Panji
memiliki status yang dilematis. Ia adalah anak dari pasangan suami-istri, lulusan
sekolah dasar, yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Karena
itulah, Panji dituntut belajar dengan baik hingga jenjang perguruan tinggi, supaya
kelak memiliki kehidupan ekonomi yang mapan. Tapi masalahnya, ia tak menikmati
proses belajar di pendidikan formal.
Dilema
lagi, Panji memiliki adik bernama Juan yang berkarakter beda dengannya. Juan
adalah anak yang tekun belajar, penurut pada titah orang tua, dan rajin bekerja
di kebun. Sedangkan Panji sebaliknya. Ia hanya akan melakukan perbuatan bajik
serupa laku Juan, jika orang tuanya mengiming-imingi dengan sejumlah hadiah
atau mengancamnya dengan sejumlah hukuman.
Karena
beda perilaku, akhirnya Panji dan Juan sering dibanding-bandingkan. Perbandingan
itu melingkupi semua sisi kehidupan mereka. Jelas, perangai Panji dianggap
lebih buruk dari sang adik. Nakal, pembangkang, pemalas, adalah sifat yang
dilekatkan pada Panji. Sedangkan adiknya, dianggap baik, penurut, dan rajin.
Pembanding-bandingan
dua bersaudara itu, akan mencapai puncaknya setiap kali penerimaan rapor sekolah.
Apalagi, dua anak berjarak usia setahun itu, duduk di kelas yang sama, kelas II
SMP, sebab Panji pernah tinggal kelas. Dan mau tak mau, konsekuensi hasil
belajar mereka di kelas, berimbas pada beban kerja mereka di kebun.
Dan
hari ini, kala mereka menerima rapor untuk semester genap, kenyataan itu
kembali berulang. Juan berhasil mendapatkan ranking II, sedangkan Panji nyaris
menduduki peringkat terakhir. Maka sore harinya, Panji pun dijatuhi hukuman
berupa memanen buah kelapa yang sudah matang untuk dijual ke warung-warung.
Jauh-jauh
hari sebelumnya, Panji memang sudah sadar akan mendapatkan pekerjaan berat jika
nilai rapornya buruk. Biasanya ia akan ditugaskan untuk mengupas buah kelapa
kering untuk ditanak. Tapi memanjat kelapa seperti yang sering dilakoni sang
ayah, tak pernah disukainya. Ia hanya melakukannnya sesekali, jika terpaksa.
Pasalnya, ia tak memiliki keberanian yang cukup untuk berapa di ketinggian.
Tapi
hukuman kali ini, tetap harus ditunaikan. Panji terpaksa menerimanya dengan
gusar. Berbekal badik, ia pun beranjak, melaksanakan tugasnya. Namun saat di
kebun, nyalinya malah menciut. Ia pun mengulur-ulur waktu. Duduk sambil
memandangi jajaran pohon kelapa dengan tinggi rata-rata 12 meter. Ia berusaha
memantapkan keberaniannya sendiri.
Tiba-tiba,
keberuntungan datang untuk Panji. Adiknya, Juan, yang terkenal lebih bernyali
darinya, datang menyusul. Padahal, semestinya sang adik bebas dari pekerjaan
hari ini, bahkan berhak atas puji-pujian dan segala macam makanan lezat.
“Kenapa
datang kemari? Mau menontonku?” kesal Panji.
Juan
tetap melangkah, mendekat pada sang kakak. “Tidak. Aku hendak membantu Kakak,”
katanya dengan segan. Ia tahu betul, kakaknya tak bisa diandalkan dalam soal memanjat
kelapa.
“Ya,
sudah. Penjat saja kalau kau mau. Dan catat, jangan bilang kalau aku
menyuruhmu. Kau sendiri yang mau,” ketusnya. Masih dengan wajah sebal.
Juan
memalingkan pandangan dari sang kakak. Takut. “Maafkan aku atas sikap Ayah dan
Ibu, Kak. Aku tak pernah bermaksud membuat Kakak mendapat marah dari mereka,”
tuturnya, seakan hukuman untuk kakaknya adalah kesalahannya sendiri.
Panji
tak menggubris.
Tanpa
berkata-kata lagi, Juan pun mengambil alih tugas kakaknya. Kakinya yang mungil,
cekatan menanjaki batang pohon kelapa. Tak butuh waktu lama, ia akhirnya sampai
di ujung pohon. Dengan sigap dan tenang, ia mulai memotong tandan sekelompok
buah kelapa yang mudanya pas untuk dijual di warung.
Setelah
puluhan buah kelapa jatuh berdebam, Juan pun bergegas turun. Langkahnya cepat,
demi segera bebas dari semut-semut yang terus menyengatnya. Sampai akhirnya, di
pertengahan pohon kelapa, cengkraman tangannya, terlepas. Ia terjatuh. Kakinya
mendarat terlebih dahulu. Dan seketika, ia mengaduh, meringis kesakitan.
Panji
yang sedari tadi hanya memerhatikannya adiknya sekali-kali, dibuat kaget melihat
kejadian di depan matanya sendiri. Dengan perasaan kalut, ia pun menggendong
adiknya pulang. Di tengah perjalanan itulah, rasa bencinya pada sang adik,
berubah menjadi rasa bersalah yang begitu mendalam. Ia tak habis pikir, mengapa
ia tega membenci adiknya, di saat ia seharusnya membenci dirinya sendiri.
Setiba
di rumah, ibunya yang keget setengah mati, menyambut mereka dengan tanya tak
henti. “Adikmu kenapa?”
Panji
tak menggubris dan lekas membawa adiknya ke dalam rumah. Ia lalu membaringkan
sang adik di ruang tamu.
Ibu
mereka yang menyertai, terus saja bertanya dengan penuh kekhawatiran.
“Ibu
tenang saja. Aku tak apa-apa,” tutur Juan. Wajahnya sesekali kisut, menahan
kesakitan.
“Kamu
kenapa, Nak. Apa yang terjadi?” tanya ibunya lagi. Sepertinya, ia mulai curiga,
bagaimana bisa kedua anaknya pulang secara bersamaan.
“Tadi,
aku main di tepi sungi, Bu. Saat aku melihat burung, aku tertarik menangkapnya.
Kukejarlah. Dan tiba-tiba, kakiku tersandung. Aku pun jatuh dan terbentur di
bebatuan,” urainya, kemudian menoleh pada sang kakak, memberi isyarat agar tak
mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. “Tapi beruntung, Kak Panji muncul
dari kebun, dan segera menggendongku pulang.”
Panji
mengangguk-angguk, seakan membenarkan penjelasan adiknya.
Sang
ibu pun melayangkan pandangan kepada kedua anaknya. Mencoba memastikan bahwa
apa yang mereka ungkapkan, adalah kebenaran. Dan, ia pun percaya. “Kau harusnya
hati-hati kalau bermain,” pesannya, sembari menelisik keadaan fisik sang anak.
Panji
dan Juan tak berkata-kata lagi.
“Panji,
cepat ambil obat luka di atas meja,” perintah sang ibu dengan nada suara yang
merendah. Diam-diam, di dalam hatinya, terbersit sebuah kesyukuran atas Panji yang
peduli pada adiknya.
Panji
pun bergegas mengambil obat.
Kali
ini, Panji merasa tenang menyaksikan sang ibu tak nampak marah padanya. Tapi
dalam hatinya, ia memendam rasa bersalah yang begitu besar kepada adiknya. Dan
karena itu, demi waktu, ia pun mengikrarkan janji pada dirinya sendiri untuk berhenti
bertingkah bodoh dan membenci sang adik; sesuatu yang seharusnya ia lakukan
sejak dahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar