Selasa, 04 April 2017

Rumah Bisu

Tiap sore hari, Rosmini akan tiba di rumahnya. Dari pagi, hingga jam pulang kerja para pegawai perusahaan negara tiba, ia tak akan berada di rumahnya. Begitulah selalu, selama lima hari dalam seminggu. Karena itu, ia pantas dicap sebagai seorang pegawai bertanggung jawab. Ia tak mau meniru perilaku abdi negara yang datang terlambat dan pulang sebelum waktunya. 

Selain urusan pekerjaan, perhatian Rosmini, juga tertuju pada anak semata wayangnya, Rani, yang masih duduk di kelas II SD. Apalagi, Alian, suaminya, juga berstatus sebagai pegawai negeri di salah satu instansi pemerintahan. Sang suami pun keseringan tiba di rumah kala sore hari, seperti dirinya. Tak pelak, anaknya banyak mengisi waktu di rumah seorang diri. Keadaan itulah yang sering kali membuat Rosmini, khawatir.

Urusan pekerjaan yang menyita waktu, akhirnya memaksa Rosmini berpikir cerdas. Sebagai seorang ibu rumah tangga, ia tetap berusaha menjadi pelayan yang baik untuk anak dan suaminya. Karena itu, subuh-subuh, ia mulai menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilnya. Pagi-pagi itu juga, ia akan memasak untuk makan siang bagi anaknya.

Tapi sore ini, setibanya di rumah, kekhawatiran Rosmini memuncak. Entah bagaimana ceritanya, hidangan makan siang untuk anaknya di dalam kulkas, sama sekali tak terjamah. Padahal, sebelum berangkat kerja pagi tadi, ia telah menitip pesan kepada sang anak untuk makan siang sebelum melakukan aktivitas yang lain. 

Rosmini yang kelimpungan, akhirnya bergegas memeriksa kertas-kertas yang ditindik pada sebuah bentangan styrofoam di dinding. Di sanalah anggota keluarga kecilnya sering menulis catatan kala mereka tak bisa berkomunikasi secara langsung. Tapi anak yang masih tak diperbolehkan memiliki telepon genggam, sama sekali tak menulis pesan apa-apa. Padahal sebagaimana wajibnya, sang anak selalu menulis pesan tentang aktivitas yang akan dilakoninya sebelum meninggalkan rumah.

Kini, kekhawatiran terbesar Rosmini pun mencuat, tentang aksi penculikan anak yang belakangan ini, marak diberitakan. Ia cemas, kalau-kalau kejadian menakutkan itu, menimpa anaknya. Apalagi, ia tak menemukan seragam sekolah anaknya di rumah. Tapi untuk sementara waktu, ia tak ingin berprasangka buruk. Masih mungkin jika anaknya pergi bermain dan lupa menulis pesan, ataukah suaminya pulang lebih awal dan membawa sang anak berjalan-jalan.  

Setelah hampir sejam menunggu, suaminya pun tiba, datang hanya seorang diri. Kekhawatiran Rosmini, pun semakin melonjak. “Bapak tak tahu keberadaan Rani?” tanyanya kepada sang suami.

Mata Alian menyorot tajam. Wajahnya turut menyiratkan kekhawatiran. “Memangnya kenapa? Bukankah seharusnya dia ada di rumah?”

“Tapi dia tak ada di rumah, Pak!” kata Rosmini.

Alian pun beregas memeriksa setiap sudut isi dan halaman rumah. Berharap menemukan anaknya tengah tertidur pulas di satu titik tanpa ia sadari. Tapi hasilnya nihil. Rani tak juga di temukan. Ia pun bergegas menanyai para tetangga. Tapi hasilnya sama saja. Tak ada yang tahu di mana keberadaan anaknya.

Setelah kebingungan mencari tanda-tanda, Alian pun pulang ke rumahnya. Berencana menenangkan diri dan memikirkan baik-baik, bagaimana cara menemukan sang anak. Dan tiba-tiba, langkahnya tertahan di gerbang pintu. Ia menemukan secarik kertas tanpa nama. Di situ tertulis pesan: Jika kalian pulang, hubungi aku di nomor ini: 082389022211.

Segera saja, Alian menghubungi nomor yang tertera di kertas. Tiga kali mencoba, tiga kali pula panggilannya tak bersambung. Seketika, dugaan terburuk pun, muncul di benaknya. Ia menduga, seseorang sedang menawan anaknya untuk memeras harta benda keluarga kecilnya. Maka, tanpa pikir panjang lagi, ia pun bergegas menghubungi pihak kepolisian.

Belum sempat menunaikan maksudnya, sebuah mobil, tiba di depan rumah mereka. Rosmini dan Alian, dibuat menduga-duga. Mereka lalu bergegas memastikan siapa gerangan yang datang. Dan, tak lama berselang, tampaklah Rani di balik jendela mobil, masih dengan seragam sekolahnya. Di sisi kanannya, tampak seorang lelaki berpakaian rapi melemparkan senyuman hangat.

Alian menduga-duga sambil merangkai sebuah wajah di benaknya, wajah sahabat baiknya di kampus dahulu. “Rulan?” 

Lelaki itu mengangguk-angguk. “Ya, aku Rulan. Syukurlah kau masih mengenalku kawan!” katanya, lalu menjabat tangan Alian.

Mulut Alian tersekat. Rosmini pun begitu. Mereka seakan akan bigung, harus mengungkapkan kegembiraan atau kekesalan atas apa yang baru saja mereka saksikan.

Di sisi lain, Rulan merasa kerinduanlah yang membuat sahabatnya itu terkesima dan tak bisa berkata-kata. “Sudah lama kita tak berjumpa kawan. Kau tampak awet muda saja.”

“Ya, kau juga,” balas singkat Alian.

Rosmini hanya bisa berdiri dengan raut wajah yang sulit dijelaskan.

“Maaf, aku membawa Rani jalan-jalan sementara menunggu kalian pulang,” katanya, tanpa merasa itu adalah sebuah masalah besar. “Maaf juga, HP-ku lobet. Kalian mungkin telah menghubungiku sedari tadi?”

Alian mengangguk-angguk saja, sambil perlahan meredam kekesalannya dengan perasaan gembira atas sebuah perjumpaan yang tak terduga, yang telah lama dirindukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar