Subandi
beruntung terlahir dalam keluarga yang mapan. Ibunya bidan. Ayahnya seorang guru,
tokoh masyarakat, sekaligus pekebun yang memiliki beberapa petak tanah. Soal
keuangan, jelas tak pernah menjadi permasalahan dalam keluarganya. Apalagi, ia
adalah anak tunggal. Karena itu, meski terlahir di daerah yang terbilang
kampung, ia enteng dalam memenuhi segala kebutuhannya, termasuk soal pendidikan.
Setelah
lulus sekolah menengah atas, Subandi berangkat ke kota untuk kuliah. Ia
dinyatakan lulus di fakultas hukum sebuah
perguruan tinggi favorit. Mengalahkan para pesaingnya di jalur seleksi
tertulis. Tentunya, itu adalah kebanggaan tak terkira. Satu keberhasilan yang
hanya jadi mimpi pemuda desa lainnya. Sebuah prestasi yang membuat keluarganya
semakin dielu-elukan sebagai panutan yang baik.
Belum
genap empat tahun, Subandi pun dinyatakan lulus sebagai sarjana dengan predikat
cum laude. Lagi-lagi, itu adalah pencapaian
yang membuatnya, semakin dipuja-puji. Tak pelak, banyak yang menaruh hormat
padanya. Bahkan, banyak warga desa yang mencitrakannya serupa dengan sang ayahnya,
seorang teladan warga desa dalam menjaga nilai-nilai luhur dari gempuran zaman
yang penuh anomali.
Subandi
memang dikenal berbeda dengan pemuda desa lainnya. Ia tak banyak tingkah dan
patuh pada pesan orang tua. Dahulu, kala teman sebayanya gemar mempertontonkan
kenakalan, ia sama sekali tak tertarik untuk melakukan kesia-siaan yang sama.
Entah itu berhubungan dengan barang berbahaya, gaya hidup hedonis, ataukah soal
perempuan. Karena itulah, ia punya jalan hidup yang berbeda pula. Dan terbukti,
Subandi telah sarjana kala teman sebayanya di kampung hidup dalam
ketidakpastian.
Yang
lebih membanggakan lagi, selepas sarjana, Subandi tak pulang seorang diri.
Bersamanya, ikut serta seorang wanita berparas menawan, khas gadis kota yang stylish. Kepada orang tuanya, ia pun
menyampaikan keinginan agar segera dinikahkan dengan gadis pujaannya itu. Tentu
saja orang tuanya merestui, demi menjaga nama baik keluarga dari gosip-gosip
miring. Terlebih lagi, mempersunting perempuan kota, juga sebuah keberuntungan
yang patut dibanggakan di mata warga kampung.
Waktu
cepat bergulir. Dua tahun setelah menikah, Subandi tak juga dikaruniai anak.
Orang tuanya pun terkesan sudah tak sabaran untuk menimang cucu. Atas semua itu,
Subandi pun menyampaikan kesepakatannya dengan sang istri untuk mengadopsi
seorang anak laki-laki, penghuni sebuah panti asuhan. Posisinya di kota, tak
jauh dari kampusnya dahulu.
“Bagaimana
pendapat Ibu?” tanya Subandi, setelah bercerita panjang lebar tentang
rencananya itu.
Ibunya
tersenyum sepintas. “Tak usah dipaksakan, Nak. Aku dan ayahmu, memang ingin
segera menimang cucu. Tapi mengadopsi anak sepertinya bukan keputusan yang
tepat.”
“Tapi
Ibu pasti tak menolak jika melihat paras anak itu. Sangat tampan. Aku telah
melihatnya beberapa kali, saat mengunjungi panti untuk mengantar sumbangan dari
mahasiswa dahulu. Kini, umurnya kira-kira beranjak tiga tahun,” tawar Subandi. Namun
ia kemudian sadar kalau apa yang
diungkapkannya, bukanlah alasan jitu. Ia lalu menuturkan argumentasi baru, “Lagi
pula, mengadopsi seorang anak di usia balita, saya kira aman. Secara emosional,
ia akan terikat dengan kita. Jadi seperti anak sendiri.”
“Aku
tahu, Nak. Tapi itu kan tetap beresiko. Bagaimana pun juga, saat dewasa, anak
perlu tahu tentang identitas dirinya yang sejati. Bagaimana jika ia bersikeras
menemukan orang tuanya? Bagaimana jika akhirnya dia menyesal jadi anak adopsi, lalu
ia menemukan dan memilih tinggal bersama orang tua kandungnya?” tangkis sang
ibu.
Ayahnya
yang duduk di lingkaran sofa yang sama, turut dalam percakapan, “Tak usah gegabah
begitu. Usia kalian masih muda. Di dunia ini, bahkan ada yang harus menunggu
puluan tahun untuk dikaruniai seorang anak. Kalian bersabar saja dulu. Kalau
memang ada rezeki, dua atau tiga tahun ke depan, kalian pasti dikarunia
momongan,” kata ayahnya. “Apalagi, mengadopsi anak juga memiliki dampak ke
depan. Pasti sulit memperlakukan anak adopsi dan anak kandung secara adil. Mana lagi
dalam soal warisan, itu pasti lebih ruwet.”
“Aku
sanggup bertanggung jawab secara adil padanya, Ayah. Entah anak kandung atau
anak angkat, aku akan memperlakukannya secara baik. Itu tak perlu menjadi
kekhawatiran Ayah dan Ibu. Apalagi, penghasilanku, ditambah penghasilan
istriku, pasti cukup untuk menjamin kesejahteraan anak-anak kelak,” tegas
Subandi. Kali ini, ia tampak semakin berkeras dengan keinginannya. “Yang lebih
penting dari semua itu, menyayangi anak yatim-piatu adalah perbuatan yang
mulia. Ayah-ibu selalu mengajariku tentang itu dahulu."
Ayah-ibunya
pun tampak meluluh mendengar penegasan terakhir Subandi. Dan akhirnya, orang
tuanya pun mengalah. Ia berhasil mendapatkan restu untuk mengadopsi seorang anak
panti yang ia tahu betul asal-usulnya. Seorang anak yang akan berstatus anak
angkat di hadapan ayah-ibu kandungnya sendiri. Seorang anak yang lahir dengan
menentang nilai-nilai kepatutan. Seorang anak yang identitasnya harus
dikaburkan demi menjaga nama baik satu keluarga besar.
Subandi
tersenyum lebar. “Oh ya, Nama anak itu Risto Pradika. Aku yang memberikannya
nama saat berkunjung ke panti dahulu,” katanya.
Ibunya
semringah. “Nama yang bagus.”
Ayahnya
menimpali, “Ya, kedengarannya bagus.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar