Tak
ada yang tahu ceritanya, kecuali dirinya sendiri, Akri. Dia tentu tak akan
menceritakannya. Sekadar disimpan dalam benaknya. Bukan berarti tak mau berbagi
pelajaran hidup, tapi cerita itu menyangkut nama baik keluarganya. Menceritakan
aib itu pada khalayak akan membuatnya disudutkan dan dicaci. Bahkan kekuasaan
yang digenggamnya bisa dicabut. Ia bertekad, cerita itu cukup dirahasiakan dan menjadi
pelajaran berharga dalam hidupnya.
Akri
sebelumnya hidup dalam keluarga dengan daya perekonomian yang pas-pasan. Kesederhanaan
sebagai kunci kebahagian adalah prinsip hidup orang tuanya. Wejangan turun
temurun itu diwariskan para pendahulu mereka. Ayahnya, Pak Bahrum, seorang pemuka agama yang dihormati, pun senantisa
menasihatnya untuk selalu bersyukur dalam kesederhanaan. Karena itu, mata
pencarian keluarganya jauh dari kesan “basah”. Tak seperti yang lain, garis keturunan
ke atas dari keluarga ayahnya, tak ada riwayat menjadi pejabat, apalagi dibui
karena terbukti memperkaya diri sendiri dari uang haram. Bahkan ayahnya
beberapa kali menolak kala diminta warga menjadi kepala desa. Keluarganya sejak
dahulu kala hanya hidup dari usaha beternak dan bertani.
Akri
pun, sejak kecil, selalu menjadi kebanggaan dalam keluarga. Ia sering kali tampil
di muka umum, pada acara kemasyarakatan dan keagamaan. Banyak yang menafsir, ia
akan mewarisi citra ayahnya yang kharismatik. Keadaan itu membuatnya sangat
dielu-elukan dalam keluarga. Lebih dibanggakan ketimbang kakak tunggalnya.
Apalagi sejumlah piala perlombaan seni, olahraga, dan keagamaan berhasil ia
koleksi. Tanda penghargaan itu dipajang di ruang tamu rumahnya. Benda-benda
itulah yang sering dijadikan bahan perbincangan oleh ibunya kala tamu-tamu
bertandang ke rumahnya. Memamerkannya.
Rekam
jejak kehidupan Akri seperti tanpa cacat. Ia tampak alim dan cerdas. Tak pelak,
ia menjadi panutan yang senantiasa didengar pendapatnya untuk menyelesaikan
persoalan masyarakat kampung. Apalagi ia memang bagian dari segelintir anak
kampung yang pernah mencicipi bangku kuliah. Ia berhasil meraih gelar sarjana
di bidang disiplin ilmu agama. Padahal kebanyakan pemuda di desanya memilih
putus sekolah dan hidup sebebas-bebasnya. Warga kampung memang senang
anak-anaknya membantu bertani atau beternak daripada pergi ke sekolah. Pola
pikir itu tak dianut Pak Bahrum. Ia sangat memerhatikan pendidikan anaknya,
terutama untuk mendalami ilmu agama. Akhirnya, Akri pun mengenyam pendidikan
formal agama sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Belakangan,
pandangan hidup Akri tentang kehidupan berubah. Gejalanya mulai terjadi setelah
ia menikah empat tahun lalu, dan memiliki tiga orang anak. Sejak itu, keluarga
kecilnya hidup di sebuah rumah, terpisah dari perkampungan. Rumah itu pun kini
terlihat semakin mewah. Segala pernak-pernik dibelinya dari keuntungan bisnis
penjulan ternak yang ia rintis setelah menikah. Yang lebih mencengangkan, ia
bertekad maju dalam pemilihan kepala desa yang tak lama lagi akan dilangsungkan.
Bermodal
citra yang baik, nama Akri mencuat sebagai calon yang tak dapat dipandang
sebelah mata. Ia mendapat dukungan dari tokoh agama yang sudah sepuh. Itu tak
sulit, sebab ia sering tampil di forum keagamaan. Tak hanya itu, ia juga sering
berbaur dengan semua kalangan masyarakat. Warga desa pun tahu ia berpengalaman
menjadi pemimpin. Ia pernah menjadi ketua OSIS di sekolah, bahkan menjadi
presiden BEM saat kuliah. Dialah satu-satunya anak kampung yang fotonya pernah
terpampang di surat kabar nasional. Foto itu tentu telah dibingkai ibunya dan
dipajang di ruang tamu rumah orang tuanya dahulu. Di sisi lain, calon petahana
yang masih bernafsu berkuasa, sepeti sebelumnya, besar kemungkinan tetap akan
menjabat untuk periode ketiganya. Ia terkenal mampu menggaet hati para pemuda
desa.
“Ayah,
aku bertekad maju sebagai calon kepala desa,” tutur Akri kepada ayahnya
di satu malam. “Aku tahu ayah punya banyak pertimbangan. Tapi jika berhasil
menang, aku akan memperbaiki perilaku masyarakat di desa ini. Aku minta restu
Ayah.”
Ayahnya
tercengang. Ia tak pernah menduga Akri punya hasrat untuk menjadi pemimpin
masyarakat. “Aku tak pernah melarangmu menjadi pemimpin Nak. Kamu bebas
berpikir dan mengambil keputusan yang berbeda denganku, asalkan itu demi
kebaikan. Terserah kamu saja. Yang pasti, ayah tak ingin kau buta demi
kekuasaan. Melakukan segala cara untuk bertahta. Ingatlah bahwa untuk tujuan
yang baik, gapailah dengan cara yang baik pula. Tak ada gunanya melawan
kemungkaran dengan cara yang mungkar. Sudah seharusnya kita belajar dari
prosesi pemilihan kepala desa sebelumnya, bahwa dosa itu memenjarakan nurani,
membuat kita sulit berbuat baik,” pesan ayahnya dengan begitu khidmat.
Malam
pun berlalu dengan sejuta harapan, yang sesungguhnya berbeda di antara mereka.
Beberapa
hari berlalu, pada pagi-pagi buta, berkumpullah orang-orang di salah satu rumah
warga desa. Seekor kambing tetangga samping rumah ayah Akri, Pak Burhan, raib. Diduga
bukan karena kabur, tetapi hilang dicuri. Gembok pintunya rusak. Diduga keras,
para pelaku adalah warga desa sendiri, seperti pada peristiwa-peristiwa
sebelumnya. Pencurian ternak memang sering terjadi di desa itu. Para pemuda
kampung yang pemabuk dan pemadat, akan melakukan segala cara untuk mendapatkan
barang haram.
Penasaran,
Pak Burhan pun segera memeriksa kandang kambing di belakang rumahnya. Ia begitu
kaget. Seekor kambingnya juga hilang.
“Bapak bersyukur, Akri membawa kambing bapak
semalam. Seandainya tidak, pasti hilang kecuri juga. Apalagi pintu kandang
kambing Bapak hanya dililit tali,” tutur salah seorang kepala dusun kepada Pak
Burhan, Pak Timan, yang tiba-tiba muncul di belakangnya.
“Jadi
kambing saya di bawa Akri?” tanyanya penasaran.
“Iya
Pak. Semalam aku berpapasan dengan Akri sepulang mengecek pagar ladang
jagungku. Katanya, kambing itu mau dibawanya ke ladang belakang rumahnya. Di
sana banyak rumput katanya Pak. Dia bilang pagi ini kambing itu akan
dikembalikan ke kandangnya. Memang Akri tak bilang ke Bapak?” tanya balik Pak
Timan, heran.
Pak
Bahrum tersentak. Ia pun menyadari kenapa sedari tadi warga kampung tak
prihatin kambingnya hilang, malah ramai memerhatikan kandang kambing tetangga
sebelah. “Jadi? Ah, syukurlah kalau begitu,” balas Pak Bahrum, tanpa menjawab
tanya.
Beberapa
menit berselang, datanglah Akri bersama seekor kambing peliharaan ayahnya.
“Maaf
Ayah. Semalam, aku membawa kambing ini. Rumput di belakang rumahku
lebat. Kasian kambingnya tambah kurus begini.” Akri mendahului pembicaraan
sesampainya di depan sang Ayah.
“Iya.
Tak mengapa. Pak Timin sudah cerita padaku. Untunglah kau membawanya,” balas
Pak Bahrum sembari tersenyum bangga pada anaknya itu.
Pagi
itu pun berlalu dengan kejutan. Seharusnya dipertanyakan, tapi tidak.
Keesokan
harinya, datanglah hari saat pemilihan kepala desa dilangsungkan. Hasilnya begitu
mengejutkan ayahnya. Akri mengalahkan si calon petahana yang telah menjabat dua
periode. Sebuah kejadian yang tak pernah disangka orang-orang tua kampung.
Apalagi pada pemilihan kepala desa sebelum-sebelumnya, calon lain yang tampak cerdas
dan alim, selalu ditumbangkan sang petahana. Tak ada yang menyangka, penduduk
desa yang terjangkit penyakit sosial akut, bersedia memilih Akri sebagai kepala
desa.
Lama
setelah menjabat sebagai kepala desa, kehidupan kampung ternyata tak menjadi
lebih baik. Aksi pencurian dan mabuk-mabukan pemuda desa, semakin saja menjadi-jadi.
Akri seperti tak punya daya untuk memberantas perilaku menyimpang itu. Kini,
warga desa yang masih waras kembali mengungkit-ungkit tentang kejadian
pencurian kambing tempo hari. Terlebih, beredar kabar jika setelah itu, malam
sebelum pemilihan pemilihan, sebuah pesta diadakan sembunyi-sembunyi di rumah
Akri. Malam itu menjadi sangat indah bagi pemuda desa yang menyukai pesta
terlarang. Pesta yang tentu mereka rindukan hari-hari setelahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar