunggu. Ini novelmu kan? Kau yang barusan duduk di bangku sana,” tuturmu dengan
wajah berbinar.
Aku
mengangguk dan mengambil kembali novel itu.
“Aku
sudah membacanya. Ceritanya menarik,” sambungmu lagi, lalu berpaling dariku.
Kau pun menuju bangku favoritmu, tempatku duduk beberapa detik sebelumnya.
Begitulah
cerita kita. Kau mungkin tak tahu bagaimana sesungguhnya.
Sejak
aku memandang raut wajahmu secara utuh di taman kampus itu, aku menjadi sangat
berhasrat mengetahui lebih dalam tentangmu. Aku ingin mengobrol denganmu. Bukan
sekadar bertatapan, atau menatapmu.
Kubawa
angan-angan tentangmu kemanapun aku melangkah. Mungkin hanya sebatas itu, sebab
tak ada sedikit pun identitasmu yang kutahu, juga namamu. Apalagi kau pun tak
pernah lagi muncul di taman kampus. Kuduga, kau sibuk di fakultasmu, entah yang
mana.
Namun,
suatu hari kebetulan tentang kita benar-benar terjadi. Itu tak kurencanakan. Saat
aku putus asa menemukanmu di taman kampus pada hari kemungkinan kau ada, aku memutuskan
mengunjungi adik perempuanku di pondokannya. Tak kusangka ada fotomu terpajang
di dinding kamarnya. Aku pun mempertanyakan itu. Akhirnya aku tahu, ternyata
kau sepondok dengan adikku, bersebelahan kamar, bahkan berteman baik. Namamu
kutahu sudah, Putri.
Setelah
itu, aku pulang dengan pengharapan yang baru. Harapan besar. Jadinya, besok-besok
kupastikan sulit bagiku menahan diri berkunjung ke pondokan adikku. Selain
memastikan kabarnya baik-baik saja, tentu juga untuk mencari kebetulan lagi,
semisal berpapasan lagi denganmu. Pastilah penjaga pondokan tak khawatir dengan
alasanku sering-sering bertamu. Dan benar saja, satu sore, saat aku hendak pulang,
kita berpapasan di pagar pondokan. Kau hanya melirik sekenanya, lalu bergegas
masuk.
Keesokan
harinya, aku terpaksa menunaikan hasratku lagi. Aku tak tahan bediam diri di
kamar dengan bayang-bayangmu yang terus menghantui. Kali ini, aku tidak ingin
kembali dengan harapan kosong seperti kemarin-kemarin. Aku ingin membuat
sesuatu yang lain. Membuatmu merasakan kebetulan-kebetulan sepertiku, hingga
kita sama-sama berhasrat menyatakannya. Semalam, aku sudah mempersiapkannya.
Aku akan meletakkan sebuah novel di depan kamarmu. Kuduga, novel yang kudapati tempo
hari di taman kampus, akan kau suka.
Sesampainya
di depan pondokan, langsung saja aku letakkan novel itu. Kutaruh di depan daun
pintu kamarmu. Aku berharap, sepulangmu nanti, kau akan melihat dan merasa
terkejut atas keberadaan novel misterius itu.
Setelah
misiku selesai, aku pun bergegas masuk ke kamar adikku. Betapa kagetnya aku,
ternyata kau ada bersamanya. Ini adalah kebetulan yang lain, yang tak pernah
kuinginkan. Sontak setelah melihatku, kau pun melemparkan senyuman sepintas,
lalu permisi pergi segera. Ini kurasa keadaan terburuk. Bisa jadi kau akan
menemukan novel itu, lalu kembali ke kamar dan bertanya tentang siapa
pemiliknya. Kurahap itu tidak terjadi.
“Itu
temanmu yang di foto kan?” tanyaku pada adikku, Ayu.
“Iya.
Kenapa? Kakak menaksirnya?” balasnya meledek.
“Bisa
saja kamu. Kau kira persoalan taksir-menaksir itu penting untuk masa depanmu?
Ingat pesan ayah, belajar baik-baik,” balasku, mencoba menutupi kesan bahwa
tebakannya benar.
“Baguslah
kalau begitu. Apalagi katanya, dia punya lelaki idola. Kakak? Ah, tak
mungkinlah,” balasannya, semakin menjengkelkan.
Lelaki lain? Jawaban
adikku itu seperti tiupan sangkakala bagiku. Aku betul-betul tak bersedia
menerima kenyataan bahwa setelah aku menumpuk kesan dan menempuh cara intelijen
untuk merintis masa depanku bersamamu, kau ternyata punya lelaki idaman lain.
Akhirnya, hari itu, aku pulang sembari mengikis harapanku yang sebenarnya telah
membeku.
Keesokan
harinya, Adikku, Ayu datang di pondokanku. Aku tak mungkin
mengunjunginya lagi dan kembali menumbuhkan harapanku padamu, Putri.
“Ini
novel Kakak?” tanya Ayu, sambil menunjukkan novel yang dimaksudnya. “Putri
menemukann ini di depan kamarnya, pas waktu Kakak datang ke pondokanku kemarin.”
Ini benar-benar memalukan.
Bagaimana bisa kau tahu kalau akulah yang meletakkan novel itu di depan pintu
kamarmu? “Ini bukan punyaku. Kembalikan saja ke pondokanmu.
Pasti pemiliknya adalah salah satu penghuni pondokan,” balasku.
“Tapi
nama Kakak tertulis di balik sampulnya,” balas Ayu, sambil menunjukkan tulisan
itu: untuk Razka Julino.
Aku
belum pernah melihat itu sebelumnya. Padahal aku sudah membalik halaman per
halaman.
Kuingat
lagi hari-hari di mana aku menjadi pengagum rahasiamu di taman kampus. Sering
menguntitmu dari bangku yang jauh, tanpa kau tahu. Aku pun mendadak gemar
nongkrong di sana dan membaca novel. Semua karenamu. Kuharap jika suatu saat
aku telah khatam membaca beberapa novel, aku ada alasan baik mengajakmu
mengobrol. Karena itu juga, sore hari waktu pertama kali kita saling menatap di
taman kampus, sebenarnya aku sengaja meninggalkan novel yang telah selesai
kubaca di tempat duduk favoritmu. Sebuah novel yang kurasa mewakili perasaanku.
Kuharap kau membawanya dan tahu tentang perasaanku. Tapi kau terlanjur melihatku
meninggalkan novel itu, lalu mengingatkanku. Akan sangat aneh jika aku tak
mengakuinya. Aku sangat gugup waktu itu. Seperti mati rasa. Imbasnya, sesampai
di kamar, aku sampai tak tahu bagaimana ceritanya satu novel tanpa nama pemilik,
menyusup ke dalam tasku. Novel itulah, yang mencantumkan namaku.
“Kakak
kok bengong?” tutur Ayu, membuyarkan ingatanku. “Eh, ada satu hal lucu yang
perlu Kakak tahu. Putri mengira kalau Kakak adalah pacarku. Dia terlihat sangat
percaya.”
“Apa?
Kau tak menjelaskannya kalau kita ini saudara kandung? Kau kira itu lucu? Kau
harus menjelaskannya segera,” balasku, tak sadar berucap seperti mengancam.
“Memangnya
kenapa kalau aku mengatakan Kakak pacarku, ada masalah?” balasnya, lagi-lagi
meledek. “Sudah, aku cuma becanda Kak. Dia tahu kok kalau kita saudara kandung.
Sejak dulu, dia mengaku mengenal Kakak dari foto-foto yang kuperlihatkan
padanya. Katanya Kakak dan dia sering bertemu di taman kampus. Sepertinya dia
menaksir Kakak. Dia suka bertanya-tanya tentang Kakak. Katanya sih, novel miliknya
ini memang untuk Kakak,” balasnya.
Mendengar
penjelasan itu, kurasa kejadian-kejadian sebelumnya, bukan sebuah kebetulan,
tetapi direncanakan. Bukan olehku, tapi kau. Sepertinya beralasan jika aku
yakin perasaanku bersambut. Kuharap, besok-besok, kita merencanakan masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar