Selasa, 02 Februari 2016

Terpenjara Dosa

Tak ada yang tahu ceritanya, kecuali dirinya sendiri, Akri. Dia tentu tak akan menceritakannya. Sekadar disimpan dalam benaknya. Bukan berarti tak mau berbagi pelajaran hidup, tapi cerita itu menyangkut nama baik keluarganya. Menceritakan aib itu pada khalayak akan membuatnya disudutkan dan dicaci. Bahkan kekuasaan yang digenggamnya bisa dicabut. Ia bertekad, cerita itu cukup dirahasiakan dan menjadi pelajaran berharga dalam hidupnya.

Akri sebelumnya hidup dalam keluarga dengan daya perekonomian yang pas-pasan. Kesederhanaan sebagai kunci kebahagian adalah prinsip hidup orang tuanya. Wejangan turun temurun itu diwariskan para pendahulu mereka. Ayahnya, Pak Bahrum, seorang  pemuka agama yang dihormati, pun senantisa menasihatnya untuk selalu bersyukur dalam kesederhanaan. Karena itu, mata pencarian keluarganya jauh dari kesan “basah”. Tak seperti yang lain, garis keturunan ke atas dari keluarga ayahnya, tak ada riwayat menjadi pejabat, apalagi dibui karena terbukti memperkaya diri sendiri dari uang haram. Bahkan ayahnya beberapa kali menolak kala diminta warga menjadi kepala desa. Keluarganya sejak dahulu kala hanya hidup dari usaha beternak dan bertani. 

Akri pun, sejak kecil, selalu menjadi kebanggaan dalam keluarga. Ia sering kali tampil di muka umum, pada acara kemasyarakatan dan keagamaan. Banyak yang menafsir, ia akan mewarisi citra ayahnya yang kharismatik. Keadaan itu membuatnya sangat dielu-elukan dalam keluarga. Lebih dibanggakan ketimbang kakak tunggalnya. Apalagi sejumlah piala perlombaan seni, olahraga, dan keagamaan berhasil ia koleksi. Tanda penghargaan itu dipajang di ruang tamu rumahnya. Benda-benda itulah yang sering dijadikan bahan perbincangan oleh ibunya kala tamu-tamu bertandang ke rumahnya. Memamerkannya. 

Rekam jejak kehidupan Akri seperti tanpa cacat. Ia tampak alim dan cerdas. Tak pelak, ia menjadi panutan yang senantiasa didengar pendapatnya untuk menyelesaikan persoalan masyarakat kampung. Apalagi ia memang bagian dari segelintir anak kampung yang pernah mencicipi bangku kuliah. Ia berhasil meraih gelar sarjana di bidang disiplin ilmu agama. Padahal kebanyakan pemuda di desanya memilih putus sekolah dan hidup sebebas-bebasnya. Warga kampung memang senang anak-anaknya membantu bertani atau beternak daripada pergi ke sekolah. Pola pikir itu tak dianut Pak Bahrum. Ia sangat memerhatikan pendidikan anaknya, terutama untuk mendalami ilmu agama. Akhirnya, Akri pun mengenyam pendidikan formal agama sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. 

Belakangan, pandangan hidup Akri tentang kehidupan berubah. Gejalanya mulai terjadi setelah ia menikah empat tahun lalu, dan memiliki tiga orang anak. Sejak itu, keluarga kecilnya hidup di sebuah rumah, terpisah dari perkampungan. Rumah itu pun kini terlihat semakin mewah. Segala pernak-pernik dibelinya dari keuntungan bisnis penjulan ternak yang ia rintis setelah menikah. Yang lebih mencengangkan, ia bertekad maju dalam pemilihan kepala desa yang tak lama lagi akan dilangsungkan. 

Bermodal citra yang baik, nama Akri mencuat sebagai calon yang tak dapat dipandang sebelah mata. Ia mendapat dukungan dari tokoh agama yang sudah sepuh. Itu tak sulit, sebab ia sering tampil di forum keagamaan. Tak hanya itu, ia juga sering berbaur dengan semua kalangan masyarakat. Warga desa pun tahu ia berpengalaman menjadi pemimpin. Ia pernah menjadi ketua OSIS di sekolah, bahkan menjadi presiden BEM saat kuliah. Dialah satu-satunya anak kampung yang fotonya pernah terpampang di surat kabar nasional. Foto itu tentu telah dibingkai ibunya dan dipajang di ruang tamu rumah orang tuanya dahulu. Di sisi lain, calon petahana yang masih bernafsu berkuasa, sepeti sebelumnya, besar kemungkinan tetap akan menjabat untuk periode ketiganya. Ia terkenal mampu menggaet hati para pemuda desa. 

“Ayah, aku bertekad maju sebagai calon kepala desa,” tutur Akri kepada ayahnya di satu malam. “Aku tahu ayah punya banyak pertimbangan. Tapi jika berhasil menang, aku akan memperbaiki perilaku masyarakat di desa ini. Aku minta restu Ayah.” 

Ayahnya tercengang. Ia tak pernah menduga Akri punya hasrat untuk menjadi pemimpin masyarakat. “Aku tak pernah melarangmu menjadi pemimpin Nak. Kamu bebas berpikir dan mengambil keputusan yang berbeda denganku, asalkan itu demi kebaikan. Terserah kamu saja. Yang pasti, ayah tak ingin kau buta demi kekuasaan. Melakukan segala cara untuk bertahta. Ingatlah bahwa untuk tujuan yang baik, gapailah dengan cara yang baik pula. Tak ada gunanya melawan kemungkaran dengan cara yang mungkar. Sudah seharusnya kita belajar dari prosesi pemilihan kepala desa sebelumnya, bahwa dosa itu memenjarakan nurani, membuat kita sulit berbuat baik,” pesan ayahnya dengan begitu khidmat.

Malam pun berlalu dengan sejuta harapan, yang sesungguhnya berbeda di antara mereka.

Beberapa hari berlalu, pada pagi-pagi buta, berkumpullah orang-orang di salah satu rumah warga desa. Seekor kambing tetangga samping rumah ayah Akri, Pak Burhan, raib. Diduga bukan karena kabur, tetapi hilang dicuri. Gembok pintunya rusak. Diduga keras, para pelaku adalah warga desa sendiri, seperti pada peristiwa-peristiwa sebelumnya. Pencurian ternak memang sering terjadi di desa itu. Para pemuda kampung yang pemabuk dan pemadat, akan melakukan segala cara untuk mendapatkan barang haram.

Penasaran, Pak Burhan pun segera memeriksa kandang kambing di belakang rumahnya. Ia begitu kaget. Seekor kambingnya juga hilang.

 “Bapak bersyukur, Akri membawa kambing bapak semalam. Seandainya tidak, pasti hilang kecuri juga. Apalagi pintu kandang kambing Bapak hanya dililit tali,” tutur salah seorang kepala dusun kepada Pak Burhan, Pak Timan, yang tiba-tiba muncul di belakangnya.

“Jadi kambing saya di bawa Akri?” tanyanya penasaran. 

“Iya Pak. Semalam aku berpapasan dengan Akri sepulang mengecek pagar ladang jagungku. Katanya, kambing itu mau dibawanya ke ladang belakang rumahnya. Di sana banyak rumput katanya Pak. Dia bilang pagi ini kambing itu akan dikembalikan ke kandangnya. Memang Akri tak bilang ke Bapak?” tanya balik Pak Timan, heran.

Pak Bahrum tersentak. Ia pun menyadari kenapa sedari tadi warga kampung tak prihatin kambingnya hilang, malah ramai memerhatikan kandang kambing tetangga sebelah. “Jadi? Ah, syukurlah kalau begitu,” balas Pak Bahrum, tanpa menjawab tanya. 

Beberapa menit berselang, datanglah Akri bersama seekor kambing peliharaan ayahnya.

“Maaf Ayah. Semalam, aku membawa kambing ini. Rumput di belakang rumahku lebat. Kasian kambingnya tambah kurus begini.” Akri mendahului pembicaraan sesampainya di depan sang Ayah.

“Iya. Tak mengapa. Pak Timin sudah cerita padaku. Untunglah kau membawanya,” balas Pak Bahrum sembari tersenyum bangga pada anaknya itu.

Pagi itu pun berlalu dengan kejutan. Seharusnya dipertanyakan, tapi tidak.

Keesokan harinya, datanglah hari saat pemilihan kepala desa dilangsungkan. Hasilnya begitu mengejutkan ayahnya. Akri mengalahkan si calon petahana yang telah menjabat dua periode. Sebuah kejadian yang tak pernah disangka orang-orang tua kampung. Apalagi pada pemilihan kepala desa sebelum-sebelumnya, calon lain yang tampak cerdas dan alim, selalu ditumbangkan sang petahana. Tak ada yang menyangka, penduduk desa yang terjangkit penyakit sosial akut, bersedia memilih Akri sebagai kepala desa. 

Lama setelah menjabat sebagai kepala desa, kehidupan kampung ternyata tak menjadi lebih baik. Aksi pencurian dan mabuk-mabukan pemuda desa, semakin saja menjadi-jadi. Akri seperti tak punya daya untuk memberantas perilaku menyimpang itu. Kini, warga desa yang masih waras kembali mengungkit-ungkit tentang kejadian pencurian kambing tempo hari. Terlebih, beredar kabar jika setelah itu, malam sebelum pemilihan pemilihan, sebuah pesta diadakan sembunyi-sembunyi di rumah Akri. Malam itu menjadi sangat indah bagi pemuda desa yang menyukai pesta terlarang. Pesta yang tentu mereka rindukan hari-hari setelahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar