Sabtu, 30 November 2019

Abai

Nasib baik telah sampai pada Ruki. Ia telah menjadi seorang pengusaha kuliner yang sukses setelah sembilan tahun hidup dalam ketidakjelasan selepas kuliah. Tidak saja kebutuhan pokoknya yang terpenuhi, tetapi juga keinginan-keinginan yang dahulu ia gantungkan sebagai cita-cita. Kini, ia telah memiliki dua buah rumah dan sepasang mobil mewah.
 
Meski begitu, Ruki bukanlah tipe orang kaya baru yang lupa daratan. Ia sadar diri berasal dari keluarga yang pas-pasan, dengan ayah seorang tukang becak, dan ia tahu betapa menyedihkannya hidup dalam kekurangan. Karena itulah, ia rutin berderma untuk kepentingan umum, semisal pembangunan tempat ibadah, atau menyantuni orang-orang miskin. 

Tapi nasib sebaliknya menimpa Delan, tetangga samping rumahnya, seorang teman baiknya sejak kecil. Delan yang terlahir dari keluarga yang kaya raya, harus menerima kenyataan bahwa roda nasib terus berputar, dan kini ia berada tepat di sisi bawah. Bisnis ritel peninggalan orang tuanya, bangkrut, dan ia tak punya perkerjaan apa-apa.

Kini, atas kondisi ekonominya, Delan pun berubah sikap. Ia tak lagi berderma untuk orang lain. Ia lebih mengutamakan harta bendanya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri. Namun itu bukan berarti ia seseorang yang kikir. Dahulu, saat usaha peninggalan ayahnya masih berjaya, ia suka menyantuni orang lain, termasuk Ruki yang masih hidup pas-pasan.

Dan sore ini, sebagai dua orang sahabat baik, Ruki dan Delan pun mengobrol di balai-balai depan rumah mereka, di sela-sela kesibukan Ruki yang tak kenal waktu. Mereka bertukar pendapat soal dunia bisnis, meski Delan lebih tampak seperti pelajar bagi Ruki yang mentor.

Beberapa waktu kemudian, di ujung obrolan, Ruki pun menuturkan kiat berbisnis kepada Delan, “Kalau mau bisnis sukses, kita memang harus banyak-banyak berderma.”

Delan yang merasa rendah diri di hadapan sahabatnya sendiri, hanya menanggapi dengan bahasa tubuh.

“Aku kira-kira, nasib baik yang datang kepadaku saat ini, terjadi karena aku rutin menyumbangkan sebagian penghasilanku untuk pembangunan fasilitas umum atau menyantuni orang-orang miskin,” lanjut Ruki. 

Delan bergeming saja.

Ruki lalu menoleh pada sahabatnya, dan berkata, “Kau tahu, aku turut berdonasi untuk korban-korban bencana alam di negeri ini. Aku bahkan turut menyumbang untuk saudara-saudara kita di negara lain.”

Delan hanya mendengus dan mengangguk-angguk.

“Kukira, doa-doa merekalah yang membuat bisnisku sukses,” kata Ruki lagi. “Aku sarankan, kau sebaiknya melakukan hal semacam itu agar nasibmu segera membaik.”

Sedikit kikuk, Delan pun melirik sahabatnya sejenak, kemudian berucap dengan raut lesu, “Tapi bagaimana mau menyumbang. Kau tahu sendiri, aku benar-benar bangkrut. Untuk kebutuhan pokok saja, kadang-kadang, aku harus meminjam kepada saudara-saudaraku.”

Ruki tertawa pendek. “Karena itulah, di posisimu yang seperti sekarang, kau seharusnya banyak-bayak menyumbang. Aku yakin, Tuhan akan segera mengembalikannya dalam jumlah yang berlipat ganda.”

Delan tersenyum kecut. “Untuk sekarang, aku benar tak punya apa-apa. Kalau harus menyumbang untuk orang lain, aku makan apa?”

Ruki sontak tergelak. “Ah, kau ini. Jangan selalu mengeluh! Banyak-banyaklah bersyukur!”

Delan mendengus saja.

Sesaat kemudian, obrolan di antara mereka pun berakhir.

Waktu bergulir.

Malam pun tiba.

Ketika subuh hampir menjelang, tiba-tiba, terdengarlah teriakan minta tolong dari dalam rumah Ruki.
Warga sekitar pun terbangun dan bergegas memberikan pertolongan.

Tak berselang lama, warga pun tiba di sekitar rumah Ruki. Namun terlambat. Menurut keterangan sang pembantu, si maling telah kabur ke sisi samping rumah, lewat rumah Delan, sambil memboyong setengah karung beras.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar