Sepanjang
lima tahun lalu, kutinggal pergi kampung halamanku, beserta semua orang yang
kukenal sejak lahir. Aku menetap di kota demi menyelesaikan masa kuliah di
jurusan keguruan. Dengan sabar, aku menjalani pola hidup yang jauh berbeda. Tapi
satu hal yang tetap kupegang erat, bahwa aku tetaplah pemuda desa dengan seperangkat
prinsip hidup.
Kadang,
kekhawatiran juga menyerangku. Sudah jadi rahasia umum, kalau pergaulan di
kota, penuh dengan godaan. Aku takut terbuai dan terseret arus kehidupan yang
kebablasan itu. Apalagi, jauh dari orang tua, memberiku peluang untuk berbuat
apa saja yang kumau. Tapi beruntunglah, aku berhasil pulang, masih dengan
pribadi yang sama.
Sikapku
pada lawan jenis pun, tak berubah. Dugaan orang-orang bahwa kehidupan kota akan
menggodaku untuk membuang waktu secara tak berguna dengan sejumlah perempuan,
juga berhasil kutepis. Aku masih seperti yang dulu, lelaki yang dicap cupu dan
mematematikakan perasaan. Seseorang yang memilih fokus mewujudkan cita-cita,
sampai tak ada waktu menyesatkan diri dalam istilah cinta.
Lima
tahun kepergianku, bukanlah waktu yang singkat. Peluangku besar untuk mencatat
nama berberapa wanita di daftar kenanganku. Membanggakan, lalu
menyombongkannya. Tapi aku memilih jalan lain. Aku lebih suka mengisi memoriku dengan
bacaan-bacaan dan meteri kuliah. Sampai akhirnya, aku menyelesaikan masa studiku,
tanpa ada cerita tentang perempuan.
Kesendirianku
sepanjang waktu berlalu adalah kesengajaan. Itu adalah aksi senyapku menuju
perjumpaan yang pasti. Aku selalu yakin, ada seseorang yang melakukan hal yang
sama untukku: menunggu. Entahlah, aku tak tahu siapa dan di dibelahan dunia
mana ia berada. Aku hanya meyakininya, bahwa setiap orang mendapatkan balasan
yang adil untuk perjuangannya.
Sepanjang
penantian pula, aku sering mengkhayalkan menjadi diri seseorang yang menunggu
untukku. Aku merasa-rasa, betapa beratnya ia menanti, selama aku mencari.
Kuyakini, sunggguh, kami merindu, tanpa pernah saling mengenal. Jelas, aku tak ingin
menghianatinya diam-diam. Aku rela berkorban untuknya, sebesar ia memberi
pengorbanan untukku, demi kebersamaan kami.
Sekali-kali,
kala aku sadar bahwa waktu telah banyak membawa perubahan, ketakutan pun
menghantuiku. Takut jika takdirku diubah karena sikapku yang lebih suka
berkhayal tentang perjumpaan terindah, tapi tak ada aksi nyata untuk
menyegerakannya. Bagaimana pun juga, dia yang entah siapa, adalah perempuan
yang sabar menanti pertanyaan, dan aku adalah lelaki yang harusnya bernyali.
Maka,
berselang tiga bulan sepulangku dari kota, aku pun memberanikan diri
memperjelas takdirku, di antara banyak kemungkinan ke mana arah hatiku
berlabuh. Aku meminang seorang perempuan desa, dan kami pun menikah. Dia adalah
tetanggaku sendiri, seseorang yang tak pernah kurencanakan untuk menjadi
tambatan hatiku.
Begitulah
akhirnya. Semua serba tak terduga. Entah bagaimana bisa, di perjumpaan kami
sepulang aku dari kota, aku merasa telah lama merindukannya. Ketakutanku pun
memuncak kalau-kalau hatinya direnggut sosok yang lain sebab aku
menggantungkannya lebih lama lagi.
Dan
akhirnya, dia adalah wanitaku, sosok tercantik yang sepanjang waktu telah
kuperjuangkan.
“Apa
Kakak tak pernah dekat lebih dari teman dengan seorang wanita pun?” Ia bertanya
dengan nada manja, saat kami tengah bersantai sambil menonton acara talkshow kesukaannya di layar televisi.
Aku
sedikit kaget mendengar pertanyaannya. “Tak pernah. Memangnya kenapa?”
Dia
merebahkan kepalanya di bahuku. “Tak apa-apa. Aku hanya penasaran saja kenapa
Kakak tak pernah melakukannya,” katanya, tanpa ada kesan menelisik.
Secara
tersirat, aku memaknai jawabannya sebagai sebuah pertanyaan. “Alasannya? Itu
karena aku hanya ingin memiliki kenangan bersamamu,” jelasku, sembari
merangkulnya erat-erat. “Kurasa, aku berlaku tak adil jika menduakanmu dalam
kenangan.”
Dia
terdiam beberapa saat, kemudian mengutarakan sesuatu yang tak kuduga, “Tapi aku
punya kenangan dengan lelaki lain di masa lalu.” Ia lalu menengadah, menatapku
tajam. “Kakak tak merasa sikapku itu tak adil kan?”
Perasaanku
tiba-tiba berkecamuk. Kulepaskan rangkulanku padanya. Aku hendak marah, tapi tak
siap melakukannya tiba-tiba. Bagaimana pun juga, kami baru saja menikah. Menghancurkan
angan-angan indahku bersamanya di awal waktu pernikahan adalah sebuah ironi,
sebab cintaku tengah mekar-mekarnya. “Siapa lelaki yang kau maksud?” tanyaku,
sedikit tegas, sambil memandangi bola matanya dalam-dalam.
Dia
malah tertawa. Seakan tema perbincangan yang sensitif dan bukan pada waktu dan
tempatnya itu, patut dianggap lelucon. “Cemburu, ya?” ledeknya, sambil
menunjuk-nunjuk wajahku dengan kedua jari telunjuknya. “Masa Kakak tak tahu?
Kalau akhirnya aku menikah dengan Kakak, bukan dengan lelaki lain, masa tak
tahu?”
Lama-lama,
aku pun jadi kikuk. “Jadi lelaki yang kau maksud itu, aku?”
Diam
tersenyum simpul. Terlihat sangat senang mengerjaiku. “Aku yakin, Kakak akan
datang selama aku menunggu.”
Seketika,
aku merasa jadi lelaki paling beruntung di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar