Selasa, 04 April 2017

Yang Tak Dianggap

Bimo menghempaskan tubuhnya di sofa sesampainya di rumah. Ia merasa sangat letih dan kelelahan. Banyak urusan kerja yang telah dilaluinya di kantor. Seharian, ia bergelut dengan berkas-berkas yang menumpuk. Seperti hari-hari sebelumnya, waktunya habis untuk duduk mengamati huruf-huruf di kertas dan di layar komputer. Sungguh pekerjaan yang tak menyenangkan.
 
Tak berhenti pada urusan kantor, Bimo juga harus dipusingkan dengan masalah rumah tangga. Tidak bisa tidak, setelah Darlin, istrinya, pergi lebih dari sebulan yang lalu, ia harus merangkap sebagai sosok ibu rumah tangga yang baik. Melayani dirinya sendiri, juga anak semata wayangnya, Linda. Memasak, mencuci, menyapu, adalah sedikit dari pekerjaan rumah yang kini membebaninya.

Tapi sebagai amatiran, Bimo jelas tak cakap menyelesaikan urusan rumah tangganya. Selain karena masalah waktu, sedari dulu, Bimo memang ogah menyentuh pekerjaan rumah yang dianggapnya remeh. Akhirnya, tak banyak urusan rumah yang benar-benar di tanganinya. Masalah makanan, cukup belinya di warung; pakaian kotor diserahkannya pada tukang cuci; kebersihan rumah diabaikannya begitu saja.

Banyaknya urusan rumah yang harus diselesaikan dengan uang, membuat pengeluaran Bimo membengkak. Sebagian gaji dan bonus dari kantor yang sedari dulu disisihkannya  untuk ditabung, kini terkuras sedikit demi sedikit. Kekhawatirannya pun muncul, kalau-kalau tabungannya, tak lagi mencukupi lagi untuk membayar selama macam cicilan, juga kebutuhan sekolah Linda.

Kini, saat Bimo masih menenangkan pikirannya dari beragam urusan yang tak henti membebaninya, Linda, anaknya yang masih duduk di kelas I SD, menghampirinya dengan raut wajah yang memprihatinkan. “Ayah, nanti malam kita makan apa? Ada ayam goreng kan?”

Setelah melihat isi dompetnya, ia pun mengeluarkan balasan yang tentu mengecewakan bagi sang anak, “Uang di dompetku, habis, Nak. Malam ini, kita makan tempe goreng saja ya? Tempe di warung sebelah, rasanya enak kok,” katanya, sambil tersenyum. 

“Pokoknya aku mau ayam goreng!” tegas Linda. Wajahnya lalu berubah murung. Menampakkan ketidaksukaan jika harus melewati malam tanpa ayam goreng. Apalagi dahulu, ibunya yang pandai memasak, senantiasa menyajikan ayam goreng yang lezat.

Bimo berusaha bertahan pada sikapnya. Meski ia peduli pada sang anak, masalah keuangan, jelas tak boleh ia abaikan. Apalagi, setelah istrinya pergi, ayam goreng cita rasa impor nan mahal adalah pilihan satu satunya, demi membuat anaknya tak rewel. “Sekali-kali, bolehlah kita tak makan ayam goreng, Nak.”

“Aku tak mau! Aku mau ayam goreng!” tegas Linda lagi. Wajahnya pun bersungut-sungut. Tampak bahwa tangisnya, sebentar lagi akan pecah. “Kalau Ayah tak mau beli, aku mohon, suruh Ibu cepat pulang.”   

Bimo lalu memeluk dan membelai rambut sang anak. “Kamu sabar ya, Nak. Ibumu akan pulang,” katanya, sambil tersenyum, berusaha memberi kesan kepada sang anak, bahwa keadaan rumah tangganya baik-baik saja. 

Linda tak menggubris lagi.

“Baiklah, nanti malam, aku belikan ayam goreng,” tutur Bimo dengan penuh kepasrahan. Ia jelas tak ingin tingkah ceria anaknya, lenyap. “Kalau begitu, kau pergilah mandi sore. Biar aku ke pasar dulu, beli ayam goreng.”

Perlahan-lahan, Linda pun berlalu. Hanya menunduk, tanpa berkata-kata.

Kini, kala rumah tangganya membebani dengan sejumlah masalah, Bimo pun merasakan, betapa sulitnya mengurus rumah tangga tanpa kehadiran istri. Ia baru sadar, jika sepanjang waktu, sang istri adalah orang yang sangat penting bagi hidupnya. Seseorang pendamping hidup yang tak pernah ia hargai dengan sepantasnya.

Akhirnya, rasa sesal menggerogoti perasaan Bimo. Apalagi kala mengingat kejadian sebulan yang lalu, sebuah percakapan yang berakhir dengan kepergian sang istri tanpa pamit:

“Ibu, makanan kok habis? Ibu tak masak apa-apa?” teriak Bimo di dapur, sepulang dari kantor.
 
Istrinya, Darlin, yang tengah mencuci pakaian, bergegas menghampiri sang suami. “Maafkan aku, Pak. Aku belum sempat memasak. Tadi, aku pergi membantu para ibu-ibu memasak kue, di rumah tetangga, yang anaknya akan menikah dua hari ke depan.”

Dengan penuh ego, emosi Bimo melonjak. “Ibu ini bagaimana sih? Jelas-jelas Ibu tahu aku pulang kantor jam segini, masa tak ada hidangan apa-apa? Kalau masalah waktu, kurasa itu alasan saja. Kalau Ibu tak menghabiskan waktu dengan bergosip tak keruan dengan para ibu-ibu, aku yakin makanan sudah siap,” cerocosnya. “Aku capek, Bu, kerja di kantor. Ibu harusnya mengerti tanggung jawab sebagai istri.”

Emosi Darlin pun, terpancing. Ia merasa tak pantas diremehkan. “Aku juga capek, Pak. Setiap hari aku harus memasak, mencuci, membersihkan rumah. Itu tak mudah, Pak.”

Bimo mengelak. “Alasan! Akulah yang pantas berkata seperti itu. Aku capek-capek cari duit, tapi Ibu malah asyik menghabiskannya, sambil berleha-leha dengan pekerjaan remeh-temeh di rumah.”

Mendengar penuturan suaminya, Darlin benar-benar terpukul. Ia tak menyangka, pekerjaannya di rumah, tak dihargai apa-apa oleh sang suami. Akhirnya, ia pun pergi, pulang ke rumah orang tuanya, dengan rasa kecewa yang mendalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar