Seperti
biasa. Setiap pagi, Bimo akan menghabiskan belasan menit waktunya untuk
menunggui bus di halte. Ia tak ingin lagi terlambat sampai di kantor.
Telinganya sudah pekak mendengar ceramah dari sang bos. Di hari-hari sebelumnya,
ia memang sering terlambat ke kantor akibat kesiangan setelah begadang. Karena
itu, belakangan ini, ia berusaha tidur lebih awal dan memasang waktu alarm
berderet-deret. Tapi sial baginya. Meski berangkat cepat hari ini, bus malah
datang terlambat. Dari desas-desus yang terdengar, sebuah pohon tumbang dan
memalang jalur bus. Untunglah baginya, ada gadis jelita duduk tepat di
sampingnya. Itu membuatnya merasa betah menunggu lama-lama.
Setelah
senang menunggu, akhirnya sial lagi. Bus sampai di depan halte begitu cepat.
Padahal ia enggan berpisah jarak dengan si gadis. Akhirnya, orang-orang yang
benci menunggu pun menyerbu masuk, berbondong-bondong. Risiko bagi yang tak
cekatan adalah tak mendapatkan tempat duduk. Ia berhasil. Beruntungnya lagi, perempuan
misterius masih duduk tepat di sampingnya. Ia jadi berharap laju bus
diperlambat, sehingga banyak waktu untuknya berangan-angan. Mengimajinasikan si
gadis yang menurut ukuran dunia modern, sangat menawan. Menggoda. Tanpa perlu
digambarkan secara detail, kecantikannya tak kalah dengan para bintang iklan
produk kecantikan.
Akibat
kehadiran wanita berpakaian rapi dan bersih itu, Bimo merasa ruang bus menjadi
sempit. Meski ada puluhan orang duduk berderet, ditambah yang berdiri sambil
berpegang di tali bergagang, di benaknya hanya ada si dia. Bahkan, ia jadi tak
mempedulikan wanita tua yang tepat berdiri di depannya. Tak sudi ia menawarkan
tempat duduk kepada si Nenek, seperti yang biasa dilakukannya. Ia tak ingin
kesempatan emasnya berlalu begitu saja. Kali ini rasa kasihan yang mengugah batinnya,
tak diacuhkan. Baginya, sehari tak mengapa untuk kesenangannya, sebab masih ada
hari esok untuk berkorban bagi orang lain.
Bimo
kini bertahan dalam kegugupan selama duduk di samping si gadis. Tapi ia suka, meski
gerak-geriknya jadi tak normal. Arah pandangannya pun tak stabil. Tak mungkin
mengarahkan pandangan ke samping kanannya, ke arah depan bus, sebab takut matanya
bersetatap dengan si gadis. Mengarahkan pandangan ke samping kirinya, ke arah
belakang bus, juga terasa ganjil. Apalagi ke arah belakangnya, tentu tak masuk
akal. Memandang ke arah depannya juga tak mungkin menyenangkan. Hanya ada si Nenek
tua di situ, yang sesekali memandang ke arahnya. Kehadiran si Nenek tentu
membuat imajinasinya tentang si gadis, ternodai. Akhirnya, beruntung baginya,
ia masih punya arah pelarian, menunduk. Koran yang dibelinya dari loper koran cilik
masih ia bawa. Hanya itu pelarian berwibawanya.
“Permisi,
pulpen Kakak jatuh,” tutur si gadis kepada Bimo.
Suara
itu membuat ketegangan Bimo sampai pada klimaksnya. Benar saja, ada pulpen.
Bimo ragu-ragu itu miliknya. Ia sontak memandang ke arah si wanita, seakan
bertanya apakah ini benar-benar milikku?
“Itu
milik Kakak. Aku melihatnya sendiri jatuh dari dalam tas Kakak saat mengambil
koran tadi,” sambung si gadis, sebelum Bimo menuturkan sepatah kata pun.
“Oh, begitu. Terima kasih sudah mengingatkan.”
Bimo pun membungkuk untuk mengambilnya. Sekarang, ia berencana meengetahui
tentang si gadis. “Nama kamu siapa?”
“Mmm,
Miranti, Kak Bimo. Tapi lain kali, panggil saja Mira,” balas, sambil merekahkan
senyum manisnya.
“Ok,
baiklah, Mira. Tapi kok bisa tahu namaku?” tanya Bimo penasaran, sambil
menggaruk kepalanya tanpa sadar.
“Itu,
ada di papan nama Kakak,” balas Mira, sambil melirik ke arah katong baju Bimo.
Bimo
benar-benar kikuk. Hening untuk beberapa menit saja.
“Benar-benar
bahaya sekarang. Pencuri sudah pandai menyamar. Tidak lagi seperti dulu yang
penampilannya kumuh dan menyeramkan, pencuri sekarang berwajah rupawan dan tampil
modis. Sangat menipu,” tutur Bimo, mengomentari berita utama koran yang
lagi-lagi mengangkat persoalan korupsi. Ia mencoba memancing pembicaraan lanjut
dengan Mira. “Aku yakin, kau tak akan sebejat itu.”
Mira
hanya menyungging, lalu tertawa pendek. “Kakak bisa saja,” balasnya.
Melihat
mimik wajah si gadis yang menggemaskan, khayalan Bimo semakin menjadi-jadi.
Tiba-tiba
saja, bus merem mendadak. Sontak saja para penumpang berlarian ke depan.
Berusaha menyaksikan sendiri apa yang terjadi, termasuk Bimo. Mira juga
menyusul dari belakang. Penumpang bergumul sesaat. Ternyata, ada pengendarara
sepeda motor yang mencoba memasuki lajur bus. Jika sopir tak menghentikan bus
tepat waktu, bisa dipastikan nyawa pengendara motor itu akan melayang dilindas
ban bus. Sang supir pun, dengan berang, mengkhotbahi pengendara itu sepuasnya.
Setelah
tahu apa yang terjadi, dengan cepat, para penumpang kembali ke tempat duduk
masing-masing. Takut bangkunya diduduki orang lain. Ketidakenakan membuat
posisi penumpang masih seperti sebelumnya. Sedari tadi, hanya si Nenek yang tak
beranjak dari posisinya. Ia masih berdiri, berpegangan pada tali bergagang, dan
menumpukan berat bedannya di tongkat yang tertopang di ketiaknya. Tak berniat
mengambil tempat duduk penumpang lain. Sabar menerima bahwa ia tak akan
ditawari tempat duduk.
Perjalanan
dilanjutkan. Belasan menit berselang, bus akhirnya sampai di satu halte.
Beberapa penumpang pun turun, termasuk Bimo. Ia turun lebih cepat. Berencana menunggu
Mira dalam halte untuk mengucapkan kata perpisahan padanya. Ia ingin membuat ending ceritanya hari ini menjadi
berkesan. Tapi entah kenapa, Mira dan si wanita tua cekcok di atas bus. Bimo
menyaksikannya dengan penuh tanya. Namun peristiwa itu tak belangsung lama.
Kedua orang itu pun turun dan segera menuju arah yang saling berlawanan. Mira
bergegas meninggalkan halte tanpa memandangnya sekilas pun. Ia mencoba mengejar
Mira, namun gadis itu segera lenyap dibawa taksi. Ia kini memendam tanda tanya
besar tentang si gadis, tentang apa yang baru saja terjadi.
Bimo
merasa kehausan setelah lama berada dalam suasana yang menegangkan. Ia pun
berniat membeli sebotol minuman di sebuah warung asongan. Namun betapa kagetnya
ia. Dompetnya tiba-tiba tak ada di saku belakang. Ia pun merogoh dalam-dalam,
tapi tak juga ditemukan. Dompetnya telah hilang entah di mana. Ia pun menduga,
peristiwa yang dialaminya ada hubungannya dengan percekcokan Mira dengan si
Nenek. Pikirannya mulai macam-macam tentang si renta itu.
Bimo
bergegas melangkah ke atas halte.
“Nak,
tunggu sebentar,” seru si Nenek, sambil berjalan patah-patah menuju arah Bimo,
menggunakan tongkat.
Langkah
Bimo pun tertahan. Berdiam diri dengan penuh tanda tanya.
“Ini
dompetnya Nak,” tutur si Nenek sambil memperlihatkan dompet itu.
“Kok
Nenek bisa tahu ini dompetku? Nenek dapat di mana?”
“Tak
usah kamu tahu Nak. Nenek hanya berpesan agar kamu tak muda terlena dengan
tampakan luar seseorang. Pencuri zaman sekarang pada rupawan dan tampil
menawan. Lain kali, tetap hati-hati Nak,” tutur si Nenek sambil tersenyum,
mengembangkan otot wajahnya yang keriput. Ia kemudian berlalu meninggalkan Bimo
yang masih terpaku dengan sejuta tanya di benaknya. Tak lama, si Nenek
menghilang dibawa angkutan umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar