Judul Novel: Rindu; Penulis: Tere
Liye; Penerbit: Republika; Tahun Terbit: 2014; Cetakan: XXIII, November 2015;
Jumlah Halaman: 544.
Tenteramkah
menempuh jalan kebaikan jika masih menaruh dendam? Dapatkah menempuh
jalan dalam kedamaian jika enggan saling memaafkan? Bagaimana memperlakukan
kenangan yang memilukan? Bagaimana menyikapi misteri takdir masa depan? Setidaknya,
beberapa pertanyaan itulah yang akan terjawab setelah membaca novel karya Tere
Liye berjudul Rindu. Novel ini mampu memberikan pencerahan kepada pembaca bahwa
untuk menempuh sebuah perjalanan dengan baik, harus didahului kebaikan dan
kesiapan diri sendiri.
Pokok
cerita penuh makna dalam novel ini, diuraikan Tere dengan alur yang mengalir
dan mudah dipahami, serta dengan latar belakang penceritaan yang unik. Tak
berlebihan jika novel ini dinobatkan sebagai Buku Islam Terbaik, Kategori Fiksi
Dewasa, pada Islamic Book Award 2015. Secara umum, gubahan Tere Liye yang satu
ini bercerita tentang perjalanan yang penuh kerinduan, yaitu perjalanan menuju
tanah suci. Sebuah proses pemaknaan hidup untuk kembali pada diri yang suci dan
merasakan kedamaian.
Novel
ini sarat dengan nilai-nilai sejarah perjuangan. Latar waktu penceritaannya
terjadi pada Desember 1938, saat kolonial Belanda masih berkuasa di Nusantara. Rentang
waktunya antara tanggal 1-31 Desember 1938. Dimulai di Pelabuhan Makassar,
hingga sampapi di Tanah Suci, Mekkah. Sebagai tempat berlabuh terakhir, dari
pelabuhan Makassar itulah, kapal mulai memuat penumpang meniti perjalanan suci.
Tak heran, tokoh cerita yang paling berperan dalam novel ini, sebagai besar berasal
dari Sulawesi Selatan. Selanjutnya, kapal besar itu transit di beberapa pelabuhan
di pesisir pulau Jawa dan Sumatera untuk memuat penumpang calon jemaah haji
lainnya.
Karena
bercerita tentang perjalanan, latar tempat penceritaan dalam novel ini pun, unik.
Dari awal hingga akhir novel, ceritanya hanya berkutat dengan kehidupan dalam
kapal megah pengangkut jemaah haji, milik pemerintah Hindia Belanda. Kapal itu
bernama Blitar Holland. Rutinitas dan harmoni antara penumpang dan para awak
kapal pun dikisahkan, termasuk tentang kisah kenangan masa lalu beberapa
penumpang. Di kapal itulah, sejumlah tokoh cerita mengungkapkan rahasia
kehidupannya pada seorang ulama besar dari Gowa, Gurutta Ahmad Karaeng. Dialah yang memberikan pencerahan kepada
para pemendam rahasia. Memberikan nasihat yang berfaedah agar mereka dapat
berdamai dengan masa lalu.
Rahasia
pun terkuak. Mulai dari Bonda Upe,
seorang mualaf keturuan Cina yang bertindak sebagai guru mengaji di atas kapal.
Di masa lalu, ia adalah seorang “wanita panggilan”; Daeng Andipati, seorang
pengusaha yang menyimpan dendam pada ayahnya sendiri; Mbah Kakung, seorang
Kakek berusia 85 tahun yang begitu mencintai istrinya, Mbak Putri, yang
meninggal saat perjalanan, sehingga ia pun sulit merelakan kepergiannya; dan
Ambo Uleng, seorang pelaut ulung yang sengaja menjadi pekerja di kapal Belanda
itu untuk menjauh dari kampung halamannya, Pare-Pare, yang penuh kenangan pahit
baginya. Lamarannya pada wanita pujaannya, anak seorang juragan kapal pinisi,
ditolak. Si wanita pujaan yang telah ia selamatkan nyawanya pada sebuah
kecelakaan kapal, nyatanya telah dijodohkan.
Rahasia
terpendam terakhir pun terkuak. Ternyata selama ini, Gurutta Ahmad Karaeng juga memendam kerisauan, tentang
keprihatinannya tindak penjajahan yang ia sendiri tak pernah melalukan tindakan
berarti. Selama ini ia hanya melawan dengan lisan dan tulisan. Bahkan di kapal,
ia menghabiskan banyak waktunya dengan berceramah, mambaca, dan menulis. Dari
timdakannya itu, ia pun dijebloskan ke penjara kapal oleh tentara Belanda yang
ditugaskan berjaga di kapal. Alasannya karena ia menulis buku berjudul:
Kemerdekaan adalah Hak Segala Bangsa. Tapi dari upayanya itu, ia masih merasa
ada yang kurang. Akhirnya, sebuah beristiwa membuatnya mengerti, bahwa sebagai
seorang ulama, ia harus memimpin di garis terdepan untuk memberantas kezaliman:
melawan dengan perbuatan. Kesadaran itu didapatkannya dari seseorang yang baru
memulai mempelajari agama, namun sangat pemberani, Ambo Uleng.
Kerisauan
Gurutta Ahmad Karaeng terjawab kala
kapal yang mereka tumpangi dikuasai perompak di tengah laut. Ambo Uleng pun
meyakinkan dan meminta ia yang tenga dipenjara, agar menyampaikan pesan
tertulis yang diedarkan berantai kepada penumpang. Inti pesannya adalah melawan
perompak secara tiba-tiba. Apalagi jumlah perompak sangat sedikit dibanding
jumlah penumpang. Dengan kharismanya, para penumpang akhirnya tergerak dan
berhasil melumpuhkan perompak. Pelajaran berharga akan pentinggnya melawan
dengan perbuatan, terus dibawanya hingga akhir hayat. Pada saat meletusnya
perang dunia kedua, setahun kemudian, ia pun dengan gagah berani memimpin
perlawanan menumpas penjajah di Tanah Bugis.
Di
akhir cerita, kesabaran Ambo Uleng berdasarkan nasihat Gurutta Ahmad Karaeng, ternyata menuai berkah. Tak disangka
olehnya, jodoh wanita yang diidamkannya dahulu adalah dirinya. Orang tuanya
dahulu memang telah memercayakan kepada
Gurutta Ahmad Karaeng untuk mencarikan jodoh bagi anaknya, seorang murid
terbaik sang ulama. Dan ternyata, Ambo Uleng adalah murid yang ditakdirkan terpilih
itu.
Novel
ini sangat sarat dengan nilai-nilai perjuangan. Membaca novel ini akan membuat
kita serasa menyelami kehidupan di zaman penjajahan dahulu, hingga menyadari
pentingnya menghargai jasa pahlawan. Selain itu, novel ini juga berisi
nasihat-nasihat yang penting bagi pembaca, terutama tentang bagaimana menyikapi
masa lalu yang kelam, demi menyongsong kehidupan di masa mendatang.
Hebatnya,
di novel ini, Tere Liye mampu mengkonstruksikan cerita dengan latar waktu dan
tempat yang simpel. Teknik penceritaan itu tentu salah satu keunggulan novel
ini. Meski begitu, latar belakang tempat penceritaan yang hanya berkutat pada
kehidupan kapal, pada setiap sesi penceritaannya yang berjumlah lima puluh satu,
membuat suasana ceritanya terasa monoton. Pada beberapa sesi penceritaan, akan
disuguhkan rutinitas yang berulang, seperti: berlabuhnya kapal di pelabuhan, makan
bersama di kabin, salat dan belajar mengaji di masjid kapal, dan kehidupan
belajar anak-anak kapal. Tapi itu tentu risiko yang harus dihadapi.
Latar
belakang penceritaan itu tentu tak membuat novel ini mejemukan. Tere Liye tetap
mampu memporsir ide dan alur ceritanya secara baik di setiap sesi penceritaan,
dari awal hingga akhir. Selalu ada hal baru yang terkuak seiring penguraian
cerita di setiap sesi. Hal itu membuat ceritanya tetap mengalir dan tidak
membosankan.
Untuk
lebih tahu ceritanya dan menginsafi sendiri maknanya, silahkan baca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar