Keakraban
kita bermula pada perkemahan di sebuah bukit. Hari Minggu saat itu, bertepatan
dengan tanggal 2 Februari. Bersama teman seorganisasi kita yang telah wisuda,
diselenggarakanlah sebuah perkemahan sebagai prosesi perpisahan sebelum semua
bercerai-berai. Ada juga pengurus yang turut. Jumlah semuanya 25 orang.
Di
hari kedua perkemahan, pada sore hari, kau terlihat murung sendiri di bawah
sebuah pohon. Aku tak tahu apa yang merisaukanmu. Masalahmu sepertinya pelik
sehingga kau tak berselera turut bercengkrama. Sedari tadi, kau hanya memandang
jauh. Memerhatikan deretan rumah di bawah lembah atau menengadah memadang
awan.
Aku
merasa iba dan bertanya-tanya tentang perasaanmu. Namun, aku tak punya nyali
untuk sekadar menghampirimu. Kau terkenal cuek dan galak dengan lawan jenis.
Tapi mau tak mau, aku yang harus menghadapimu. Di antara teman-teman kita, tak
ada yang nyaman mengobrol denganmu selain aku. Semuanya kapok sebab responsmu
tak mengasyikkan. Kau tak suka becanda. Mereka pun jadi takut galakmu. Apalagi
yang telah kau tandai gemar mengejek mata sipit, rambut keriting, dan hidung pesekmu.
Terus
terang, aku heran pada semua orang yang buta dan tak melihat betapa indahnya
struktur wajahmu. Kepekaan seni mereka sepertinya tumpul untuk menyadari
keindahan sesungguhnya. Tapi keganjilan itu adalah kesyukuran bagiku, sebab
hanya aku yang mengidolakanmu. Tak ada pesaing bagiku untuk mendapatkan
perhatianmu. Namun tidak semua juga. Kau pasti tak tahu kalau teman baikku di
kelas lain dahulu, mengidamkanmu. Dialah yang pernah mengirimimu rangkaian
kata-kata selangit secara sembunyi-sembunyi, beberapa kali, melalui bantuanku. Akhirnya,
karena takut kau ditaklukkan olehnya, perasaanku pun mulai tumbuh, hingga
memuncak.
“Risti,
kau tak apa-apa kan?” tanyaku selembut mungkin. Berselang lima detik, kau tak juga
bertutur. “Ayo gabung dengan teman-teman lain. Mereka pasti khawatir jika kau
menyendiri begini.”
“Apa
benar kita dapat membentuk langit serupa bentuk hati hanya dengan berharap dan
menatapnya lama-lama?” tanyamu, lalu berbalik menatapku dengan wajah yang tak
tampak menyiratkan kesedihan. Tatapan tajammu menghangatkan batinku. “Kau juga
percaya dengan kekuatan hati kan? Kamu tahu maksudku?”
Aku
menjadi tak mengerti kenapa sampai kau bertanya aneh seperti itu. Mungkin benar kata
teman-teman lain, bahwa kau mulai tak waras belakangan ingin. Pastilah
persoalan asmara yang mengacaukan logikamu. Padahal tak ada yang meragukan
kecerdasanmu, terutama dalam bidang ilmu pasti. “Entahlah. Aku tak tahu.
Mungkin bisa terjadi jika kau mampu mengendalikan angin.”
Kau
lantas berbalik, lalu mendongak lagi ke atas langit. “Perempuan sepertiku
pantasnya jadi awan. Aku sabar menunggu seorang pengendali angin datang, lalu
membentuk awan itu menjadi bentuk hati,” tuturmu, semakin mengawang-awang.
“Mudah-mudahan
saja. Baiklah kalau begitu. Aku pergi dulu. Kalau ada apa-apa, cerita saja
padaku,” tawarku, lalu melangkah beranjak darimu.
“Arka,
lihat, awannya mulai berbentuk hati. Kamu lihat kan?” tunjukmu pada satu arah.
Kau berdiri sambil beberapa kali berbalik, mengajakku. “Pasti kau yang mengendalikan
anginnya.”
“Kau
bisa saja. Mungkin angin mengasihanimu menunggu dari tadi,” balas sembari
tersenyum sepintas padamu.
Kau
menoleh kepadaku, di samping kananmu. Menatapku dengan raut wajah yang riang.
“Aku memang telah menunggu sejak lama.”
Benar
saja, sore itu, kita menikmati awan berbentuk hati yang berarak jauh di sana.
Itulah momen pertama tentang awan di tanggal 2 Februari. Tak akan aku lupakan.
Hari
berganti setelah kejadian itu, kita tak lagi saling bertemu ataupun memberi
kabar. Sampai suatu hari kau mengimkanku pesan. Pertanyaanmu sangat personal.
Aku akhirnya yakin, kau menyimpan kesan tentangku. Demi berdamai dengan bisikan
hati, aku menyatakan perasaanku berselang beberapa menit setelah kita bertukar
pesan hari itu. Akhirnya, setahun setelah kita menyaksikan awan bentuk hati,
kita pun menikah. Pernikahan kita tepat tanggal 2 Februari.
Tak
terduga, hubungan keluarga kita ternyata tak berjalan harmonis. Membinan rumah tangga
ternyata tak seindah membaca puisi. Pernikahan kita baru setahun berlalu, tapi
kau terasa menjauh dariku. Kau berubah temperamental. Meski begitu, aku tak
sedikitpun hendak membalasmu dengan kemarahan juga. Puncaknya seminggu sebelum
tanggal 2 Februari, enam hari sebelum keberangkatanku ke pulau lain untuk
mengurus pekerjaan kantor.
“Maafkan
aku Arka. Dulu, ada sosok yang aku angankan. Entah siapa. Tapi kau tak sepertinya.
Tak sepeduli dan seromantis dirinya,” tuturmu padaku setelah beberapa hari memilih
diam. Kau terlihat pucat.
Aku
tentu merasa terpukul mendengar itu. Tapi aku tak menyalahkanmu. Kutahu betul, kesenanganmu
pada awan memang bukan karenaku. Ada seseorang yang dulu menginginkanmu.
Kuyakin, dialah alasanmu mengagumi awan. Ternyata memang benar bahwa memiliki
raga belum tentu mengusai jiwa. Masa lalu memiliki sisi kejam yang terus
menghantui masa depan. Aku tak memiliki masa lalumu. Tak mungkin juga memaksamu
menghapusnya. “Tak apa-apa. Kau tak usah meminta maaf. Aku paham keadaanmu
sekarang. Pergilah kemanapun kau mau. Jika kau suatu saat ingin kembali,
kembalilah. Tapi jika kau memilih menyusul lelaki idamanmu dahulu, aku tak
mengapa,” balasku.
Pagi
itu, kau pun pergi. Entah ke mana. Mungkin kau ke rumah orang tuamu di kampung.
Kuharap kau baik-baik saja.
Hari
berganti. Datanglah 2 Februari. Tugas kantorku ternyata dibatalkan. Aku tak
jadi ke luar kota. Dengan seorang diri, aku menyusuri rerumputan menuju bukit
tempat kita dahulu melihat awan berbentuk hati. Aku ingin mengenang masa-masa itu
sembari merefleksikan sikapku padamu.
Betapa
kegetnya kurasa. Seperti dua tahun lalu, kau menyendiri di bawah sebuah pohon
sambil memandangi langit. Menyadari kehadiranku, kau tampak heran. Mata sipitmu
menyorot ke arahku. Sontak, kau pun berbalik badan, berlari mendekat, lalu memelukku.
“Selamat hari pernikahan kita,” tuturmu sambil terisak.
Aku
jadi tak mengerti apa maksud semua kejadian ini.
“Aku
mencintaimu sejak dulu. Aku mohon, jangan tinggalkan aku sampai kapanpun. Aku
ingin kau tetap menjadi angin untukku, seperti yang pernah kau tuliskan: Aku angin, dan kau awan. Tunggulah kutiup kau jadi bentuk hatiku.”
Terus
terang, seingatku, tak sekalipun aku menuliskan untaian kata itu. Kuduga,
temanku yang mengidamkanmu dahulu adalah pemiliknya. Jika benar begitu, aku
berarti orang yang seharusnya tak kau cintai. Awan itu bukan tentang kita.
Sekarang, entah harus kuapakan perasaanku tentang awan 2 Februari, apakah harus
kucintai, kubenci, atau pura-pura mencintainya demi hubungan kita?
Semasih
pelukan kita bercengkraman erat, awan dua Februari terulang lagi. Bentuk hatinya
kini lebih besar.
“Hei, lihatlah di sana. Aku baru saja membentuknya untukmu,” seruku.
“Hei, lihatlah di sana. Aku baru saja membentuknya untukmu,” seruku.
Kau
pun menolehnya sambil tersenyum bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar