Selasa, 02 Februari 2016

Dua Kutub Berlawanan


Sulit dimungkiri bahwa seseorang yang tak serupa dengan orang lain kebanyakan, akan dianggap aneh. Agar dianggap normal, harus mengikuti perilaku orang lain tanpa banyak pikir. Situasi itu memaksa diri seseorang untuk turut gila. Mencontoh tanpa akal sehat. Akhirnya, teringat lagi salah satu pertanyaan mendasar, bagaimana jika satu-satunya orang yang dicap gila adalah satu-satunya orang waras? 

Mengimbangi fenomena gila-gilaan, sepertinya serupa cara hidupku. Sudah sejak lama, aku memilih untuk menyibukkan diri dengan rutinitas pekerjaan. Aku sama sekali tak tertarik mengikuti kegandrungan temanku untuk mengoleksi daftar nama orang-orang yang berhasil dipermainkannya, ataukah yang berhasil mempermainkannya. Aku tak peduli tentang kedunguan itu. Kupikir, waktu hidup yang terus bergulir, harus dijalani dengan serius, bukannya dihabiskan untuk saling mempermainkan.

Pilihanku untuk sendiri selama belum waktunya, bukannya tanpa alasan. Bukan didasarkan pertimbangan perasaan belaka. Tentu saja aku punya rasionalitas sendiri. Menimbang-nimbang untung ruginya secara matematis. Tapi meski kusampaikan dengan panjang lebar, orang lain sulit mengerti, ataukah memang tak mau menerima itu sebagai sesuatu yang lebih baik. Aku pun pasrah. Tak kurisaukan jika harus sendiri di jalan aneh ini. Inilah pilihanku. Benar. Kemudaratan atau kemaslahatan, kebaikan atau keburukan, surga atau neraka, semuanya adalah pilihan.

Sekarang, aku bekerja sebagai wartawan. Dengan profesi itu, waktuku banyak habis untuk kesibukan positif, tanpa ada kesempatan untuk mengalihkan perhatianku pada perbuatan sia-sia. Apalagi di kantor, aku menemukan banyak orang yang rela dicap edan sepertiku, yaitu mereka yang benci bersandiwara demi mendapat gelar sang penakluk hati. Tidak hanya lelaki, ada juga perempuan. Salah satunya Lita. Ia kuakui cerdas, tahan banting, dan gesit melakukan peliputan.

“Woi, ayo berangkat. Aksi demonstrasinya sudah berlangsung sekarang,” sergah Lita. Ia masih terlihat mengantuk. Tak ada sedikitpun bahan tata rias menempel di wajahnya. 

Kami ditugaskan untuk meliput aksi unjuk rasa para buruh.

“Kita berboncengan lagi?” tanyaku.

“Ya, bagaimana lagi. Aku kan tak punya motor. Lebih hemat juga,” balasnya dengan mimik pasrah, seperti mengatakan tak ada alternatif lain. “Tapi kamu jangan macam-macam seperti sebelumnya. Jiwaku masih perempuan seperti yang lain.”

Aku tak tega melanjutkan ledekanku. Antusiasnya membuatku turut bersemangat. “Baiklah tuan nyonya,” pungkasku.

Kami pun menempuh perjalanan dengan terik mentari yang membakar kulit. Lebih parah lagi waktu proses peliputan. Di sana sini asap dan debu beterbangan. Tapi itu tak jadi halangan. Aku tak mungkin jatuh wajah di mata Lita. Dia adalah fotografer yang tangguh. Tak sedikit pun ia khawatir kecantikannya sebagai wanita akan buyar ditutupi kotoran yang menumpuk dari udara.

Selepas melakukan peliputan, seperti biasa, aku sering berbaik hati mentraktirnya di sebuah kedai kopi. Ia memang suka meminum kopi. Tapi tentu tak sepekat milikku. Lidahnya seperti masih sesensitif wanita lain. Ia selalu menambahkan banyak gula di kopinya agar tak tersiksa kepahitan.

“Tito, dari dulu kau tak pernah dekat dengan seorang wanita pun? Kau kelainan?” tanyanya tiba-tiba.

“Pernah. Kamu!” jawabku. Mencoba menggodanya sejenak. “Kamu? Ya tidaklah!" sanggahku seketika. "Apa pula kepentinganmu tanya-tanya begitu? Kau pasti heran melihat orang secerdas dan setampan aku tak pernah bergandengan dengan seorang wanita pun. Iya kan?"

“Sok!” timpalnya. “Aku hanya kasihan melihatmu sebatang kara begitu. Aku juga khawatir minatmu kepada perempuan lama-lama lenyap.”

“Terus kamu? Kamu ini perempuan. Kalau lelaki tak melirikmu, mana mungkin kau dapat jodoh. Saranku sih, berhentilah jadi wartawan lapangan. Mending cari pekerjaan lain yang tempatnya di ruang ber-AC. Aku khawatir, nanti, kau tak sadar sudah tua renta dan masih sendiri. Aku sih gampang saja. Kalau sudah siap serius, aku akan berusaha, dan pasti dapat,” balasku, berusaha mempertahankan harga diri.

“Kau meremehkanku?” tanyanya sewot. “Jika aku mau, sudah lama aku menjadi bahan rebutan para lelaki. Sebenarnya aku sengaja saja tak tampil seperti wanita-wanita lain. Aku takut membuat orang-orang buta dan jatuh hati padaku, termasuk kau. Aku yakin, kau tak bisa bekerja profesional dan gagal fokus kalau aku mereparasi penampilanku.”

“Ya, bisa saja,” balasku dengan mimik meledek. “Kau tak usah khawatir memikirkan nasibmu. Jodoh itu seperti dua kutub magnet yang jenisnya berlawanan. Akan saling menarik untuk menyatu jika berada dalam medan magnet masing-masing. Simpelnya, jodoh itu menuntut unsur perbedaan dan kebersamaan. Nah, aku khawatir, karena keseringan bersama, jangan-jangan kita jodoh nantinya. Tapi kurasa tak mungkin sebab jenis kita sama, sama-sama laki-laki.”

Dia sontak terdiam. Memampang mimik datar. Menatap tajam mataku.

Aku tahu, ia tengah pura-pura ngembek, meski itu adalah singgungan berat. “Ok. Tak usah marah nona manis. Aku hanya becanda.” 

Sisi keperempuanannya pun tersanjung. Ia jadi tak kuasa menahan senyumannya.

Hari-hari setelah percakapan kami di kedai kopi, penampilannya sedikit demi sedikit mulai berubah. Ia mulai belajar mengenakan rok dan pakaian tertutup. Ia juga tak pernah lagi meminta tumpangan di motorku. Bahkan, kini tutur katanya tak lagi urakan dan sehemat mungkin. Ia terlihat begitu anggun sekarang. Tapi beruntung, aku masih bisa melihatnya sehari-hari. Ia masih bekerja sekantor denganku, tapi kini berubah profesi menjadi layouter.

Aku tak tahu jelas alasannya berubah. Tapi bisa jadi karena teori magnet yang kuungkapkan di kedai kopi tempo hari. Ia sepertinya berusaha menunjukkan kalau kami memang berbeda. Aku harap, kelak, kami serupa dua kutub magnet berlawanan jenis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar