Selasa, 02 Februari 2016

Gadis Manis dan Nenek Renta

Seperti biasa. Setiap pagi, Bimo akan menghabiskan belasan menit waktunya untuk menunggui bus di halte. Ia tak ingin lagi terlambat sampai di kantor. Telinganya sudah pekak mendengar ceramah dari sang bos. Di hari-hari sebelumnya, ia memang sering terlambat ke kantor akibat kesiangan setelah begadang. Karena itu, belakangan ini, ia berusaha tidur lebih awal dan memasang waktu alarm berderet-deret. Tapi sial baginya. Meski berangkat cepat hari ini, bus malah datang terlambat. Dari desas-desus yang terdengar, sebuah pohon tumbang dan memalang jalur bus. Untunglah baginya, ada gadis jelita duduk tepat di sampingnya. Itu membuatnya merasa betah menunggu lama-lama.

Setelah senang menunggu, akhirnya sial lagi. Bus sampai di depan halte begitu cepat. Padahal ia enggan berpisah jarak dengan si gadis. Akhirnya, orang-orang yang benci menunggu pun menyerbu masuk, berbondong-bondong. Risiko bagi yang tak cekatan adalah tak mendapatkan tempat duduk. Ia berhasil. Beruntungnya lagi, perempuan misterius masih duduk tepat di sampingnya. Ia jadi berharap laju bus diperlambat, sehingga banyak waktu untuknya berangan-angan. Mengimajinasikan si gadis yang menurut ukuran dunia modern, sangat menawan. Menggoda. Tanpa perlu digambarkan secara detail, kecantikannya tak kalah dengan para bintang iklan produk kecantikan.

Akibat kehadiran wanita berpakaian rapi dan bersih itu, Bimo merasa ruang bus menjadi sempit. Meski ada puluhan orang duduk berderet, ditambah yang berdiri sambil berpegang di tali bergagang, di benaknya hanya ada si dia. Bahkan, ia jadi tak mempedulikan wanita tua yang tepat berdiri di depannya. Tak sudi ia menawarkan tempat duduk kepada si Nenek, seperti yang biasa dilakukannya. Ia tak ingin kesempatan emasnya berlalu begitu saja. Kali ini rasa kasihan yang mengugah batinnya, tak diacuhkan. Baginya, sehari tak mengapa untuk kesenangannya, sebab masih ada hari esok untuk berkorban bagi orang lain.

Bimo kini bertahan dalam kegugupan selama duduk di samping si gadis. Tapi ia suka, meski gerak-geriknya jadi tak normal. Arah pandangannya pun tak stabil. Tak mungkin mengarahkan pandangan ke samping kanannya, ke arah depan bus, sebab takut matanya bersetatap dengan si gadis. Mengarahkan pandangan ke samping kirinya, ke arah belakang bus, juga terasa ganjil. Apalagi ke arah belakangnya, tentu tak masuk akal. Memandang ke arah depannya juga tak mungkin menyenangkan. Hanya ada si Nenek tua di situ, yang sesekali memandang ke arahnya. Kehadiran si Nenek tentu membuat imajinasinya tentang si gadis, ternodai. Akhirnya, beruntung baginya, ia masih punya arah pelarian, menunduk. Koran yang dibelinya dari loper koran cilik masih ia bawa. Hanya itu pelarian berwibawanya.

“Permisi, pulpen Kakak jatuh,” tutur si gadis kepada Bimo.

Suara itu membuat ketegangan Bimo sampai pada klimaksnya. Benar saja, ada pulpen. Bimo ragu-ragu itu miliknya. Ia sontak memandang ke arah si wanita, seakan bertanya apakah ini benar-benar milikku?

“Itu milik Kakak. Aku melihatnya sendiri jatuh dari dalam tas Kakak saat mengambil koran tadi,” sambung si gadis, sebelum Bimo menuturkan sepatah kata pun.

 “Oh, begitu. Terima kasih sudah mengingatkan.” Bimo pun membungkuk untuk mengambilnya. Sekarang, ia berencana meengetahui tentang si gadis. “Nama kamu siapa?”

“Mmm, Miranti, Kak Bimo. Tapi lain kali, panggil saja Mira,” balas, sambil merekahkan senyum manisnya.

“Ok, baiklah, Mira. Tapi kok bisa tahu namaku?” tanya Bimo penasaran, sambil menggaruk kepalanya tanpa sadar.

“Itu, ada di papan nama Kakak,” balas Mira, sambil melirik ke arah katong baju Bimo.

Bimo benar-benar kikuk. Hening untuk beberapa menit saja.

“Benar-benar bahaya sekarang. Pencuri sudah pandai menyamar. Tidak lagi seperti dulu yang penampilannya kumuh dan menyeramkan, pencuri sekarang berwajah rupawan dan tampil modis. Sangat menipu,” tutur Bimo, mengomentari berita utama koran yang lagi-lagi mengangkat persoalan korupsi. Ia mencoba memancing pembicaraan lanjut dengan Mira. “Aku yakin, kau tak akan sebejat itu.”

Mira hanya menyungging, lalu tertawa pendek. “Kakak bisa saja,” balasnya.

Melihat mimik wajah si gadis yang menggemaskan, khayalan Bimo semakin menjadi-jadi.

Tiba-tiba saja, bus merem mendadak. Sontak saja para penumpang berlarian ke depan. Berusaha menyaksikan sendiri apa yang terjadi, termasuk Bimo. Mira juga menyusul dari belakang. Penumpang bergumul sesaat. Ternyata, ada pengendarara sepeda motor yang mencoba memasuki lajur bus. Jika sopir tak menghentikan bus tepat waktu, bisa dipastikan nyawa pengendara motor itu akan melayang dilindas ban bus. Sang supir pun, dengan berang, mengkhotbahi pengendara itu sepuasnya.

Setelah tahu apa yang terjadi, dengan cepat, para penumpang kembali ke tempat duduk masing-masing. Takut bangkunya diduduki orang lain. Ketidakenakan membuat posisi penumpang masih seperti sebelumnya. Sedari tadi, hanya si Nenek yang tak beranjak dari posisinya. Ia masih berdiri, berpegangan pada tali bergagang, dan menumpukan berat bedannya di tongkat yang tertopang di ketiaknya. Tak berniat mengambil tempat duduk penumpang lain. Sabar menerima bahwa ia tak akan ditawari tempat duduk. 

Perjalanan dilanjutkan. Belasan menit berselang, bus akhirnya sampai di satu halte. Beberapa penumpang pun turun, termasuk Bimo. Ia turun lebih cepat. Berencana menunggu Mira dalam halte untuk mengucapkan kata perpisahan padanya. Ia ingin membuat ending ceritanya hari ini menjadi berkesan. Tapi entah kenapa, Mira dan si wanita tua cekcok di atas bus. Bimo menyaksikannya dengan penuh tanya. Namun peristiwa itu tak belangsung lama. Kedua orang itu pun turun dan segera menuju arah yang saling berlawanan. Mira bergegas meninggalkan halte tanpa memandangnya sekilas pun. Ia mencoba mengejar Mira, namun gadis itu segera lenyap dibawa taksi. Ia kini memendam tanda tanya besar tentang si gadis, tentang apa yang baru saja terjadi. 

Bimo merasa kehausan setelah lama berada dalam suasana yang menegangkan. Ia pun berniat membeli sebotol minuman di sebuah warung asongan. Namun betapa kagetnya ia. Dompetnya tiba-tiba tak ada di saku belakang. Ia pun merogoh dalam-dalam, tapi tak juga ditemukan. Dompetnya telah hilang entah di mana. Ia pun menduga, peristiwa yang dialaminya ada hubungannya dengan percekcokan Mira dengan si Nenek. Pikirannya mulai macam-macam tentang si renta itu.
Bimo bergegas melangkah ke atas halte.

“Nak, tunggu sebentar,” seru si Nenek, sambil berjalan patah-patah menuju arah Bimo, menggunakan tongkat. 

Langkah Bimo pun tertahan. Berdiam diri dengan penuh tanda tanya.

“Ini dompetnya Nak,” tutur si Nenek sambil memperlihatkan dompet itu. 

“Kok Nenek bisa tahu ini dompetku? Nenek dapat di mana?”

“Tak usah kamu tahu Nak. Nenek hanya berpesan agar kamu tak muda terlena dengan tampakan luar seseorang. Pencuri zaman sekarang pada rupawan dan tampil menawan. Lain kali, tetap hati-hati Nak,” tutur si Nenek sambil tersenyum, mengembangkan otot wajahnya yang keriput. Ia kemudian berlalu meninggalkan Bimo yang masih terpaku dengan sejuta tanya di benaknya. Tak lama, si Nenek menghilang dibawa angkutan umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar