Sulit
dimungkiri bahwa seseorang yang tak serupa dengan orang lain kebanyakan, akan
dianggap aneh. Agar dianggap normal, harus mengikuti perilaku orang lain tanpa
banyak pikir. Situasi itu memaksa diri seseorang untuk turut gila. Mencontoh
tanpa akal sehat. Akhirnya, teringat lagi salah satu pertanyaan mendasar,
bagaimana jika satu-satunya orang yang dicap gila adalah satu-satunya orang
waras?
Mengimbangi
fenomena gila-gilaan, sepertinya serupa cara hidupku. Sudah sejak lama, aku memilih
untuk menyibukkan diri dengan rutinitas pekerjaan. Aku sama sekali tak tertarik
mengikuti kegandrungan temanku untuk mengoleksi daftar nama orang-orang yang
berhasil dipermainkannya, ataukah yang berhasil mempermainkannya. Aku tak
peduli tentang kedunguan itu. Kupikir, waktu hidup yang terus bergulir, harus
dijalani dengan serius, bukannya dihabiskan untuk saling mempermainkan.
Pilihanku
untuk sendiri selama belum waktunya, bukannya tanpa alasan. Bukan didasarkan
pertimbangan perasaan belaka. Tentu saja aku punya rasionalitas sendiri. Menimbang-nimbang
untung ruginya secara matematis. Tapi meski kusampaikan dengan panjang lebar,
orang lain sulit mengerti, ataukah memang tak mau menerima itu sebagai sesuatu
yang lebih baik. Aku pun pasrah. Tak kurisaukan jika harus sendiri di jalan
aneh ini. Inilah pilihanku. Benar. Kemudaratan atau kemaslahatan, kebaikan atau
keburukan, surga atau neraka, semuanya adalah pilihan.
Sekarang,
aku bekerja sebagai wartawan. Dengan profesi itu, waktuku banyak habis untuk kesibukan
positif, tanpa ada kesempatan untuk mengalihkan perhatianku pada perbuatan sia-sia.
Apalagi di kantor, aku menemukan banyak orang yang rela dicap edan sepertiku, yaitu
mereka yang benci bersandiwara demi mendapat gelar sang penakluk hati. Tidak hanya
lelaki, ada juga perempuan. Salah satunya Lita. Ia kuakui cerdas, tahan
banting, dan gesit melakukan peliputan.
“Woi,
ayo berangkat. Aksi demonstrasinya sudah berlangsung sekarang,” sergah Lita. Ia
masih terlihat mengantuk. Tak ada sedikitpun bahan tata rias menempel di
wajahnya.
Kami
ditugaskan untuk meliput aksi unjuk rasa para buruh.
“Kita
berboncengan lagi?” tanyaku.
“Ya,
bagaimana lagi. Aku kan tak punya motor. Lebih hemat juga,” balasnya dengan
mimik pasrah, seperti mengatakan tak ada alternatif lain. “Tapi kamu jangan
macam-macam seperti sebelumnya. Jiwaku masih perempuan seperti yang lain.”
Aku
tak tega melanjutkan ledekanku. Antusiasnya membuatku turut bersemangat. “Baiklah
tuan nyonya,” pungkasku.
Kami
pun menempuh perjalanan dengan terik mentari yang membakar kulit. Lebih parah lagi
waktu proses peliputan. Di sana sini asap dan debu beterbangan. Tapi itu tak
jadi halangan. Aku tak mungkin jatuh wajah di mata Lita. Dia adalah fotografer
yang tangguh. Tak sedikit pun ia khawatir kecantikannya sebagai wanita akan
buyar ditutupi kotoran yang menumpuk dari udara.
Selepas
melakukan peliputan, seperti biasa, aku sering berbaik hati mentraktirnya di
sebuah kedai kopi. Ia memang suka meminum kopi. Tapi tentu tak sepekat milikku.
Lidahnya seperti masih sesensitif wanita lain. Ia selalu menambahkan banyak
gula di kopinya agar tak tersiksa kepahitan.
“Tito,
dari dulu kau tak pernah dekat dengan seorang wanita pun? Kau kelainan?”
tanyanya tiba-tiba.
“Pernah.
Kamu!” jawabku. Mencoba menggodanya sejenak. “Kamu? Ya tidaklah!" sanggahku seketika. "Apa pula
kepentinganmu tanya-tanya begitu? Kau pasti heran melihat orang secerdas dan setampan
aku tak pernah bergandengan dengan seorang wanita pun. Iya kan?"
“Sok!”
timpalnya. “Aku hanya kasihan melihatmu sebatang kara begitu. Aku juga khawatir
minatmu kepada perempuan lama-lama lenyap.”
“Terus
kamu? Kamu ini perempuan. Kalau lelaki tak melirikmu, mana mungkin kau dapat
jodoh. Saranku sih, berhentilah jadi wartawan lapangan. Mending cari pekerjaan
lain yang tempatnya di ruang ber-AC. Aku khawatir, nanti, kau tak sadar sudah
tua renta dan masih sendiri. Aku sih gampang saja. Kalau sudah siap serius, aku
akan berusaha, dan pasti dapat,” balasku, berusaha mempertahankan harga diri.
“Kau
meremehkanku?” tanyanya sewot. “Jika aku mau, sudah lama aku menjadi bahan
rebutan para lelaki. Sebenarnya aku sengaja saja tak tampil seperti wanita-wanita
lain. Aku takut membuat orang-orang buta dan jatuh hati padaku, termasuk kau.
Aku yakin, kau tak bisa bekerja profesional dan gagal fokus kalau aku
mereparasi penampilanku.”
“Ya,
bisa saja,” balasku dengan mimik meledek. “Kau tak usah khawatir memikirkan
nasibmu. Jodoh itu seperti dua kutub magnet yang jenisnya berlawanan. Akan
saling menarik untuk menyatu jika berada dalam medan magnet masing-masing.
Simpelnya, jodoh itu menuntut unsur perbedaan dan kebersamaan. Nah, aku
khawatir, karena keseringan bersama, jangan-jangan kita jodoh nantinya. Tapi
kurasa tak mungkin sebab jenis kita sama, sama-sama laki-laki.”
Dia
sontak terdiam. Memampang mimik datar. Menatap tajam mataku.
Aku
tahu, ia tengah pura-pura ngembek, meski
itu adalah singgungan berat. “Ok. Tak usah marah nona manis. Aku hanya
becanda.”
Sisi
keperempuanannya pun tersanjung. Ia jadi tak kuasa menahan
senyumannya.
Hari-hari
setelah percakapan kami di kedai kopi, penampilannya sedikit demi sedikit mulai
berubah. Ia mulai belajar mengenakan rok dan pakaian tertutup. Ia juga tak
pernah lagi meminta tumpangan di motorku. Bahkan, kini tutur katanya tak lagi
urakan dan sehemat mungkin. Ia terlihat begitu anggun sekarang. Tapi beruntung,
aku masih bisa melihatnya sehari-hari. Ia masih bekerja sekantor denganku, tapi
kini berubah profesi menjadi layouter.
Aku
tak tahu jelas alasannya berubah. Tapi bisa jadi karena teori magnet yang
kuungkapkan di kedai kopi tempo hari. Ia sepertinya berusaha menunjukkan kalau
kami memang berbeda. Aku harap, kelak, kami serupa dua kutub magnet berlawanan jenis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar