Sesuatu
yang belum terjelaskan, selalu memancing rasa penasaran. Di dalamnya, ada
serangkaian misteri yang selalu menggugah tanya. Seperti juga dia, Tika, gadis
penyendiri yang belum lama kuperhatikan. Karena sosoknya misterius dan pendiam,
sampai tak banyak informasi yang menyebar tentangnya, aku pun jadi penasaran
sendiri.
Aku
dan dia, tak punya hubungan apa-apa. Sekadar teman saja, tidak. Aku hanya tahu
kalau dia adalah siswi pindahan, tetangga kelasku sendiri. Bahkan, tak sekali
pun kami mengobrol. Komunikasi kami sebatas simbolik dan penuh teka-teki. Hanya
sesekali berpapasan, saling memampang wajah polos, atau saling melempar senyuman
singkat. Tak lebih dari itu.
Sampai
akhirnya, rasa penasaranku semakin meninggi. Menyeretku dalam perasaan yang
serba dilematis. Perasaan yang membuatku merindukannya setiap waktu, padahal tak
ada janji untuk bertemu. Ingin lebih dekat dengannya, sedangkan bertegur-sapa
saja aku tak kuasa. Tepatnya, aku tak bernyali. Terlebih, aku tak punya
hubungan apa-apa dengannya untuk jadi modus pendekatan.
Hidup
sebagai pemendam, akhirnya membuatku tersiksa sendiri. Rasa penasaranku yang membuncah,
berubah jadi serupa hantu yang menakutkan. Ingin menyerah tapi takut menyesal,
ingin mencoba tapi tak tahu caranya. Maka untuk mengurangi beban hidup,
kuungkapkanlah perasaanku pada Jido, teman dekatku yang sikapnya tak jauh beda
denganku dalam soal lawan jenis: sama-sama tak punya nyali.
“Kau
tahu si Tika, siswi pindahan di samping kelas kita?” tanyaku pada Jido, di
sela-sela kami mempreteli motor bututnya.
Sambil
memasang baut, Jido menanggapinya santai saja, “Ya, kenallah. Memangnya
kenapa?”
“Aku
tertarik padanya,” kataku lugas, penuh percaya diri. “Sepertinya, dia juga
tertarik padaku.”
Dia
mendecak-decakan lidahnya. Terkesan seperti meledek. “Dasar lelaki rapuh.
Sudahlah, tak usah berkhayal terus. Kau tak akan bisa mendapatkannya.
Dekat-dekat perempuan saja kau gemetaran.”
“Kau
meremehkanku?” Aku jelas tak terima diolok-olok lelaki pengecut sepertinya. “Baiklah,
kali ini, aku akan bersungguh-sungguh. Kalau perlu, kita taruhan saja, di
antara kita, siapa yang berhasil meluluhkan hatinya. Sudah waktunya kita tampil
sebagai lelaki normal.”
Lekas,
ia meletakkan obeng, lalu menatapku tajam. “Baiklah. Asalkan kau tak menyesal
saja.”
“Baiklah!”
tegasku.
Ujung-ujungnya,
perkataanku seakan jadi bumerang. Seiring waktu, kulihat Jido benar-benar
berhasrat mengalahkanku. Dalam rentang seminggu, beberapa kali aku melihatnya dekat
dan mengobrol dengan si gadis penyendiri, Tika. Bahkan tak hanya sekali aku melihat
mereka pulang berboncengan. Sungguh menyesakkan melihat kenyataan itu.
Aku
pun kambali menyalahkan diriku sendiri. Menyesal karena telat melakukan pendekatan
padanya. Menyesal juga karena telah menjadikannya bahan pertaruhan. Hingga
akhirnya, aku harus menerima kenyataan pahit bahwa hatinya telah terpaut pada
lelaki lain, pada temanku sendiri. Aku pun tak patut merecoki hubungan mereka,
jika tak ingin kehilangan teman baik sekaligus.
Suatu
hari, kala aku menelepon Jido untuk mempertanyakan perihal tugas pelajaran dan
rencanaku meminjam bukunya, kutanyakan pula soal perkembangan hubungan mereka.
“Kau
dan dia terlihat semakin dekat. Bagaimana status hubungan kalian sekarang,” tanyaku,
agak segan karena sadar telah berada pada posisi yang kalah.
“Kukira
kau bisa menyaksikannya sendiri,” balasnya, enteng.
Aku
merasa dipojokkan, tapi aku tak punya alasan untuk menyanggah. “Tapi kau
mendekatinya bukan karena pertaruhan kita kan? Maksudku, apa kau benar-benar
punya perasaan padanya, ataukah sekadar ingin membuktikan kalau kau lebih hebat
dariku?”
“Ah,
kau bertanya terus. Kalau alasannya, terserah aku. Bisa dua-duanya, bisa juga
salah satunya. Sudah, kau terima saja kekalahanmu dan jangan coba-coba dekati
dia lagi,” tegasnya.
“Baiklah,
kawan. Kau memang hebat!” Aku tak tahu bagaimana meneruskan obrolan. Maka
setelah berbasa basi sejenak, aku pun mengakhiri pembicaraan.
Sepintas,
yang kutakutkan dari kisah kami bertiga adalah ketika Jido menaklukkan Tika
hanya karena pertaruhan. Sekadar membuktikan bahwa ia lebih hebat dariku. Jika
benar begitu, maka aku tinggal menunggu waktunya kala hubungan mereka berakhir
dengan benci, sebab di antara dua hati yang pernah terikat, tak akan ada
kerelaan yang sama untuk saling melepas.
Yang
pasti, jika mereka berpisah, Tika-lah yang akan berat melepaskan. Dan keadaan
dilematis akan menimpaku, sebab aku harus memilih di antara dua posisi: menjadi
penghapus luka hati bagi Tika dan turut membenci Jido yang telah melukai
perasaannya, yang berarti aku harus mengakhiri pertemananku dengan Jido;
ataukah, aku dengan setengah mati harus meredam perasaan terpendemku pada Tika,
sebab ia telah terkurung dalam kenangan bersama lelaki lain, yang berarti
pertemananku dengan Jido tetap bertahan.
Di
luar semua kemungkinan tentang sebab dan akhir hubungan mereka, sejujurnya, aku
bisa saja menerima kekalahanku pada Jido. Setidaknya, gadis dambaanku itu,
jatuh pada orang yang kutahu betul tak punya reputasi buruk dalam memperlakukan
seorang perempuan, seiring dengan kenyataan bahwa dia memang tak pernah dekat
secara keterlaluan dengan lawan jenis. Namun, kenyataan bahwa ia mengalahkanku, juga
berarti akulah lelaki paling tak bernyali di antara lelaki yang tak bernyali,
sungguh menyesakkan. Aku mengutuk diriku sendiri, bukan mereka.
Hari
pun berganti. Kala aku tengah berjalan di koridor sekolah sembari membayangkan
nasibku sendiri, tanpa ada sebab apa-apa, Tika menghampiriku dengan senyuman
yang menawan.
“Hai,
Bimo, ini buku milik Jido yang ingin kau pinjam. Dia memintaku untuk
memberikannya padamu.” tuturnya dengan ekspresi dan cara bertutur yang unik dan
mengesankan. Matanya berbinar. Senyumnya merekah sempurna. Aku benar-benar
terpikat. “Dia sedang sakit, jadi tak bisa memberikannya secara langsung padamu.”
Aku
hanya tersenyum, lalu terdiam dengan sejuta bahasa hati yang tak kuasa kuucapkan.
“Aku
pamit, ya?” katanya.
Aku
benar-benar terpesona, sampai lupa harus membalasnya, atau bertanya tentang
keadaan Jido. “Ya, terima kasih,” tuturku, saat ia telah berpaling dan
melangkah pergi.
Setelah
perasaanku rusuh hanya dalam hitungan detik, emosiku pun berangsur stabil. Aku
pun sadar, membesuk Jido adalah prioritasku. Aku harus menerima kenyataan kalau
harapanku pada Tika, terlarang sudah. Yang bisa kulakukan adalah mempertahankan
hubungan persahabatanku dengan Jido. Bahkan, aku harus mulai berlatih untuk
mendukung hubungan mereka menuju jenjang yang lebih serius.
Bersama
dengan rasa kecewa dan luka yang masih terus kuredam, aku pun mengunjungi Jido
di rumahnya. Itu adalah langkah untuk membiasakan diri dengan kenyataan, dan
menunjukkan pada Jido kalau aku tak sedikitpun menyimpan kegalauan. Tapi
sesampainya di sana, kekalutanku kembali menyeruak. Aku jadi kikuk. Bagaimana
tidak, kudapati Tika di samping Jido yang tengah terserang demam berat. Bahkan,
ibu Tika pun hadir.
Setelah
mengobrol beberapa saat, Tika dan ibunya pun pergi meninggalkan kami berdua.
Tak lama setelah itu, aku mempertanyakan lagi soal hubungan mereka, tentu
setelah berbasa-basi beberapa lama. Aku jelas tak bisa menahan diri.
“Apa
hubungan kalian sudah sejauh ini? tanyaku.
Jido
tersenyum lebar, kemudian tertawa pendek. “Kau sepertinya belum ikhlas menerima
kekalahanmu kawan,” balasnya, tanpa benar-benar menjawab.
Aku
turut tertawa. Berusaha menutupi rasa canggung atas kekalahanku yang masih
membekas. “Jangan salah paham begitu. Maksudku, baik. Aku turut merasa bahagia
jika hubungan kalian ada jalan menuju ke jenjang yang lebih serius.”
Jido
berusaha menyudutkanku, “Akui saja kawan!”
Tiba-tiba,
Tika dan ibunya, datang menghampiri Jido.
“Aku
pulang dulu, Nak. Aku harus bersiap-siap mengunjungi kakek-nenekmu sore ini,
bersama ibumu. Jangan lupa makan buah-buahan yang tante bawakan, ya,” kata ibu
Tika yang tak kutahu namanya.
“Aku
balik, ya, Cepat sembuh,” tutur Tika.
Jido
tersenyum, “Hati-hati di jalan.”
Dan
setelah mereka pergi, keanehan tentang hubungan mereka pun menyeruak di
kepalaku. Segera saja kupertanyakan padanya, “Tadi kudengar kata, ‘Nak, kakek, nenek,
tente”, maksudnya apa?”
Lagi-lagi,
Jido tertawa. Kali ini, terbahak-bahak. Ia terlihat senang sekali. “Harusnya
aku mengatakan tentang itu padamu sedari awal, kawan. Tapi salahmu juga terlalu
mudah percaya dan tak menanyaiku. Sejujurnya, kami itu sepupuan.”
Aku
pun tertawa. Menyembunyikan rasa maluku yang tak terkira. “Candamu
keterlaluan, Jid!” kataku, sambil berpikir untuk semakin mengeratkan hubungan
persahabatanku dengannya. Bahkan jika ada kemungkinan, aku ingin lebih dekat
dengan keluarga besarnya, termasuk bibinya, ibu Tika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar