Usia
Budiman terbilang muda saat menikah, baru 21 tahun. Tapi itu bukanlah sebuah keanehan.
Di kampungnya, malah ada beberapa lelaki yang menikah di usia belasan tahun.
Yang aneh dari pernikahannya itu adalah tentang pasangannya. Dari banyak gadis jelita
yang ia kenal, entah mengapa, cintanya malah tertambat pada seorang janda
beranak satu yang usianya lebih tua tujuh tahun, Martina.
Jelas
tak ada yang menduga Budiman akan mengorbanankan ketampanan dan kemapanannya
pada seorang janda bertampang pas-pasan. Karena itu, sebelum menikah, ayahnya turut
memperingatkan agar ia berpikir ulang. Ayahnya takut jika cintanya kepada sang
istri hanyalah buaian sesaat dan akan luntur seiring waktu. Apalagi sudah jadi
anggapan umum kalau perempuan lekas tua dibanding laki-laki.
Apa pun
kata orang-orang, Budiman masih saja tak peduli. Ia tetap kukuh menikahi
Martina. Hatinya telah terpaut, sebagaimana pepatah bahwa cinta itu buta. Tiap
kali ada orang mempertanyakan tentang keputusannya, maka cintalah yang selalu
menjadi alat penangkisnya, tanpa penjelasan lebih lanjut. Ia selalu berucap
bahwa cinta tak memandang apa pun. Cinta tak butuh alasan, katanya.
Tiga
tahun berlalu di awal pernikahannya, semua berjalan seperti seharusnya. Budiman
jadi suami yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga dengan bekerja
sebagai karyawan perusahaan. Di sisi lain, istrinya mengurus rumah tangga dan
anak dengan telaten. Sehari-hari, mereka larut dalam rutinitas seperti itu, sampai
lupa menghibur diri dan bermanja-manjaan.
Sampai
akhirnya, di pertengahan tahun ke empat pernikahan mereka, terjadilah peristiwa
yang lebih mengejutkan daripada keputusan menikah dahulu. Tanpa sebab yang
jelas, istrinya pulang kampung, ke rumah orang tuanya, tanpa pamit. Pergi
hingga lebih sebulan. Bagi warga desa, itu adalah pertanda kerelaan untuk
bercerai. Maka, muncullah desas-desus kalau keluarga mereka mulai tak harmonis.
Setelah
kepergian istrinya, kesepian pun melanda Budiman. Tapi beruntung, di rumah, ia
masih punya seorang teman mengobrol. Ada Masdi, ayahnya yang sudah tua renta, seorang
pensiunan guru. Umurnya sekitar 62 tahun. Uniknya, lelaki berusia lanjut itu memiliki
jalan jodoh yang berbeda dengan Budiman. Ia terlambat menikah, hingga lambat
pula dikaruniai anak. Saat menikah, istrinya yang cantik-jelita berusia 19
tahun, sedangkan ia telah berusia 37 tahun.
Sikap
Budiman yang terus berubah setelah kepergian sang istri, lambat-laun membuat
ayahnya curiga. Saat mereka tengah sarapan pagi dengan hidangan seadanya,
ayahnya pun mulai mempertanyakan tentang keadaan keluarga kecilnya. “Sudah
hampir sebulan istrimu tak pulang. Kalian ada masalah?” tanyanya, sambil
sesekali menyeruput secangkir kopi hitam.
Budiman
tersentak mendengar pertanyaan itu. Apalagi, selama mereka hidup serumah, tak
pernah sekalipun ayahnya mempertanyakan persoalan asmaranya semasih muda,
maupun persoalan rumah tangganya setelah menikah. “Tak ada apa-apa.”
“Syukurlah
kalau begitu,” ujar ayahnya. “Tapi belakangan, gosip-gosip tetangga semakin
kurang enak didengar. Ada baiknya kau sampaikan pada istrimu untuk segera
pulang. Itu demi menjaga nama baik rumah tanggamu di mata orang lain.”
Seketika,
raut wajah Budiman berubah jadi masam. Ia lalu meletakkan secangkir kopinya di atas
meja. Terdengar kasar. Sepertinya ia tak suka komentar dan nasihat ayahnya
tentang keluarga kecilnya. “Keluarga kecilku baik-baik saja, Pak. Aku bisa
menjaga keluargaku dengan segera kekurangan yang ada. Aku tahu bagaimana jadi
suami yang baik. Mungkin Martina hanya butuh waktu lebih lama dengan orang
tuanya.”
Ayahnya
berdeham. “Aku tahu kau paham bagaimana tanggung jawab sebagai suami. Aku hanya
mengingatkanmu, Nak.”
“Mengingatkan?”
sergah Budiman. Nada suaranya meninggi. “Aku tak pernah lupa, Pak. Tak usah
ingatkan aku. Ingat-ingat saja kegagalan Bapak menjaga rumah tangga, hingga
akhirnya Ibu pergi.”
Untuk
kesekian kalinya, Budiman menyalahkan ayahnya. Ia memang ditinggal pergi ibunya
saat masih berusia 3 tahun. Karena itu, ia tak ingat betul bagaimana rupa sang
ibu. Yang ia tahu, ibunya adalah wanita muda yang cantik, sebagaimana tampak di
foto-foto dan terbayang dari cerita-cerita ayahnya sejak dulu.
“Aku
mengaku gagal, Nak. Tapi kan sudah kuceritakan padamu sebab-musababnya sampai Ibumu
pergi,” tutur ayahnya. “Aku tak pernah menginginkan itu, Nak.”
Budiman
terdiam. Tak membalas. Ia sedikit menyesal telah menyalahkan ayahnya untuk ke
sekian kalinya. Apalagi, jauh-jauh hari sebelumnya, ia telah mendapatkan
penjelasan dari sang ayah tentang sebab hingga ibunya pergi: cinta ibunya tak
lagi bermekaran seiring penuaan ayahnya, kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan,
juga sang ibu yang terlalu penuntut demi gaya hidup kekinian.
Atas
kisah rumah tangga ayahnya itulah, Budiman menikah dengan Martina, seorang
wanita yang sederhana. Ia ingin menghindari nasib buruk serupa ayahnya:
ditinggal pergi sang istri. Ia tak ingin rupa-wajah memalingkan cinta istrinya
pada yang lain. Ia tak ingin masalah penghidupan melunturkan harmoni keluarga.
Tapi kini, semua itu hanya keinginannya. Istrinya telah pergi dan entah kapan
kembali.
“Kau
harus tahu, Nak, pelajaran pertama bagi seorang yang telah menikah adalah
saling menerima satu sama lain. Mencintai kelebihan dan kekurangan pasangan.
Jangan ada yang merasa lebih berharga di antara yang lain. Dua-duannya harus
saling menghargai,” kata ayahnya lagi.
Budiman
bergeming. Tapi diam-diam, ia meresapi juga nasihat ayahnya. Selama ini, ia
memang sering menempatkan dirinya lebih berharga dibanding sang istri. Di
pikirnya, sebagaimana penilaian orang lain, istrinyalah yang beruntung
bersuamikan dirinya, sedangkan ia patut merasa biasa saja beristrikan Martina.
“Bagi
yang telah menikah, anggaplah setiap hari adalah hari pertama pernikahan.
Jangan sungkan untuk saling memuji,” sambung ayahnya.
Beberapa
detik terdiam, Budiman pun melontarkan sebuah pertanyaan pamungkas. “Jika ayah
tahu semua itu, kenapa Ibu tetap pergi?”
Ayahnya
merenung beberapa saat. Seperti berdiskusi dengan perasaan dan kenangannya
sendiri. Setelah itu, ia pun berucap dengan tutur kata yang terdengar berat, “Itu
karena ibumu merasa dirinya lebih berharga dibanding aku. Ia merasa biasa saja
menjadi istriku, dan dipikirnya, akulah yang harus merasa beruntung
mendapatkannya. Aku tak bisa mengubah sikapnya, dan aku tak bisa memaksa ia untuk
setia,” jawabnya. “Cinta itu harus dengan keadilan, Nak.”
Budiman
takzim. Diam-diam, ia berpikir untuk segera menjemput istrinya, dan meminta
maaf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar