Jumat, 29 November 2019

Botol-Botol

Hari raya tiba. Ibu kembali berpesan agar aku pulang ke kampung sembari membawa minuman berkemasan plastik atau kaca. Ia memandang minuman instan semacam itu lebih layak dihidangkan kepada para tamu. Jadi, aku pun membeli berbotol-botol air mineral dan berbagai macam sirup. Bagaimana pun, itu adalah permintaan seorang ibu.
 
Namun sebagai seorang sarjana, aku tahu, minuman berbotol bukanlah minuman yang ramah lingkungan. Bukan karena isinya, tapi karena kemasannya. Bahkan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk memahami dampak buruk botol-botolan terhadap lingkungan. Murid taman kanan-kanak pun sudah belajar soal itu, dan mereka tahu apa yang harus dilakukan. 

Jujur saja, aku mesti membungkam nuraniku setiap kali memboyong minuman kemasan dari kota ke kampung. Apalagi aku tahu, para warga tidak tahu dan tidak mau tahu soal dampak botol-botolan terhadap kelestarian lingkungan. Karena itu, ketimbang mendaur ulang, mereka lebih memilih membakar botol-botol itu, membuangnya ke rawa, atau menghanyutkannya di sungai.

Tapi kali ini, sebagaimana sebelum-sebelumnya, aku sanggup mengesampingkan nuraniku demi ibu. Aku ingin kalau saat jamuan di hari raya, kami sekeluarga tak perlu lagi sibuk dengan urusan memanaskan air atau menyeduh minuman tradisional, dan kami lebih banyak waktu untuk bercengkerama sambil menghidangkan minuman-minuman kemasan yang praktis.

Akhirnya, jam 11 siang, tibalah aku di rumah ibu, bersama seorang wanita yang kunikahi tiga bulan lalu. Seketika, ibu memelukku dengan hangat. Lekas kemudian, ia menyambut minuman berbotol dengan penuh kesenangan. Kukira jelas, ia merasa bangga telah menjadi bagian dari sedikit warga yang mampu menyajikan minuman kemasan di hari raya.

Sesampainya di dalam rumah, ibu segera menghidangkan minuman kemasan itu di atas meja, satu per satu. Sesaat kemudian, kulihatlah para warga yang bertamu, terutama anak-anak, menenggak minuman itu dengan senang hati. Mereka seolah-olah menemukan minuman sedap yang langka, dan mereka tak perlu berkorban apa-apa untuk menikmatinya.

Waktu demi waktu bergulir, tamu datang silih berganti. Rumah ibu seolah-olah tempat berziarah yang paling favorit bagi para warga. Mereka seperti telah menargetkannya karena mereka tahu bahwa ibu memiliki dua orang anak berpendidikan yang sukses dan selalu pulang setiap hari raya sembari membawa bertumpuk-tumpuk minuman kemasan.

Namun tiba-tiba, di tengah waktu penjamuan, hujan turun sangat deras. Seketika, raut riang ibu tampak mereda. Dan kuduga, ia tengah mencemaskan kedatangan Nurmi, adik perempuanku. Terlebih lagi, dari Nurmi, ibu telah memperoleh dua orang cucu yang lucu-lucu, dan tentu saja ibu sangat merindukan mereka.

Setengah jam berlalu, hujan mereda dan berubah menjadi gerimis. Para tamu yang menahan diri untuk berteduh, lantas pulang meninggalkan botol-botol kemasan yang telah kosong. Ibu pun merapikan meja, sambil menyatukan sisa hidangan dan botol-botolan ke dalam plastik berukuran besar. 

Sesaat kemudian, ibu menuruni tangga sambil mambawa kantongan yang menggembung.

“Mau dibawa ke mana, Bu?” tanyaku soal kantongan yang ia jinjing.

“Di buang ke sungai,” balas Ibu dengan sikap biasa.

“Apa tak sebaiknya disimpan dulu, Bu?” kataku.

Ibu tak menggubris.

“Ada baiknya botol-botol itu dikumpul untuk diserahkan ke pengepul, Bu” kataku lagi.

Ibu lantas menatapku, kemudian tertawa pendek. “Di sini kan tak ada pemulung dan pengepul sampah. Beda dengan di kota. Kalau pun mau, harus dibawa ke pasar. Itu pun harganya tak seberapa, dan merepotkan.”

Aku jadi bingung meramu balasan.

“Sekarang air sungai sedang deras-derasnnya,” tutur ibu, sambil mengenakan sandal. “Sampah-sampah ini lebih baik dibuang ketimbang dibakar,” katanya lagi, lantas melangkah ke arah sungai.

Aku hanya terdiam, meski aku tahu kalau kedua opsi pilihan itu tidaklah baik untuk lingkungan.

Sesaat kemudian, hujan kembali deras. 

Nurmi dan keluarga kecilnya tak juga datang. Padahal, jika dikira-kira soal waktu perjalanan mereka, tengah hari tadi, mereka seharusnya tiba. 

Dengan penuh kecemasan, ibu kembali menghubungi Nurmi melalui saluran telepon. Dan seperti biasa, ibu selalu melantangkan suara telepon setiap kali bercakap.

“Kalian sudah di mana?” tanya Ibu.

“Kami masih di tengah perjalanan, Bu. Perjalanan kami terhenti,” balas Nurmi.

“Apa yang terjadi, Nak?”

“Hujan sangat deras, Bu. Jalanan tergenang air. Macet berkepanjangan,” jawab Nurmi. “Kabarnya, aliran sungai meluap dan menggenangi jalanan!”

“Tapi kalian baik-baik saja, kan?”

“Kami baik-baik saja, Bu,” kata Nurmi. “Tapi kami minta maaf kalau baru bisa tiba malam nanti, atau akhirnya kami harus kembali ke rumah.” 

Ibu seketika tertegun lesu. “Baiklah, Nak. Hati-hati di jalan. Semoga selamat.”

“Baik, Bu!”

Sambungan telepon pun terputus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar