Manusia
memiliki kehendak bebas untuk menentukan jalan hidupnya. Dengan bekal hati dan
pikiran, manusia mampu memproyeksikan konsekuensi dari sebuah pilihan. Di
sinilah ikhtiar manusia berperan, yaitu pada tahapan proses memilih dan
menjalani pilihan. Hasil dari sebuah pilihan tentunya hanya bisa diprediksi,
sebab penentu akhirnya tetap pada Yang Maha Kuasa. Entah sebuah pilihan akan
berujung pada hasil yang diinginkan atau tidak, yang pasti manusia harus
memilih.
Saat
memilih di antara beberapa daftar pilihan, tak mungkin hanya mengandalkan
pandangan pribadi. Pertimbangan orang lain sangat perlu ditelaah. Terlebih
lagi, pertimbangan subjektif kadang membutakan sebab mengedepankan ego pribadi,
sehingga menutup diri dari kemungkinan pengaruh eksternal. Pentingnya pertimbangan
orang lain adalah untuk dijadikan dasar merevisi rencana pilihan, atau malah
meneguhkan pilihan sebelumnya. Tapi yang pasti, penentuan pada yang mana
pilihan dijatuhkan, tetaplah menjadi otoritas subjektif. Apalagi jika pilihan
itu menuntut pertanggungjawaban pribadi.
Sejak
menyaadari bahwa manusia adalah makhluk sosial, muncul kecenderungan untuk senantiasa
menyesuaikan diri dengan perspektif umum, termasuk dengan menghiraukan pendapat
orang lain dalam memilih. Tentu tak ada yang salah dengan itu, sebab manusia
memang harus menjaga interaksinya dengan orang yang lain, agar kehidupan
bersama tetap berlangung harmonis. Tapi
yang keliru adalah ketika penetapan pilihan hanya untuk membuat orang lain
senang. Pertimbangan sendiri diabaikan sama sekali. Akhirnya, cara
berpenampilan, berbicara, dan bertindak, tak lain adalah buah dari pandangan
orang lain yang akibatnya, notabene, ditanggung sendiri. Layaknya ditimpakan
pepatah: bagaikan air di daun alas.
Pada
dasarnya, disadari atau tidak, keputusannya untuk memilih hal tertentu, tidak
lepas dari pengaruh luar, terutama penilaian orang lain. Bahkan, dalam
mengambil pilihan yang sifatnya privat, setiap orang dituntut menjawab terlebih
dahulu pertanyaan tentang apa respons orang lain terhadap pilihan itu. Akhirnya,
jika tak teguh pada pilihan, yang terjadi adalah pemilihan untuk mengikuti pandangan
orang lain seutuhnya. Alasannya kadang sepele, hanya karena tak ingin mendapat
cemoohan jikalau ia menentukan pilihannya sendiri dan kelak berujung pada hasil
buruk. Dipikirnya, ketika pilihan itu tak berujung sukses, ia tak dapat mengelak
kala disalahkan, sebab pilihan itu memang bukan pilihannya. Bahkan dapat dengan
gagahnya menyatakan bahwa seharusnya pilihannya dahulu yang dijalani.
Sikap
hidup yang selalu mengalah dengan pendapat umum dan tak pernah yakin dengan
pilihan sendiri, tak selayaknya diikuti. Bukan berarti harus menutup telinga
terhadap saran orang lain, atau mesti mengambil sikap yang berseberangan dengan
pandangan umum, tapi yang penting adalah tetap mengedepankan pertimbangan
pribadi. Apalagi konflik dua sisi itu akan terus terjadi dan menimbulkan
kebimbangan. Dilema itu tak akan terjadi jika pilihan berdasarkan pandangan
pribadi, sejalan dengan pendapat orang lain. Tapi yakinlah, di dunia yang penuh
perbedaan, mustahil memaksakan semua pendapat orang sama. Di sinilah
kebijaksanaan bekerja, untuk menjembatani kepentingan umum dan kepentingan
individu.
Sikap
independen dalam memutuskan pilihan, setelah mempertimbangkan semua saran,
sangatlah penting. Terlebih jika itu adalah pilihan dalam ruang lingkup pribadi,
yang konsekuensinya ditanggung sendiri. Misalnya pilihan tentang masa depan
sendiri. Bisa dibayangkan, jika secara tak waras mengikuti titah pilihan orang
lain, memang tak akan menyebabkan diri dikambinghitamkan atas sebuah kegagalan.
Tapi harus juga diingat, jika akhir dari sebuah pilihan diri sendiri, tak menuntut
kewajiban orang lain menanggungnya, berarti tak ada gunanya juga menyerahkan nasib
pada orang lain.
Hal
yang penting diingat agar dapat meneguhkan pilihan pribadi bahwa, setiap orang
tak yang mampu memberikan jaminan bahwa hasil akhir dari sebuah pilihan, pasti
berujung pada keberhasilan. Karena itu, memilih di antara banyak pilihan,
dengan cara merdeka, merupakan sikap yang tepat, sebab hasil akhirnya di luar
kendali diri sendiri. Intinya, jika hasil akhir pilihan tak dapat dipastikan
siapa pun, setidaknya masih menjadi penentu prosesnya. Jikalaupun pilihan itu tak
berujung manis, tentu itu masih lebih baik, daripada mengikuti pilihan orang
orang lain secara membabi buta dan tak punya andil untuk kehidupan sendiri.
Akhirnya,
tak yang bisa memastikan di antara dua pilihan atau lebih, tentang yang mana
yang akan berakhir indah. Bukan berarti ketika kita memilih satu pilihan dan
berujung kegagalan, hasil akhir dari daftar pilihan yang lainnya yang tersisih,
pasti lebih baik. Bisa jadi, hasilnya malah lebih buruk, ataukah memang di
antara pilihan yang ada, tak ada yang menuntun pada keberhasilan. Apalagi
dengan keterbatasan manusia, bisa saja tak terpikirkan satu alternatif pilihan
yang lebih baik. Tak ada yang tahu. Yang pasti, kita harus memilih. Memilih dan
bertanggungjawab untuk diri sendiri adalah jalan terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar