Selasa, 02 Februari 2016

Novel di Taman Kampus


Kedekatan kita adalah sebuah kebetulan yang kurencanakan. Pada satu hari, kau menyapaku di taman kampus. Sapaan itu bukan tanpa alasan. Tujuanmu hanya untuk mengingatkanku bahwa ada buku di bangku yang telah kujauhi. Novelku tertinggal. 
 
“Hei, tunggu. Ini novelmu kan? Kau yang barusan duduk di bangku sana,” tuturmu dengan wajah berbinar.

Aku mengangguk dan mengambil kembali novel itu.

“Aku sudah membacanya. Ceritanya menarik,” sambungmu lagi, lalu berpaling dariku. Kau pun menuju bangku favoritmu, tempatku duduk beberapa detik sebelumnya.

Begitulah cerita kita. Kau mungkin tak tahu bagaimana sesungguhnya.

Sejak aku memandang raut wajahmu secara utuh di taman kampus itu, aku menjadi sangat berhasrat mengetahui lebih dalam tentangmu. Aku ingin mengobrol denganmu. Bukan sekadar bertatapan, atau menatapmu. 

Kubawa angan-angan tentangmu kemanapun aku melangkah. Mungkin hanya sebatas itu, sebab tak ada sedikit pun identitasmu yang kutahu, juga namamu. Apalagi kau pun tak pernah lagi muncul di taman kampus. Kuduga, kau sibuk di fakultasmu, entah yang mana. 

Namun, suatu hari kebetulan tentang kita benar-benar terjadi. Itu tak kurencanakan. Saat aku putus asa menemukanmu di taman kampus pada hari kemungkinan kau ada, aku memutuskan mengunjungi adik perempuanku di pondokannya. Tak kusangka ada fotomu terpajang di dinding kamarnya. Aku pun mempertanyakan itu. Akhirnya aku tahu, ternyata kau sepondok dengan adikku, bersebelahan kamar, bahkan berteman baik. Namamu kutahu sudah, Putri. 

Setelah itu, aku pulang dengan pengharapan yang baru. Harapan besar. Jadinya, besok-besok kupastikan sulit bagiku menahan diri berkunjung ke pondokan adikku. Selain memastikan kabarnya baik-baik saja, tentu juga untuk mencari kebetulan lagi, semisal berpapasan lagi denganmu. Pastilah penjaga pondokan tak khawatir dengan alasanku sering-sering bertamu. Dan benar saja, satu sore, saat aku hendak pulang, kita berpapasan di pagar pondokan. Kau hanya melirik sekenanya, lalu bergegas masuk.

Keesokan harinya, aku terpaksa menunaikan hasratku lagi. Aku tak tahan bediam diri di kamar dengan bayang-bayangmu yang terus menghantui. Kali ini, aku tidak ingin kembali dengan harapan kosong seperti kemarin-kemarin. Aku ingin membuat sesuatu yang lain. Membuatmu merasakan kebetulan-kebetulan sepertiku, hingga kita sama-sama berhasrat menyatakannya. Semalam, aku sudah mempersiapkannya. Aku akan meletakkan sebuah novel di depan kamarmu. Kuduga, novel yang kudapati tempo hari di taman kampus, akan kau suka.

Sesampainya di depan pondokan, langsung saja aku letakkan novel itu. Kutaruh di depan daun pintu kamarmu. Aku berharap, sepulangmu nanti, kau akan melihat dan merasa terkejut atas keberadaan novel misterius itu

Setelah misiku selesai, aku pun bergegas masuk ke kamar adikku. Betapa kagetnya aku, ternyata kau ada bersamanya. Ini adalah kebetulan yang lain, yang tak pernah kuinginkan. Sontak setelah melihatku, kau pun melemparkan senyuman sepintas, lalu permisi pergi segera. Ini kurasa keadaan terburuk. Bisa jadi kau akan menemukan novel itu, lalu kembali ke kamar dan bertanya tentang siapa pemiliknya. Kurahap itu tidak terjadi.

“Itu temanmu yang di foto kan?” tanyaku pada adikku, Ayu.

“Iya. Kenapa? Kakak menaksirnya?” balasnya meledek.

“Bisa saja kamu. Kau kira persoalan taksir-menaksir itu penting untuk masa depanmu? Ingat pesan ayah, belajar baik-baik,” balasku, mencoba menutupi kesan bahwa tebakannya benar.

“Baguslah kalau begitu. Apalagi katanya, dia punya lelaki idola. Kakak? Ah, tak mungkinlah,” balasannya, semakin menjengkelkan.

Lelaki lain? Jawaban adikku itu seperti tiupan sangkakala bagiku. Aku betul-betul tak bersedia menerima kenyataan bahwa setelah aku menumpuk kesan dan menempuh cara intelijen untuk merintis masa depanku bersamamu, kau ternyata punya lelaki idaman lain. Akhirnya, hari itu, aku pulang sembari mengikis harapanku yang sebenarnya telah membeku.

Keesokan harinya, Adikku, Ayu datang di pondokanku. Aku tak mungkin mengunjunginya lagi dan kembali menumbuhkan harapanku padamu, Putri.

“Ini novel Kakak?” tanya Ayu, sambil menunjukkan novel yang dimaksudnya. “Putri menemukann ini di depan kamarnya, pas waktu Kakak datang ke pondokanku kemarin.”

Ini benar-benar memalukan. Bagaimana bisa kau tahu kalau akulah yang meletakkan novel itu di depan pintu kamarmu? “Ini bukan punyaku. Kembalikan saja ke pondokanmu. Pasti pemiliknya adalah salah satu penghuni pondokan,” balasku.

“Tapi nama Kakak tertulis di balik sampulnya,” balas Ayu, sambil menunjukkan tulisan itu: untuk Razka Julino.

Aku belum pernah melihat itu sebelumnya. Padahal aku sudah membalik halaman per halaman.

Kuingat lagi hari-hari di mana aku menjadi pengagum rahasiamu di taman kampus. Sering menguntitmu dari bangku yang jauh, tanpa kau tahu. Aku pun mendadak gemar nongkrong di sana dan membaca novel. Semua karenamu. Kuharap jika suatu saat aku telah khatam membaca beberapa novel, aku ada alasan baik mengajakmu mengobrol. Karena itu juga, sore hari waktu pertama kali kita saling menatap di taman kampus, sebenarnya aku sengaja meninggalkan novel yang telah selesai kubaca di tempat duduk favoritmu. Sebuah novel yang kurasa mewakili perasaanku. Kuharap kau membawanya dan tahu tentang perasaanku. Tapi kau terlanjur melihatku meninggalkan novel itu, lalu mengingatkanku. Akan sangat aneh jika aku tak mengakuinya. Aku sangat gugup waktu itu. Seperti mati rasa. Imbasnya, sesampai di kamar, aku sampai tak tahu bagaimana ceritanya satu novel tanpa nama pemilik, menyusup ke dalam tasku. Novel itulah, yang mencantumkan namaku. 

“Kakak kok bengong?” tutur Ayu, membuyarkan ingatanku. “Eh, ada satu hal lucu yang perlu Kakak tahu. Putri mengira kalau Kakak adalah pacarku. Dia terlihat sangat percaya.”

“Apa? Kau tak menjelaskannya kalau kita ini saudara kandung? Kau kira itu lucu? Kau harus menjelaskannya segera,” balasku, tak sadar berucap seperti mengancam.

“Memangnya kenapa kalau aku mengatakan Kakak pacarku, ada masalah?” balasnya, lagi-lagi meledek. “Sudah, aku cuma becanda Kak. Dia tahu kok kalau kita saudara kandung. Sejak dulu, dia mengaku mengenal Kakak dari foto-foto yang kuperlihatkan padanya. Katanya Kakak dan dia sering bertemu di taman kampus. Sepertinya dia menaksir Kakak. Dia suka bertanya-tanya tentang Kakak. Katanya sih, novel miliknya ini memang untuk Kakak,” balasnya.

Mendengar penjelasan itu, kurasa kejadian-kejadian sebelumnya, bukan sebuah kebetulan, tetapi direncanakan. Bukan olehku, tapi kau. Sepertinya beralasan jika aku yakin perasaanku bersambut. Kuharap, besok-besok, kita merencanakan masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar