Nasib
baik telah sampai pada Ruki. Ia telah menjadi seorang pengusaha kuliner yang
sukses setelah sembilan tahun hidup dalam ketidakjelasan selepas kuliah. Tidak
saja kebutuhan pokoknya yang terpenuhi, tetapi juga keinginan-keinginan yang
dahulu ia gantungkan sebagai cita-cita. Kini, ia telah memiliki dua buah rumah
dan sepasang mobil mewah.
Meski
begitu, Ruki bukanlah tipe orang kaya baru yang lupa daratan. Ia sadar diri
berasal dari keluarga yang pas-pasan, dengan ayah seorang tukang becak, dan ia tahu
betapa menyedihkannya hidup dalam kekurangan. Karena itulah, ia rutin berderma untuk
kepentingan umum, semisal pembangunan tempat ibadah, atau menyantuni
orang-orang miskin.
Tapi
nasib sebaliknya menimpa Delan, tetangga samping rumahnya, seorang teman
baiknya sejak kecil. Delan yang terlahir dari keluarga yang kaya raya, harus
menerima kenyataan bahwa roda nasib terus berputar, dan kini ia berada tepat di
sisi bawah. Bisnis ritel peninggalan orang tuanya, bangkrut, dan ia tak punya
perkerjaan apa-apa.
Kini,
atas kondisi ekonominya, Delan pun berubah sikap. Ia tak lagi berderma untuk
orang lain. Ia lebih mengutamakan harta bendanya untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya sendiri. Namun itu bukan berarti ia seseorang yang kikir. Dahulu, saat
usaha peninggalan ayahnya masih berjaya, ia suka menyantuni orang lain,
termasuk Ruki yang masih hidup pas-pasan.
Dan
sore ini, sebagai dua orang sahabat baik, Ruki dan Delan pun mengobrol di
balai-balai depan rumah mereka, di sela-sela kesibukan Ruki yang tak kenal waktu.
Mereka bertukar pendapat soal dunia bisnis, meski Delan lebih tampak seperti
pelajar bagi Ruki yang mentor.
Beberapa
waktu kemudian, di ujung obrolan, Ruki pun menuturkan kiat berbisnis kepada Delan,
“Kalau mau bisnis sukses, kita memang harus banyak-banyak berderma.”
Delan
yang merasa rendah diri di hadapan sahabatnya sendiri, hanya menanggapi dengan
bahasa tubuh.
“Aku
kira-kira, nasib baik yang datang kepadaku saat ini, terjadi karena aku rutin menyumbangkan
sebagian penghasilanku untuk pembangunan fasilitas umum atau menyantuni
orang-orang miskin,” lanjut Ruki.
Delan
bergeming saja.
Ruki
lalu menoleh pada sahabatnya, dan berkata, “Kau tahu, aku turut berdonasi untuk
korban-korban bencana alam di negeri ini. Aku bahkan turut menyumbang untuk
saudara-saudara kita di negara lain.”
Delan
hanya mendengus dan mengangguk-angguk.
“Kukira,
doa-doa merekalah yang membuat bisnisku sukses,” kata Ruki lagi. “Aku sarankan,
kau sebaiknya melakukan hal semacam itu agar nasibmu segera membaik.”
Sedikit
kikuk, Delan pun melirik sahabatnya sejenak, kemudian berucap dengan raut lesu,
“Tapi bagaimana mau menyumbang. Kau tahu sendiri, aku benar-benar bangkrut.
Untuk kebutuhan pokok saja, kadang-kadang, aku harus meminjam kepada
saudara-saudaraku.”
Ruki
tertawa pendek. “Karena itulah, di posisimu yang seperti sekarang, kau seharusnya
banyak-bayak menyumbang. Aku yakin, Tuhan akan segera mengembalikannya dalam
jumlah yang berlipat ganda.”
Delan
tersenyum kecut. “Untuk sekarang, aku benar tak punya apa-apa. Kalau harus
menyumbang untuk orang lain, aku makan apa?”
Ruki
sontak tergelak. “Ah, kau ini. Jangan selalu mengeluh! Banyak-banyaklah bersyukur!”
Delan
mendengus saja.
Sesaat
kemudian, obrolan di antara mereka pun berakhir.
Waktu
bergulir.
Malam
pun tiba.
Ketika
subuh hampir menjelang, tiba-tiba, terdengarlah teriakan minta tolong dari
dalam rumah Ruki.
Warga
sekitar pun terbangun dan bergegas memberikan pertolongan.
Tak
berselang lama, warga pun tiba di sekitar rumah Ruki. Namun terlambat. Menurut
keterangan sang pembantu, si maling telah kabur ke sisi samping rumah, lewat
rumah Delan, sambil memboyong setengah karung beras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar