Selasa, 02 Februari 2016

Perjalanan Menuju Suci

Judul Novel: Rindu; Penulis: Tere Liye; Penerbit: Republika; Tahun Terbit: 2014; Cetakan: XXIII, November 2015; Jumlah Halaman: 544.

Tenteramkah menempuh jalan kebaikan jika masih menaruh dendam? Dapatkah menempuh jalan dalam kedamaian jika enggan saling memaafkan? Bagaimana memperlakukan kenangan yang memilukan? Bagaimana menyikapi misteri takdir masa depan? Setidaknya, beberapa pertanyaan itulah yang akan terjawab setelah membaca novel karya Tere Liye berjudul Rindu. Novel ini mampu memberikan pencerahan kepada pembaca bahwa untuk menempuh sebuah perjalanan dengan baik, harus didahului kebaikan dan kesiapan diri sendiri. 

Pokok cerita penuh makna dalam novel ini, diuraikan Tere dengan alur yang mengalir dan mudah dipahami, serta dengan latar belakang penceritaan yang unik. Tak berlebihan jika novel ini dinobatkan sebagai Buku Islam Terbaik, Kategori Fiksi Dewasa, pada Islamic Book Award 2015. Secara umum, gubahan Tere Liye yang satu ini bercerita tentang perjalanan yang penuh kerinduan, yaitu perjalanan menuju tanah suci. Sebuah proses pemaknaan hidup untuk kembali pada diri yang suci dan merasakan kedamaian

Novel ini sarat dengan nilai-nilai sejarah perjuangan. Latar waktu penceritaannya terjadi pada Desember 1938, saat kolonial Belanda masih berkuasa di Nusantara. Rentang waktunya antara tanggal 1-31 Desember 1938. Dimulai di Pelabuhan Makassar, hingga sampapi di Tanah Suci, Mekkah. Sebagai tempat berlabuh terakhir, dari pelabuhan Makassar itulah, kapal mulai memuat penumpang meniti perjalanan suci. Tak heran, tokoh cerita yang paling berperan dalam novel ini, sebagai besar berasal dari Sulawesi Selatan. Selanjutnya, kapal besar itu transit di beberapa pelabuhan di pesisir pulau Jawa dan Sumatera untuk memuat penumpang calon jemaah haji lainnya.

Karena bercerita tentang perjalanan, latar tempat penceritaan dalam novel ini pun, unik. Dari awal hingga akhir novel, ceritanya hanya berkutat dengan kehidupan dalam kapal megah pengangkut jemaah haji, milik pemerintah Hindia Belanda. Kapal itu bernama Blitar Holland. Rutinitas dan harmoni antara penumpang dan para awak kapal pun dikisahkan, termasuk tentang kisah kenangan masa lalu beberapa penumpang. Di kapal itulah, sejumlah tokoh cerita mengungkapkan rahasia kehidupannya pada seorang ulama besar dari Gowa, Gurutta Ahmad Karaeng. Dialah yang memberikan pencerahan kepada para pemendam rahasia. Memberikan nasihat yang berfaedah agar mereka dapat berdamai dengan masa lalu.

Rahasia pun terkuak. Mulai dari Bonda Upe, seorang mualaf keturuan Cina yang bertindak sebagai guru mengaji di atas kapal. Di masa lalu, ia adalah seorang “wanita panggilan”; Daeng Andipati, seorang pengusaha yang menyimpan dendam pada ayahnya sendiri; Mbah Kakung, seorang Kakek berusia 85 tahun yang begitu mencintai istrinya, Mbak Putri, yang meninggal saat perjalanan, sehingga ia pun sulit merelakan kepergiannya; dan Ambo Uleng, seorang pelaut ulung yang sengaja menjadi pekerja di kapal Belanda itu untuk menjauh dari kampung halamannya, Pare-Pare, yang penuh kenangan pahit baginya. Lamarannya pada wanita pujaannya, anak seorang juragan kapal pinisi, ditolak. Si wanita pujaan yang telah ia selamatkan nyawanya pada sebuah kecelakaan kapal, nyatanya telah dijodohkan. 

Rahasia terpendam terakhir pun terkuak. Ternyata selama ini, Gurutta Ahmad Karaeng juga memendam kerisauan, tentang keprihatinannya tindak penjajahan yang ia sendiri tak pernah melalukan tindakan berarti. Selama ini ia hanya melawan dengan lisan dan tulisan. Bahkan di kapal, ia menghabiskan banyak waktunya dengan berceramah, mambaca, dan menulis. Dari timdakannya itu, ia pun dijebloskan ke penjara kapal oleh tentara Belanda yang ditugaskan berjaga di kapal. Alasannya karena ia menulis buku berjudul: Kemerdekaan adalah Hak Segala Bangsa. Tapi dari upayanya itu, ia masih merasa ada yang kurang. Akhirnya, sebuah beristiwa membuatnya mengerti, bahwa sebagai seorang ulama, ia harus memimpin di garis terdepan untuk memberantas kezaliman: melawan dengan perbuatan. Kesadaran itu didapatkannya dari seseorang yang baru memulai mempelajari agama, namun sangat pemberani, Ambo Uleng. 

Kerisauan Gurutta Ahmad Karaeng terjawab kala kapal yang mereka tumpangi dikuasai perompak di tengah laut. Ambo Uleng pun meyakinkan dan meminta ia yang tenga dipenjara, agar menyampaikan pesan tertulis yang diedarkan berantai kepada penumpang. Inti pesannya adalah melawan perompak secara tiba-tiba. Apalagi jumlah perompak sangat sedikit dibanding jumlah penumpang. Dengan kharismanya, para penumpang akhirnya tergerak dan berhasil melumpuhkan perompak. Pelajaran berharga akan pentinggnya melawan dengan perbuatan, terus dibawanya hingga akhir hayat. Pada saat meletusnya perang dunia kedua, setahun kemudian, ia pun dengan gagah berani memimpin perlawanan menumpas penjajah di Tanah Bugis.

Di akhir cerita, kesabaran Ambo Uleng berdasarkan nasihat Gurutta Ahmad Karaeng, ternyata menuai berkah. Tak disangka olehnya, jodoh wanita yang diidamkannya dahulu adalah dirinya. Orang tuanya dahulu memang telah memercayakan kepada Gurutta Ahmad Karaeng untuk mencarikan jodoh bagi anaknya, seorang murid terbaik sang ulama. Dan ternyata, Ambo Uleng adalah murid yang ditakdirkan terpilih itu.

Novel ini sangat sarat dengan nilai-nilai perjuangan. Membaca novel ini akan membuat kita serasa menyelami kehidupan di zaman penjajahan dahulu, hingga menyadari pentingnya menghargai jasa pahlawan. Selain itu, novel ini juga berisi nasihat-nasihat yang penting bagi pembaca, terutama tentang bagaimana menyikapi masa lalu yang kelam, demi menyongsong kehidupan di masa mendatang. 

Hebatnya, di novel ini, Tere Liye mampu mengkonstruksikan cerita dengan latar waktu dan tempat yang simpel. Teknik penceritaan itu tentu salah satu keunggulan novel ini. Meski begitu, latar belakang tempat penceritaan yang hanya berkutat pada kehidupan kapal, pada setiap sesi penceritaannya yang berjumlah lima puluh satu, membuat suasana ceritanya terasa monoton. Pada beberapa sesi penceritaan, akan disuguhkan rutinitas yang berulang, seperti: berlabuhnya kapal di pelabuhan, makan bersama di kabin, salat dan belajar mengaji di masjid kapal, dan kehidupan belajar anak-anak kapal. Tapi itu tentu risiko yang harus dihadapi.

Latar belakang penceritaan itu tentu tak membuat novel ini mejemukan. Tere Liye tetap mampu memporsir ide dan alur ceritanya secara baik di setiap sesi penceritaan, dari awal hingga akhir. Selalu ada hal baru yang terkuak seiring penguraian cerita di setiap sesi. Hal itu membuat ceritanya tetap mengalir dan tidak membosankan. 

Untuk lebih tahu ceritanya dan menginsafi sendiri maknanya, silahkan baca. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar