Seperti
semester sebelumnya, nilai rapor Ardin masih di bawah rata-rata. Ia tak bisa
diandalkan pada semua mata pelajaran, apalagi yang berhubungan dengan
hitung-hitungan. Ia hanya bisa bersaing pada pelajaran bahasa Indonesia.
Kelihaiannya pun spesifik pada sastra, khususnya dalam menggubah puisi.
Kemampuan itu ia peroleh dari kegemarannya menebar gombalan.
Karena
persoalan rapor, Ardin pun dilanda kegalauan. Tapi akar masalahnya bukan karena
serangkaian nilai memalukan yang ia peroleh. Jauh-jauh sebelumnya, ia tak pernah
malu dicap siswa yang bodoh dan bandel. Bahkan ia malah suka dilebeli demikian,
sebab itulah yang membuatnya tenar selingkungan sekolah.
Kelakutan
Ardin kali ini, tak lain karena ayahnya dilibat-libatkan dalam persoalan rapornya.
Ia diminta mengambil rapor didampingi sang ayah. Wali kelas sepertinya sudah
muak melihat prestasi belajarnya yang terus merosot. Apalagi tak ada
tanda-tanda bahwa ia akan mengubah sikapnya yang gemar keluyuran di tempat
bermain games atau di pusat perbelanjaan,
daripada belajar dengan khidmat di kelas.
Jelas
saja, Ardin menolak keras keputusan wali kelas. Ia pun melakukan lobi-lobi
terbaik agar ayahnya tak dihadirkan di lingkungan sekolah. Bahkan ia berani berjanji
untuk mengubah sikap pada semester depan jika diperbolehkan mengambil rapor tanpa
kehadiran sang ayah. Tapi wali kelas tetap bersikeras. Karena itu, Ardin pun
mengancam tak akan mengambil rapornya.
Setelah
diplomasi buntu dan tak ada kompromi lagi, Ardin lalu beranjak dengan penuh
kelesuan. Menuntun langkah menuju ke tempat perenungannya, di sebuah kafe,
untuk menyusun strategi. Membawa khayalan menakutkan, tentang bagaimana sikap
ayahnya jika tahu tentang kondisinya yang tak keruan di sekolah. Apalagi,
citranya di depan sang ayah selama ini baik-baik saja.
Akal
bulus Ardin akhirnya berbuah hasil. Ia menemukan jalan terbaik agar ayahnya tak
harus menginjakkan kaki di lingkungan sekolah demi rapor. Caranya, ia akan
menghadap langsung bersama ayahnya di rumah sang wali kelas pada malam nanti.
Dengan begitu, teman-temannya, khususnya yang perempuan, tak akan melihat
kebersamaan mereka bedua. Harga dirinya sebagai lelaki “terpandang” di sekolah
pun, tak akan jatuh ke titik nadir dan mengenaskan.
Pikiran
Ardin kini kembali jernih. Tak ada lagi sesuatu yang ia cemaskan. Dan menjelang
sore, setelah bosan di kafe dan seusai mengunjungi beberapa teman segengnya, ia
pun pulang tanpa beban. Hingga akhirnya, semua rencananya, buyar setibanya di
rumah. Rapor miliknya, tampak tergeletak di atas meja, di depan sang ayah.
“Dari
mana saja kamu, Nak?” tanya ayahnya dengan intonasi yang lemah lembut. Seperti
sebelumnya, lelaki tua dan penyakitan itu, memang tak suka membentak.
Ardin
jadi kikuk. Ia jelas bingung menemukan jawaban yang tepat. Apalagi, kondisi itu
tak pernah diperhitungkannya. “Ban motorku bocor di tengah jalan Ayah. Aku
harus mendorongnya beberapa jauh dan menunggu perbaikannya di bengkel,”
tuturnya tanpa hendak menyinggung soal rapor. Setelah itu, ia mengambil
ancang-ancang untuk segera menuju ke dalam kamar, untuk menghindar.
Ayahnya
berdeham. “Sini dulu, Nak. Ada sesuatu yang ingin ayah bicarakan.”
Dengan
langkah hati-hati dan perasaan yang penuh ketegangan, Ardin pun menghampiri ayahnya
yang duduk di sofa. Sambil memampang wajah lugu, ia lalu mengambil posisi duduk
di samping kiri sang ayah. Berhadap-hadapan adalah pilihan terburuk. “Ada apa
Ayah?”
Ayahnya
kemudian mengambil rapor yang tergeletak di meja. Memegangnya dengan kedua
tangan. Dan dengan sikap khidmat, ia memulai nasihatnya. “Begini, Nak. Tadi
wali kelasmu datang kemari. Ia membawakan rapormu. Ia banyak bercerita bahwa
kau tak mengikuti pelajaran dengan baik di kelas.”
Seketika,
kamuflase Ardin, buyar. Ia bak maling yang tertangkap basah tengah melaksanakan
operasi haram. “Maafkan jika nilai raporku sangat buruk, Ayah.”
Dengan
bertumpu pada kedua tangan, ayahnya pun bergeser, mendekat padanya. “Oh, tak
mengapa, Nak. Sekolah memang adalah tempat belajar. Tempat memperbaiki
kesalahan. Salah di sekolah itu wajar, asalkan tetap mau belajar dan mengubah
diri. Yang salah itu kalau tak mau belajar dan suka berbuat kesalahan, menganggap
kesalahan itu sebuah kebanggaan.”
Ardin
takzim. Hanya terdiam merenungi singgungan ayahnya. Rasa-rasanya, sang ayah
tahu betul bagaimana watak kekanak-kanakannya saat ini. “Maafkan aku Ayah,”
ucapnya lagi.
Sang
ayah lalu mengusap punggung Ardin. Seperti memberikan sugesti agar tak
memusingkan segala apa yang telah terjadi. “Tak apa-apa Nak. Aku juga pernah
muda seperti dirimu. Aku paham bagaimana perasaanmu saat ini. Tak usah kecewa
atas nilai rapor yang kau dapat. Nilai yang tertulis juga tak mencerminkan
dirimu yang sesungghnya. Aku tahu kau telah berusaha mendapatkan nilai yang
lebih baik. Tetaplah belajar.”
“Baik
Ayah. Aku janji akan menjadi anak yang lebih baik,” tutur Ardin dengan penuh
kesungguhan.
“Terima
kasih sudah bersedia menjadi kebanggaanku, Nak. Aku yakin kau tak akan
mengecewakan aku di masa mendatang,” tutur ayahnya sambil tersenyum. “Kau tahu,
suatu saat, kau pun akan menjadi sesosok ayah. Dan bagi seorang ayah, anak adalah
segalanya. Apa pun dilakukan demi kebaikan anak. Aku yakin kau tahu itu.”
Ardin
yang tak tahu harus berkata apa lagi, terenyuh. Ia hanya terdiam merenungi
sikap durhakanya selama ini. Besarnya kasih-sayang sang ayah, tak ia balas
dengan bakti yang terpuji. Nasihat ayahnya cuma serupa nyayian tidur yang tak
berlaku di luar rumah. Pengorbanan sang ayah, termasuk membelikanya fasilitas
dari uang santunan perusahaan setelah mengalami kecelakaan kerja, juga tak dihargainya
sepadan. Diam-diam, Ardin telah berkhianat.
“Nak,
kalau kau punya masalah di sekolah, atau masalah apa pun, ceritalah,” pinta
ayahnya.
Ardin
hanya mengangguk takzim.
Setelah
saling mendiamkan beberapa saat, ayahnya pun memecah kekakuan. “Aku ke belakang
dulu ya. Mau memahat lemari pesanan tetangga. Segeralah makan. Setelah itu,
sempatkan untuk membantuku. Kita harus giat bekerja Nak, demi hidup kita dan
masa depan pendidikanmu,” pungkas ayahnya, kemudian beranjak dengan senyuman.
Lagi-lagi,
Ardin hanya mengangguk. Tak kuasa berucap.
Tak
berselang lama, ayahnya pun berlalu dengan bertumpu pada dua tongkat yang
menyangga ketiaknya. Menopang langkahnya di atas kaki kiri. Membawa kaki
kanannya yang puntung setelah mengalami kecelakaan kerja. Sebuah keadaan yang
membuat Ardin tak sudi jika ayahnya menampakkan diri di sekolah. Sungguh.
Atas
semua pengkhianatannya, dan setelah menyaksikan sang ayah berlalu dengan cara yang
tak biasa untuk kesekian kalinya, Ardin pun bergegas menuju ke dalam kamar.
Rencananya mengganti pakaian, dan mungkin juga meratapi dosa-dosanya dengan air
mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar