Jumat, 29 November 2019

Nasib Lain

Kusno mengendarai sepeda motornya dengan penuh kekalutan. Ia baru saja mengantarkan seorang sahabatnya ke terminal untuk pulang kampung setelah kebun orang tuanya habis dilalap api di musim kemarau ini. Seseorang yang baru saja membuatnya iri setelah berbagi kabar bahwa ia diterima sebagai karyawan di perusahaan swasta, meski sekarang, Kusno jadi lebih iba padanya.
 
Namun Kusno sadar punya urusan sendiri, dan itulah yang membuatnya lebih kalut. Hari ini, pengumuman hasil lamaran kerjanya di sebuah perusahaan negera akan dirilis, dan ia merasa sangat deg-degan. Karena itulah, ia memutuskan untuk pulang dan mengecek pengumuman itu di kamar indekosnya agar ia bebas melampiaskan emosi atas hasil yang ia dapati.

Saat masih di pertengahan jalan, di bawah lampu merah, ia pun menjumpai sekelompok orang yang berkeliaran meminta sumbangan untuk korban kebakaran. Seseorang kemudian menghampirinya sambil menyodorkan kardus. Tapi Kusno abai saja, karena sebagai pengangguran, ia merasa lebih patut menyantuni dirinya sendiri ketimbang orang lain. 

Namun dalam hitungan detik, separuh sisi hatinya menggugat. Ia tiba-tiba khawatir kalau sikap abainya akan mendatangkan nasib buruk. Ia khawatir kalau gara-gara kekikirannya kali ini, ia akan menemukan kabar mengecewakan soal lamaran kerjanya nanti. Dan sebaliknya, ia berharap kedermawanannya kali ini akan mengubah kemungkinan yang buruk menjadi kenyataan yang baik. 

Tanpa ragu-ragu lagi, ia lantas memanggil si pembawa kardus dan menyumbangkan beberapa rupiah, dan perasaannya pun menjadi tenang. Ia merasa tenang sebab ia telah melakukan tindakan yang mungkin akan memengaruhi nasibnya. Ia merasa tenang sebab ia menerka kalau sumbangan itu benar-benar akan mendatangkan keberuntungan baginya.

Selepas itu, di sepanjang sisa perjalanan, ia pun berprasangka baik, bahwa Tuhan akan memberikan keberhasilan kepadanya atas nama uang yang telah ia sumbangkan. Sesaat kemudian, dengan keberanian yang mantap, ia pun bergegas memasuki kamar indekosnya, kemudian menyalakan laptop untuk mengahadapi momok yang menghantuinya sedari dulu.

Perlahan-perlahan, Kusno pun mengikuti langkah-langkah menuju hasil pengumuman pada layar laptopnya. Sesaat kemudian, laman pengumuman pun terpampang di depan wajahnya. Dan seketika, debaran jantungnya bak terhenti. Rasa penasarannya berubah menjadi kecewa. Ia tak menemukan namanya di antara nama-nama orang yang dinyatakan lulus.

Sontak, ia merasa sangat sial. Rasa sesalnya pun menyeruak atas beberapa lembar uang yang telah ia sumbangkan namun tak berarti apa-apa bagi lamaran kerjanya. Ia merasa rugi, sebab sebagai seorang penangangguran, ia telah menyumbangkan uang yang jelas ia butuhkan untuk sekadar memenuhi kebutuhan pokok.

Persoalan yang lebih genting kemudian menyesaki kepalanya. Ia merasa bingung harus bagaimana menyampaikan kabar buruk itu kepada ayah dan ibunya. Sedang jika ia tidak menyampaikannya segera, ayah-ibunya pasti akan bertanya, sebab mereka tahu, satu-satunya alasan ia kembali ke kota adalah untuk mengikuti seleksi penerimaan pegawai di sebuah perusahaan negara.

Dan akhirnya, ia memutuskan untuk menandaskan segenap kekalutannya saat ini juga. Maka, tanpa pikir panjang, ia pun segera menghubungi sang ibu yang ia tahu lebih bijak menanggapi kabar buruk dibanding sang ayah.

Sesaat kemudian, telepon tersambung. “Halo, ada apa, Nak?”

Lidah Kusno pun terasa kelu. “Anu, Bu…”

“Apa, Nak?”

Kusno tak sanggup berterus terang.

“Kau diterima kerja?” tukas sang ibu.
 
Sontak, Kusno merasa pilu. “Maaf, Bu,” katanya, “Maaf, Kusno gagal lagi.”

Sang ibu bergumam pendek. “Oh, tak apa-apa, Nak. Memang belum nasibmu kalau begitu,” katanya dengan lemah lembut.

Seketika, Kusno merasa haru mendengar kebijaksanaan sang ibu untuk kegegalan hidupnya yang ke sekian kali. “Iya, Bu. Terima kasih.”

“Oh, iya, Nak. Buah jagung di kebun sudah tua. Sudah waktunya panen,” terang sang ibu.

Kusno terenyuh mendengar kabar baik itu.

“Kita patut persyukur, Nak. Semalam hujan turun, sehingga api dari bukit sebelah, tak sampai membakar kebun jagung kita,” kata Ibunya lagi. 

“Ah, syukurlah, Bu,” sela Kusno.

“Kalau kau sempat, pulanglah untuk sementara waktu.”

Kusno pun merasa tenteram. “Baiklah, Bu!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar