Hari
raya tiba. Ibu kembali berpesan agar aku pulang ke kampung sembari membawa
minuman berkemasan plastik atau kaca. Ia memandang minuman instan semacam itu
lebih layak dihidangkan kepada para tamu. Jadi, aku pun membeli berbotol-botol air
mineral dan berbagai macam sirup. Bagaimana pun, itu adalah permintaan seorang
ibu.
Namun
sebagai seorang sarjana, aku tahu, minuman berbotol bukanlah minuman yang ramah
lingkungan. Bukan karena isinya, tapi karena kemasannya. Bahkan tidak perlu
sekolah tinggi-tinggi untuk memahami dampak buruk botol-botolan terhadap
lingkungan. Murid taman kanan-kanak pun sudah belajar soal itu, dan mereka tahu
apa yang harus dilakukan.
Jujur
saja, aku mesti membungkam nuraniku setiap kali memboyong minuman kemasan dari
kota ke kampung. Apalagi aku tahu, para warga tidak tahu dan tidak mau tahu
soal dampak botol-botolan terhadap kelestarian lingkungan. Karena itu, ketimbang
mendaur ulang, mereka lebih memilih membakar botol-botol itu, membuangnya ke
rawa, atau menghanyutkannya di sungai.
Tapi
kali ini, sebagaimana sebelum-sebelumnya, aku sanggup mengesampingkan nuraniku
demi ibu. Aku ingin kalau saat jamuan di hari raya, kami sekeluarga tak perlu
lagi sibuk dengan urusan memanaskan air atau menyeduh minuman tradisional, dan
kami lebih banyak waktu untuk bercengkerama sambil menghidangkan minuman-minuman
kemasan yang praktis.
Akhirnya,
jam 11 siang, tibalah aku di rumah ibu, bersama seorang wanita yang kunikahi
tiga bulan lalu. Seketika, ibu memelukku dengan hangat. Lekas kemudian, ia menyambut
minuman berbotol dengan penuh kesenangan. Kukira jelas, ia merasa bangga telah
menjadi bagian dari sedikit warga yang mampu menyajikan minuman kemasan di hari
raya.
Sesampainya
di dalam rumah, ibu segera menghidangkan minuman kemasan itu di atas meja, satu
per satu. Sesaat kemudian, kulihatlah para warga yang bertamu, terutama
anak-anak, menenggak minuman itu dengan senang hati. Mereka seolah-olah menemukan
minuman sedap yang langka, dan mereka tak perlu berkorban apa-apa untuk
menikmatinya.
Waktu
demi waktu bergulir, tamu datang silih berganti. Rumah ibu seolah-olah tempat
berziarah yang paling favorit bagi para warga. Mereka seperti telah menargetkannya
karena mereka tahu bahwa ibu memiliki dua orang anak berpendidikan yang sukses
dan selalu pulang setiap hari raya sembari membawa bertumpuk-tumpuk minuman
kemasan.
Namun
tiba-tiba, di tengah waktu penjamuan, hujan turun sangat deras. Seketika, raut
riang ibu tampak mereda. Dan kuduga, ia tengah mencemaskan kedatangan Nurmi,
adik perempuanku. Terlebih lagi, dari Nurmi, ibu telah memperoleh dua orang
cucu yang lucu-lucu, dan tentu saja ibu sangat merindukan mereka.
Setengah
jam berlalu, hujan mereda dan berubah menjadi gerimis. Para tamu yang menahan
diri untuk berteduh, lantas pulang meninggalkan botol-botol kemasan yang telah
kosong. Ibu pun merapikan meja, sambil menyatukan sisa hidangan dan botol-botolan
ke dalam plastik berukuran besar.
Sesaat
kemudian, ibu menuruni tangga sambil mambawa kantongan yang menggembung.
“Mau
dibawa ke mana, Bu?” tanyaku soal kantongan yang ia jinjing.
“Di
buang ke sungai,” balas Ibu dengan sikap biasa.
“Apa
tak sebaiknya disimpan dulu, Bu?” kataku.
Ibu
tak menggubris.
“Ada
baiknya botol-botol itu dikumpul untuk diserahkan ke pengepul, Bu” kataku lagi.
Ibu
lantas menatapku, kemudian tertawa pendek. “Di sini kan tak ada pemulung dan
pengepul sampah. Beda dengan di kota. Kalau pun mau, harus dibawa ke pasar. Itu
pun harganya tak seberapa, dan merepotkan.”
Aku
jadi bingung meramu balasan.
“Sekarang
air sungai sedang deras-derasnnya,” tutur ibu, sambil mengenakan sandal.
“Sampah-sampah ini lebih baik dibuang ketimbang dibakar,” katanya lagi, lantas
melangkah ke arah sungai.
Aku hanya terdiam, meski aku tahu kalau kedua opsi pilihan itu tidaklah baik untuk lingkungan.
Sesaat kemudian, hujan kembali deras.
Nurmi
dan keluarga kecilnya tak juga datang. Padahal, jika dikira-kira soal waktu
perjalanan mereka, tengah hari tadi, mereka seharusnya tiba.
Dengan
penuh kecemasan, ibu kembali menghubungi Nurmi melalui saluran telepon. Dan
seperti biasa, ibu selalu melantangkan suara telepon setiap kali bercakap.
“Kalian
sudah di mana?” tanya Ibu.
“Kami
masih di tengah perjalanan, Bu. Perjalanan kami terhenti,” balas Nurmi.
“Apa
yang terjadi, Nak?”
“Hujan
sangat deras, Bu. Jalanan tergenang air. Macet berkepanjangan,” jawab Nurmi. “Kabarnya,
aliran sungai meluap dan menggenangi jalanan!”
“Tapi
kalian baik-baik saja, kan?”
“Kami
baik-baik saja, Bu,” kata Nurmi. “Tapi kami minta maaf kalau baru bisa tiba
malam nanti, atau akhirnya kami harus kembali ke rumah.”
Ibu
seketika tertegun lesu. “Baiklah, Nak. Hati-hati di jalan. Semoga selamat.”
“Baik,
Bu!”
Sambungan
telepon pun terputus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar