Senin, 27 Maret 2017

Kesan Terdalam

Kisahku dengannya, bermula dari adegan yang serupa di sinetron-sinetron. Pada suatu sore di kampus, kala aku bergegas pulang ke rumah, aku bertambrakan dengannya, tepat di sebuah sudut ruangan. Buku dalam pelukannya pun berhamburan. Terpaksa, dengan rasa bersalah, aku membantunya merapikan barang-barangnya, sembari mengucapkan kata maaf berkali-kali.
 
Saat kejadian itu, aku tak melihat raut emosi di wajahnya. Ia tak tampak marah, tapi tidak juga ramah. Ia hanya memajang mimik datar. Namun sikapnya itu, bukanlah satu keanehan. Warga kampus tahu, ia adalah perempuan pendiam yang suka menyendiri. Isi hati dan kepalanya, tak ada yang tahu. Dan anehnya, hal itulah yang membuatnya menarik bagiku.

Tanpa menunda-nunda waktu, aku pun memulai langkah awal untuk dekat dengannya. Cara terbaik untuk itu adalah mencari celah untuk bisa berada di medan kehidupannya setiap hari. Maka, aku pun rela mengorbankan kenyamanan hidupku untuk mendekatinya. Kutinggalkan mobilku di rumah, dan mulai menempuh jarak ke kampus dengan berjalan kaki, seperti dia.

Di awal penjajakan, aku  memulai dengan melemparkan senyum dan salam padanya kala berjumpa di tengah jalan. Tujuanku sekadar memberi aba-aba, kalau di waktu mendatang, aku ingin berkomunikasi lebih intim dengannya. Strategi itu, kulakukan dalam hitungan hari yang banyak, namun tak ada kemajuan berarti. Ia masih terkesan menutup diri dariku.

Sampai akhirnya, adegan serupa di sinetron dalam kisah kami pun, terjadi lagi. Sebuah kejadian yang membuat kami menjadi dekat tanpa perlu menunggu waktu lama-lama. Suatu hari, sepulang kuliah, saat masih di persimpangan jalan, hujan turun sangat deras. Dan, kami pun ditakdirkan untuk berlindung di bawah atap warung yang sama.

“Hai, Dita,” sapaku sambil tersenyum, setelah beberapa menit kami lewati dalam diam.

Dia hanya menoleh sejenak, lalu melemparkan senyuman singkat.

 Aku berdeham. “Maafkan aku untuk kejadian tempo hari.”

Ia menoleh ke arahku lagi. Hanya sejenak. “Tak apa-apa. Tak usah diingat-ingat lagi,” balasnya. 

Kami sama-sama terdiam lagi.

“Sudah hampir malam, tapi hujan sepertinya awet,” ketusku.

Ia terlihat mengangguk pelan. “Iya,” katanya, tanpa ada kesan bahwa ia ingin mengorol denganku lebih lama.

Akhirnya, aku pun berpikir keras untuk mencari-cari masalah, agar aku bisa berkomunikasi dan berhubungan dengannya. Aku pun menuju ke sebuah mini market, untuk membeli dua buah payung.
“Untukmu,” tawarku, sambil menyodorkan sebuah payung.

Dia tampak heran dengan sikapku, seakan-akan aku melakukan sebuah kelancangan yang tak termaafkan. “Tak usah. Kau pulang saja duluan,” katanya.

“Tapi aku punya dua payung. Yang satu ini memang untukmu,” tawarku lagi, lebih terkesan memohon.

Ia menggeleng.

“Setidaknya, jika kau bersedia menggunakan payung ini, aku akan merasa yakin kalau kau memang sudah tak mempermasalahkan kejadian tempo hari,” kataku, sedikit mengancam. “Ambillah”

Dengan agak sungkan, ia pun menerima payung pemberianku.

“Tapi hujan masih sangat deras. Sangat dingin,” tuturnya, sambil menatap ke arah langit.

Segera kubuka jaketku, dan menyodorkan padanya. “Kalau begitu, pakai saja ini. Setidaknya, ini bukti bahwa kita resmi menjadi sahabat. Aku mohon, jangan menolak.”

Ia tampak tersipu, lalu mengambil jaket yang kutawarkan.

Akhirnya, misiku berjalan baik. Kami akhirnya pulang di bawah dua payung secara beriringan. Di balik hujan, kami pun memulai obrolan kecil. Sebuah perkenalan singkat. Dan sesampainya di percabangan jalan di mana kami harus berpisah, aku pun merelakan payung dan jaketku menjadi miliknya, dua buah benda yang di hari-hari selanjutnya, sering ia kenakan.

Setelah semua peristiwa yang direstui alam itu, banyak hari-hari yang kami lalui bersama. Hampir sebulan kami senantiasa berangkat dan pulang kampus secara beriringan. Kami menjadi sangat dekat. Sampai seiring waktu, aku merasa perlu memperjelas maksud perasaanku padanya. 

“Dita,” ketusku, memecah kekakuan suasana yang tiba-tiba tercipta di antara kami, saat kami tengah berjalan beriringan lagi, sepulang kuliah. “Apa kau merasa baik-baik saja dengan hubungan kita selama ini?”

Ia menoleh padaku dengan tatapan yang cerah. “Iya. Memangnya kenapa kau bertanya seperti itu?”

“Tak apa-apa. Kadang, aku hanya merasa takut kau bosan denganku, lalu kau pun pergi tanpa aba-aba,” jawabku, masih mengaburkan maksud yang sesungguhnya.

“Aku akan tetap menjadi sahabatmu, tapi tidak untuk selamanya. Kelak, aku akan meninggalkanmu, atau kau yang meninggalkanku. Semua hanya masalah waktu,” tuturnya. “Tapi setidaknya, kita pernah mengukir kenangan sebagai dua orang sahabat.”

“Bagaimana jika aku merasakan hal yang berbeda terhadapmu, dan  menginginkan hubungan yang lebih?” kataku, sedikit gugup.

Ia terdiam beberapa detik. Seperti berusaha memaknai kalimat isyarat yang kulontarkan. “Maksudmu?”

“Maksudku…,” aku merasa berat berkata jujur, ”aku ingin…”

“Hai, kita sudah harus berpencar. Maaf, aku buru-buru,” katanya, tanpa melirik sejenak pun ke arahku, setelah kami sampai di percabangan jalan menuju rumah kami masing-masing. Kakinya lalu sigap berlari kecil, menjauhiku. Ia tampak berusaha menghindari kesimpulan obrolan kami sedari awal.

Dadaku jadi sesak melihatnya pergi. Aku hanya berdiam diri di tempat, dan terpaksa harus menelan kembali kata-kata yang tak sempat terucap.

Setelah percakapan kami yang tidak sampai pada akhir yang kuinginkan, sikapnya pun terasa berubah. Tingkah cerianya, sirna. Ia kembali jadi pendiam seperti di awal aku mengenalnya. Dan seiring waktu berjalan, aku tahu ia berusaha menjauhiku tanpa sebab yang jelas. Beberapa hari selanjutnya, ia benar-benar menghilang dari pandanganku. Sungguh kenyataan yang sangat menyakitkan. 

Di sela-sela waktu aku meratapi kisahku yang memilukan, aku pun memutuskan untuk bertamu ke rumahnya, dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

“Nak, Rehan ya?” tanya seorang ibu-ibu, Risa, yang kutahu seorang pembantu di rumah Dita.

Aku mengangguk, “Iya, Bu.”

“Syukurlah kamu datang. Kebetulan, ada titipan dari Dita untukmu,” katanya, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, ia keluar dengan membawa sebuah payung dan jaket yang telah kurelakan menjadi miliknya. “Ini titipan dari Dita untukmu,” tuturnya, lalu menyerahkan benda-benda itu,Ada juga surat dari Dita.”

Aku pun menyambut pemberian itu dengan sejuta tanya di benakku. Kekhawatiranku memuncak, kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi padanya.

Segera saja kubaca sepucuk surat darinya:

Ini mungkin bukan cara menyenangkan untuk meninggalkanmu. Tapi aku yakin, ini adalah cara terbaik. Setidaknya, kita tak perlu berbasa-basi lagi dan menambah deretan kenangan yang akan semakin membebani. Seperti yang pernah kukatakan padamu, suatu saat kita akan berpisah. Waktu akan mengalah kita. Dan itu terjadi, aku harus mengalah pada waktu, dan meninggalkanmu. Maafkan aku, dan terima kasih telah menjadi sahabatku.

Aku benar-benar tersentak membaca rangkaian pesan perpisahan itu, meski aku belum benar-benar tahu apa yang terjadi.

“Ada apa dengan Dita, Bu?” tanyaku, penuh penasaran.

Risa tampak bersedih. “Kukira Dita pernah cerita padamu, Nak?”

Aku menggeleng. “Cerita apa, Bu?”

“Anu, Dita…” Ia terdiam beberapa detik, lalu berucap dengan tutur kata yang terdengar berat. “Dita mengidap kanker stadium IV, Nak. Dokter telah memvonis hidupnya tak lama lagi.”

Aku benar-benar terenyak. Perlu waktu beberapa saat untuk aku bisa menerima penjelasan itu.

“Sekarang, dia berada di mana?” tanyaku.

Risa menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku juga tak tahu, Nak. Ia merahasiakannya.”

Dan seketika, aku merasa berada di antara hidup dan mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar