Ishak
dan Prabu adalah dua orang sahabat baik. Mereka banyak melakukan aktivitas
bersama-sama. Sangat akrab. Padahal, mereka baru berkenalan dua tahun terakhir,
di waktu mereka berstatus sebagai mahasiswa. Persahaban mereka sangat erat, bahkan
sampai ke tataran keluarga. Tak heran jika ayah-ibu Ishak telah menganggap
Prabu sebagai anak sendiri.
Karena
kedekatan mereka merembes ke ranah keluarga, sekat-sekat di antara mereka pun,
hilang. Mereka bisa saling mengunjungi di kediaman masing-masing, tanpa perlu
janjian terlebih dahulu. Entah untuk belajar, menghadiri acara, sekadar bermain,
bahkan saat tak ada keperluan apa-apa.
Keseringan
berkunjung ke rumah Ishak, akhirnya menimbulkan dilema bagi Prabu. Belakangan,
ia baru menyadari bahwa sahabatnya itu memiliki seorang adik yang cantik jelita
bernama Liana. Seiring waktu yang mempertemukan mereka, perasaan Prabu pun
semakin bersemi. Ia jatuh hati. Bahkan ia merasa hampa jika dalam sehari tak melihat
si adik manis itu.
Suasana
dilematis bagi Prabu semakin menjadi-jadi kala ia menerka bahwa perasaannya
pada Liana, berbalas. Pertandanya terbaca dari gerak-gerik dan ekspresi Liana
kala mereka berpapasan. Isyarat itu pun semakin jelas di hari setelah ia
memberikan kado ulang tahun berupa boneka kepada gadis kelas III SMA itu.
Perasaan
Prabu yang berkecamuk dari hari ke hari, memaksanya menahan diri. Mengutarakan
perasaannya itu, tidaklah semudah cinta biasa. Bagaimana pun juga, jatuh hati
pada saudara sahabat sendiri, harus dinyatakan dengan cara yang bermartabat.
Harus ada kesungguhan untuk mewujudkannya secara bertanggung jawab.
Demi
menjaga persahabatannya, Prabu pun mulai mengarang alasan untuk mengurangi
intensitas kunjungannya ke rumah Ishak. Tentu saja, ia tak mengungkapkan alasan
yang sebenarnya. Dan beruntung, Ishak memercayainya. Akhirnya, mereka pun hanya
sesekali saling mengunjungi.
Pada
posisi sebaliknya, bahwa Ishak mengunjungi rumah Prabu, itu juga bukan pilihan
yang mudah. Ishak lebih sering menolak jika Prabu mengajaknya bertamu. Ia banyak
alasan. Dan jika Prabu memaksa, Ishak akan mengungkapkan kalau ia tak enak hati
bertamu, karena Prabu hanya tinggal bersama seorang adik perempuannya, Rosa.
Terlebih lagi, belakangan, Rosa tak menunjukkan sikap yang ramah pada lelaki
yang bertamu, termasuk Ishak. Prabu akhirnya tak bisa mengelak.
Prabu
sendiri masih tak tahu betul apa alasan di balik perubahan sikap adiknya.
Padahal, sedari awal, adiknya itu biasa saja kala temannya berkunjung ke rumah
kontrakan mereka. Tapi sepintas, Prabu menerka-nerka, perubahan adiknya
disebabkan rasa pilu perihal perasaannya pada seorang lelaki yang entah siapa.
Melihat
kondisi adiknya yang sering murung dan menyendiri, yang ia duga karena soal
lelaki, membuat Prabu tak ingin menumbuhkan perasaan pada adik temannya
sendiri, Liana. Itu karena ia tahu bagaimana perasaan seorang perempuan yang telah
dipermainkan oleh seorang lelaki. Itu terjadi pada adiknya sendiri, dan ia tak ingin itu terjadi pada Liana, karenanya.
Di
satu hari, kala Ishak dan Prabu tak ada keinginan untuk saling mengunjungi,
mereka pun memilih kafe sebagai tempat nongkrong. Di sanalah, kedua sahabat itu,
saling mengobrol tentang rasanya jadi kakak dari seorang perempuan yang telah pubertas.
“Akhir-akhir
ini, aku baru merasakan, ternyata tak mudah memiliki seorang adik perempuan.
Jauh dari orang tua, membuatku harus mengurusi adik perempuanku dengan baik,”
keluh Prabu, setelah obrolan mereka yang serius dan panjang perihal perkuliahan.
“Seperti kau tahu sendiri, perempuan lebih rumit dari pada lelaki. Mereka punya
banyak masalah dan sulit keluar dari masalahnya sendiri. Ya, memang harus
pandai-pandai mengurusi mereka.”
Sejenak,
Ishak kaget mendengar sahabatnya membahas soal yang tak lazim. “Entahlah. Aku
tak terlalu mengerti tentang adikku. Bisa jadi, itu karena aku tinggal bersama
ayah-ibuku. Makanya, aku tak perlu pusing mengurusinya” tuturnya
“Tunggu-tunggu
saja. Kurasa adik-adikmu belum pernah menyukai dan disakiti seorang lelaki,”
kata Prabu, kemudian tertawa pendek. “Kurasa, adikku belakangan ini banyak
berubah. Dan kuduga, ia sedang bermasalah dengan seorang lelaki. Jika saja ia mau
jujur memberitahuku siapa lelaki yang telah memperlakukannya dengan buruk, aku
pasti membantunya menyelesaikan masalah.”
Ishak
menarik napas dalam-dalam. Ia pun merasa sepatutnya bertanya. “Memangnya
kenapa? Ada apa dengan adikmu?” uliknya, lalu menyeruput secangkir kopi
pesanannya.
“Kau
saksikan sendiri kan, kalau dia tampak murung dan mudah marah-marah. Dia bahkan
tak suka jika aku membawa teman-teman ke rumahku, termasuk kau juga. Entahlah,
mungkin dia pikir semua lelaki brengsek seperti sosok yang telah menyakitinya. Kau
tahu, ia bahkan mencopot foto-foto kita di dinding rumahku. Kurang enak
dipandang, alasannya. Ya, aku terpaksa mengalah, daripada ia mengamuk,” urai Prabu.
Mendengar
penjelasan Prabu, Ishak pun terdiam dengan rahasianya. Tak ingin menanggapi
secara berlebihan. Pura-pura tak tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi
sampai ia enggan berkunjung ke rumah Prabu, juga tentang perubahan
sikap Rosa. Yang pasti, nomor telepon adik sahabatnya itu, telah terhapus dari
daftar kontak di telepon genggamnya. “Mudah-mudahan perasaan adikmu lekas
normal,” tanggapnya, singkat.
Prabu
mengangguk-angguk. Seperti mengaminkan sebuah doa. “Karena tahu begitu akibat
jika perempuan sakit hati, ya, pilihannya hanya dua: jangan sentuh hatinya,
atau menjadikan ia satu-satunya. Dan karena aku tahu bagaimana hubunganmu
dengan Linda sekarang, kau harus kukuh pada pilihan kedua, kawan. Bukan begitu?”
singgungnya, beserta senyuman yang merekah sempurna.
“Kau
sepertinya sangat paham soal perasaan,” balas Ishak, disusul tawanya yang
pendek. Terkesan meledek.
“Adikmu,
Liana, yang hampir seumuran dengan adikku, apa tak mengalami perubahan sikap
juga?” selidik Prabu.
“Entahlah.
Tapi sepertinya, belakangan ini ia lebih sering
mengurung diri di kamar,” jelas Ishak.
Diam-diam,
Prabu berharap, itu bukan karena dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar