Midah
mencintai Barli lebih dari siapa pun. Apalagi, Barli adalah anak semata wayang
untuk dirinya yang telah menjanda. Sebab itulah, ia sangat memanjakan buah
hatinya itu. Segala urusan rumah tangga ia tunaikan demi menyenangkan hatinya.
Segala urusan mencari nafkah ia kerjakan demi memenuhi keinginannya.
Pagi
ini, sebagaimana pagi-pagi sebelumnya, Midah kembali mempersiapkan hidangan
untuk Barli sebelum berangkat ke pasar untuk menjual sayur-mayur dari hasil
budi dayanya sendiri. Ia jelas tahu, sang anak yang baru saja duduk di bangku
sekolah menengah pertama itu, sungguh tak bisa diandalkan dalam soal memasak.
Sebelum
matahari meninggi dan setelah urusan rumah selesai, Midah lantas mempersiapkan
diri untuk bertemu dengan para pemberi. Apalagi, hari Minggu ini adalah hari
pasar. Para pembeli telah memadati kawasan pasar di waktu-waktu pagi. Dan tentu
saja, ia tak ingin melewatkan peluang untuk memperoleh keuntungan yang lebih
daripada hari-hari biasa.
Maka
dengan sikap yang buru-buru, Midah pun beranjak meninggalkan rumah ketika Barli
masih bermalas-malasan seperti biasa. Barli hanya duduk di teras depan rumah,
sambil memerhatikan layar telepon genggamnya. Ia asyik berselancar di media
sosial sambil membungkam telingannya dengan headset kualitas terbaik yang
dibelikan sang ibu dua hari yang lalu.
Namun
setelah mengunci pagar dan hendak melajukan sepeda motornya, Midah pun terpikir
untuk menyampaikan pesan pengingat kepada sang anak yang sering lalai. Ia pun
berseru.
Tetapi
Barli hanya tertunduk menatap layar telepon genggamnya sembari
menggoyang-goyangkan kepala seiring lagu favoritnya melalui pelangkat jemala.
Ia tak mendengar suara Ibunya.
Midah
kembali mengulang seruannya dengan nada yang lebih tinggi.
Sayup-sayup,
Barli pun mendengar sapaan sang ibu. Ia lantas menurunkan volume suara yang
menyesaki pendengarannya. “Ada apa?” tanya Barli kemudian, dengan perasaan
dongkol, seolah-olah kesenangannya terganggu.
Midah
lantas menyampaikan pesan yang telah ia sampaikan beberapa kali sejak seminggu
yang lalu, sejak maling memasuki pekarangan rumahnya dan membawa pergi sekarung
sayur-mayur, “Kalau kau keluar rumah, jangan lupa mengunci pagar,” katanya,
kemudian menimpali, “Jangan lupa juga untuk memungut jemuran jika tiba-tiba
hujan. Oh, ya, jangan…”
Dengan
tetap menatap sang ibu seolah-olah memerhatikan, Barli lekas menaikkan kembali
volume suara telepon genggamnya, sampai ia tak lagi mendengar pesan-pesan
selanjutnya dari sang ibu. Pasalnya, ia merasa bosan mendengar pesan yang
berulang, dan ia merasa sudah terlalu dewasa untuk selalu diperingati.
Setelah
sang ibu benar-benar pergi, perhatian Barli pun kembali terfokus pada layar
telepon genggamnya. Ia larut menyaksikan video-video musik grup band favorinnya
pada situs berbagi video, dan ia sangat menikmatinya. Setelah bosan, ia pun
beralih pada nuansa lain dengan memainkan audio lagu-lagu favoritnya, sembari
memerhatikan kabar dari kawan-kawannya di dunia maya.
Setelah
lebih dari dua jam duduk-berbaring dan bercengkerama dengan telepon genggamnya,
Barli pun merasa perlu menyegarkan penglihatan. Ia lantas memandang ke arah
depan, hingga matanya tertuju pada seseorang yang tak ia kenal di luar pagar
rumahnya. Lelaki berpenampilan kumal itu tampak melambaikan tangan dan
berkuap-kuap, seperti hendak bertamu.
Namun
Barli tak peduli. Ia segera saja menunduk-memerhatikan layar telepon
genggamnya, seakan-akan tak tahu atas kehadiran orang asing itu. Ia jelas tak
ingin seseorang bertamu dan mengganggu ketenangannya kali ini. Apalagi ia
menaksir kalau seseorang di luar pagar itu hanyalah seorang peminta-minta
sumbangan yang hendak mencuri uang belanjanya dengan aksi tipu-tipu.
Setelah
beberapa menit berlalu, Barli melirik lagi ke arah pagar. Orang asing itu
ternyata masih saja di sana. Barli pun kembali menetap layar dengan suara musik
yang terus membungkam telinganya.
Sesaat
berselang, ia kembali melirik ke arah pagar, hingga ia pun terkejut dan
terheran setelah menyaksikan ada sembilan orang yang kini berkuap-kuap dan
melambaikan tangan ke arahnya.
Sontak
saja, ia menurunkan volume suara musik yang menutupi pendengarannya. Dan
seketika, ia mendengar teriakan dari orang-orang itu: “Kebakaran…! Kebakaran…!”
Perlahan-lahan,
asap pun muncul dari arah belakangnya sendiri, melalui celah-celah ventilasi di
dinding.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar