Sejak
kemarin, suasana rumah menghening. Bisran, seorang duda, sudah kehabisan cara
untuk menenangkan hati seorang taman hidupnya, Baim, usia lima tahun, anak
tunggalnya, yang merajuk karena tak kunjung dibelikan mobil-mobilan seperti
yang ia pinta. Dan sepertinya, anak itu akan bermuram durja selama mainan yang
ia maksud tak sampai di tangannya.
Sebenarnya,
sudah jauh-jauh hari Bisran hendak mewujudkan permintaan sang anak. Ia pun telah
menyisikan sedikit demi sedikit upahnya sebagai buruh bangunan untuk melakukan
hal itu. Tetapi kemarin, sebagai hari perwujudan yang telah ia janjikan, satu
mainan itu belum juga terbeli, dan itulah yang membuat sang anak benar-benar
murka.
Namun
Bisran tak benar-benar melanggar janji. Sore kemarin, sepulang kerja, ia sudah
bertekad untuk singgah di toko mainan dan membeli sebuah mainan yang sedari
dulu diinginkan sang anak. Tapi kenyataan tak terduga terjadi. Setelah hendak
membayar tagihan untuk mainan itu, uang di dompetnya ternyata kurang Rp. 50.000
dari total harga Rp. 150.000.
Seketika
juga, Bisran sadar telah salah memberikan uang kepada seorang ibu tua, seorang
pengemis, yang mengadangnya sebelum sampai di toko. Ia sadar telah salah
mengambil lembaran uang Rp. 50.000 dari dompetnya ketika ia hanya memaksudkan
uang lembaran Rp. 10.000. Akhirnya, ia pun kehilangan separuh dari upah
hariannya sebagai buruh.
Sesungguhnya,
Bisran tidaklah terlalu fakir untuk mewujudkan permintaan sang anak. Hari
kemarin pun, ia bisa saja melakukan itu. Namun sebagai buruh kasar, ia merasa
terlalu berlebihan jika uang hasil kerjanya diutamankan untuk membeli mainan
anak-anak. Baginya, uang lebih perlu ditabung untuk kebutuhan hidup, termasuk
rokok yang telah ia anggap sebagai kebutuhan pokok.
Tapi
hari ini, ia ingin berdamai dengan sang anak. Ia akan mengesampingkan
keegoisannya sebagai orang dewasa yang merasa lebih butuh segala hal dan
mengabaikan kesenangan sang anak, termasuk menekan konsumsi rokoknya. Karena
itu, sepulang bekerja, ia pun meminta upah harian yang semestinya diberikan
setiap minggu, dan ia menunda untuk membeli rokok.
Sesaat
kemudian, ia pun singgah di toko mainan yang ia lalui sepulang kerja. Dan
ketika baru saja turun dari sepeda motor, matanya tertuju pada seorang pengemis
yang kemarin telah menerima uang yang ia sumbangkan secara tidak sengaja.
Pengemis itu tampak duduk di teras toko, tepat di samping sang anak yang sejak
seminggu lalu seringkali berdiam diri di sekitar toko.
Dengan
pandangan seksama, Bisran pun mengamati gerak-gerik kedua orang itu. Ia merasa
perlu mengetahui apa urusan si pengemis dengan anaknya. Ia juga merasa perlu
mengetahui, akan diapakan uang santunannya kemarin oleh si pengemis, dan ia
merasa berhak untuk mengutuk jika si pengemis ternyata berfoya-foya atas belas
kasihnya.
Sejenak
berselang, tampaklah si pengemis itu menyodorkan sekantong plastik bercap nama
toko mainan di belakang mereka. Perlahan, sang anak lantas menyibak isi
kantongan tersebut dengan raut yang penuh kesenangan. Sampai akhirnya, terlihatlah
sekardus mainan mobil-mobilan dengan rupa seperti yang kemarin batal Bisran
beli.
Sang
anak sontak memeluk si pengemis.
Bisran
pun terperangah. Ia sungguh tak menduga si pengemis akan menyantuni anaknya.
Dan tentu saja, ia merasa dipecundangi sebagai seorang ayah.
Namun
perlahan-pahan, pikiran kikirnya kembali menyeruak. Ia berpikir kalau kenyataan
itu memang hal yang wajar, sebab si pengemis memang semestinya mengembalikan
sumbangan berlebih yang ia berikan kemarin.
Setelah
si pengemis pergi, Bisran pun menuju ke arah sang anak. Ia berlakon seolah-olah
tidak tahu apa yang baru saja terjadi, dan ia berusaha tampil seramah mungkin.
“Nak,
hari ini, ayah sudah punya cukup uang untuk membeli mainan yang kau inginkan,”
katanya, lemah lembut, sambil berjongkok di depan sang anak.
Sang
anak bergeming.
“Kenapa
cemberut, Nak? Ayo kita masuk ke dalam toko dan membeli mainan itu!” tawar
Bisran.
“Tidak
usah!” ketus sang anak. “Aku sudah tak butuh ayah untuk membeli mainan itu! Aku
sudah punya!” katanya, lalu berdiri dan beranjak dengan sikap judes, sembari menenteng
sekantong plastik berisi mainan yang ia idam-idamkan sejak seminggu yang lalu.
Seketika,
Bisran merasa tak berarti sebagai seorang ayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar