Selasa, 02 Februari 2016

Awan 2 Februari

Keakraban kita bermula pada perkemahan di sebuah bukit. Hari Minggu saat itu, bertepatan dengan tanggal 2 Februari. Bersama teman seorganisasi kita yang telah wisuda, diselenggarakanlah sebuah perkemahan sebagai prosesi perpisahan sebelum semua bercerai-berai. Ada juga pengurus yang turut. Jumlah semuanya 25 orang. 

Di hari kedua perkemahan, pada sore hari, kau terlihat murung sendiri di bawah sebuah pohon. Aku tak tahu apa yang merisaukanmu. Masalahmu sepertinya pelik sehingga kau tak berselera turut bercengkrama. Sedari tadi, kau hanya memandang jauh. Memerhatikan deretan rumah di bawah lembah atau menengadah memadang awan. 

Aku merasa iba dan bertanya-tanya tentang perasaanmu. Namun, aku tak punya nyali untuk sekadar menghampirimu. Kau terkenal cuek dan galak dengan lawan jenis. Tapi mau tak mau, aku yang harus menghadapimu. Di antara teman-teman kita, tak ada yang nyaman mengobrol denganmu selain aku. Semuanya kapok sebab responsmu tak mengasyikkan. Kau tak suka becanda. Mereka pun jadi takut galakmu. Apalagi yang telah kau tandai gemar mengejek mata sipit, rambut keriting, dan hidung pesekmu. 

Terus terang, aku heran pada semua orang yang buta dan tak melihat betapa indahnya struktur wajahmu. Kepekaan seni mereka sepertinya tumpul untuk menyadari keindahan sesungguhnya. Tapi keganjilan itu adalah kesyukuran bagiku, sebab hanya aku yang mengidolakanmu. Tak ada pesaing bagiku untuk mendapatkan perhatianmu. Namun tidak semua juga. Kau pasti tak tahu kalau teman baikku di kelas lain dahulu, mengidamkanmu. Dialah yang pernah mengirimimu rangkaian kata-kata selangit secara sembunyi-sembunyi, beberapa kali, melalui bantuanku. Akhirnya, karena takut kau ditaklukkan olehnya, perasaanku pun mulai tumbuh, hingga memuncak.

“Risti, kau tak apa-apa kan?” tanyaku selembut mungkin. Berselang lima detik, kau tak juga bertutur. “Ayo gabung dengan teman-teman lain. Mereka pasti khawatir jika kau menyendiri begini.”

“Apa benar kita dapat membentuk langit serupa bentuk hati hanya dengan berharap dan menatapnya lama-lama?” tanyamu, lalu berbalik menatapku dengan wajah yang tak tampak menyiratkan kesedihan. Tatapan tajammu menghangatkan batinku. “Kau juga percaya dengan kekuatan hati kan? Kamu tahu maksudku?”

Aku menjadi tak mengerti kenapa sampai kau bertanya aneh seperti itu. Mungkin benar kata teman-teman lain, bahwa kau mulai tak waras belakangan ingin. Pastilah persoalan asmara yang mengacaukan logikamu. Padahal tak ada yang meragukan kecerdasanmu, terutama dalam bidang ilmu pasti. “Entahlah. Aku tak tahu. Mungkin bisa terjadi jika kau mampu mengendalikan angin.”

Kau lantas berbalik, lalu mendongak lagi ke atas langit. “Perempuan sepertiku pantasnya jadi awan. Aku sabar menunggu seorang pengendali angin datang, lalu membentuk awan itu menjadi bentuk hati,” tuturmu, semakin mengawang-awang.

“Mudah-mudahan saja. Baiklah kalau begitu. Aku pergi dulu. Kalau ada apa-apa, cerita saja padaku,” tawarku, lalu melangkah beranjak darimu.

“Arka, lihat, awannya mulai berbentuk hati. Kamu lihat kan?” tunjukmu pada satu arah. Kau berdiri sambil beberapa kali berbalik, mengajakku. “Pasti kau yang mengendalikan anginnya.”

“Kau bisa saja. Mungkin angin mengasihanimu menunggu dari tadi,” balas sembari tersenyum sepintas padamu.

Kau menoleh kepadaku, di samping kananmu. Menatapku dengan raut wajah yang riang. “Aku memang telah menunggu sejak lama.”

Benar saja, sore itu, kita menikmati awan berbentuk hati yang berarak jauh di sana. Itulah momen pertama tentang awan di tanggal 2 Februari. Tak akan aku lupakan. 

Hari berganti setelah kejadian itu, kita tak lagi saling bertemu ataupun memberi kabar. Sampai suatu hari kau mengimkanku pesan. Pertanyaanmu sangat personal. Aku akhirnya yakin, kau menyimpan kesan tentangku. Demi berdamai dengan bisikan hati, aku menyatakan perasaanku berselang beberapa menit setelah kita bertukar pesan hari itu. Akhirnya, setahun setelah kita menyaksikan awan bentuk hati, kita pun menikah. Pernikahan kita tepat tanggal 2 Februari.

Tak terduga, hubungan keluarga kita ternyata tak berjalan harmonis. Membinan rumah tangga ternyata tak seindah membaca puisi. Pernikahan kita baru setahun berlalu, tapi kau terasa menjauh dariku. Kau berubah temperamental. Meski begitu, aku tak sedikitpun hendak membalasmu dengan kemarahan juga. Puncaknya seminggu sebelum tanggal 2 Februari, enam hari sebelum keberangkatanku ke pulau lain untuk mengurus pekerjaan kantor. 

“Maafkan aku Arka. Dulu, ada sosok yang aku angankan. Entah siapa. Tapi kau tak sepertinya. Tak sepeduli dan seromantis dirinya,” tuturmu padaku setelah beberapa hari memilih diam. Kau terlihat pucat.

Aku tentu merasa terpukul mendengar itu. Tapi aku tak menyalahkanmu. Kutahu betul, kesenanganmu pada awan memang bukan karenaku. Ada seseorang yang dulu menginginkanmu. Kuyakin, dialah alasanmu mengagumi awan. Ternyata memang benar bahwa memiliki raga belum tentu mengusai jiwa. Masa lalu memiliki sisi kejam yang terus menghantui masa depan. Aku tak memiliki masa lalumu. Tak mungkin juga memaksamu menghapusnya. “Tak apa-apa. Kau tak usah meminta maaf. Aku paham keadaanmu sekarang. Pergilah kemanapun kau mau. Jika kau suatu saat ingin kembali, kembalilah. Tapi jika kau memilih menyusul lelaki idamanmu dahulu, aku tak mengapa,” balasku.

Pagi itu, kau pun pergi. Entah ke mana. Mungkin kau ke rumah orang tuamu di kampung. Kuharap kau baik-baik saja.

Hari berganti. Datanglah 2 Februari. Tugas kantorku ternyata dibatalkan. Aku tak jadi ke luar kota. Dengan seorang diri, aku menyusuri rerumputan menuju bukit tempat kita dahulu melihat awan berbentuk hati. Aku ingin mengenang masa-masa itu sembari merefleksikan sikapku padamu.

Betapa kegetnya kurasa. Seperti dua tahun lalu, kau menyendiri di bawah sebuah pohon sambil memandangi langit. Menyadari kehadiranku, kau tampak heran. Mata sipitmu menyorot ke arahku. Sontak, kau pun berbalik badan, berlari mendekat, lalu memelukku. 

“Selamat hari pernikahan kita,” tuturmu sambil terisak.

Aku jadi tak mengerti apa maksud semua kejadian ini.

“Aku mencintaimu sejak dulu. Aku mohon, jangan tinggalkan aku sampai kapanpun. Aku ingin kau tetap menjadi angin untukku, seperti yang pernah kau tuliskan: Aku angin, dan kau awan. Tunggulah kutiup kau jadi bentuk hatiku.

Terus terang, seingatku, tak sekalipun aku menuliskan untaian kata itu. Kuduga, temanku yang mengidamkanmu dahulu adalah pemiliknya. Jika benar begitu, aku berarti orang yang seharusnya tak kau cintai. Awan itu bukan tentang kita. Sekarang, entah harus kuapakan perasaanku tentang awan 2 Februari, apakah harus kucintai, kubenci, atau pura-pura mencintainya demi hubungan kita?

Semasih pelukan kita bercengkraman erat, awan dua Februari terulang lagi. Bentuk hatinya kini lebih besar. 

“Hei, lihatlah di sana. Aku baru saja membentuknya untukmu,” seruku.

Kau pun menolehnya sambil tersenyum bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar