Kusno
mengendarai sepeda motornya dengan penuh kekalutan. Ia baru saja mengantarkan
seorang sahabatnya ke terminal untuk pulang kampung setelah kebun orang tuanya
habis dilalap api di musim kemarau ini. Seseorang yang baru saja membuatnya iri
setelah berbagi kabar bahwa ia diterima sebagai karyawan di perusahaan swasta, meski
sekarang, Kusno jadi lebih iba padanya.
Namun
Kusno sadar punya urusan sendiri, dan itulah yang membuatnya lebih kalut. Hari
ini, pengumuman hasil lamaran kerjanya di sebuah perusahaan negera akan
dirilis, dan ia merasa sangat deg-degan. Karena itulah, ia memutuskan untuk pulang
dan mengecek pengumuman itu di kamar indekosnya agar ia bebas melampiaskan
emosi atas hasil yang ia dapati.
Saat
masih di pertengahan jalan, di bawah lampu merah, ia pun menjumpai sekelompok orang
yang berkeliaran meminta sumbangan untuk korban kebakaran. Seseorang kemudian
menghampirinya sambil menyodorkan kardus. Tapi Kusno abai saja, karena sebagai
pengangguran, ia merasa lebih patut menyantuni dirinya sendiri ketimbang orang
lain.
Namun
dalam hitungan detik, separuh sisi hatinya menggugat. Ia tiba-tiba khawatir
kalau sikap abainya akan mendatangkan nasib buruk. Ia khawatir kalau gara-gara
kekikirannya kali ini, ia akan menemukan kabar mengecewakan soal lamaran kerjanya
nanti. Dan sebaliknya, ia berharap kedermawanannya kali ini akan mengubah
kemungkinan yang buruk menjadi kenyataan yang baik.
Tanpa
ragu-ragu lagi, ia lantas memanggil si pembawa kardus dan menyumbangkan beberapa
rupiah, dan perasaannya pun menjadi tenang. Ia merasa tenang sebab ia telah
melakukan tindakan yang mungkin akan memengaruhi nasibnya. Ia merasa tenang
sebab ia menerka kalau sumbangan itu benar-benar akan mendatangkan keberuntungan
baginya.
Selepas
itu, di sepanjang sisa perjalanan, ia pun berprasangka baik, bahwa Tuhan akan memberikan
keberhasilan kepadanya atas nama uang yang telah ia sumbangkan. Sesaat kemudian,
dengan keberanian yang mantap, ia pun bergegas memasuki kamar indekosnya,
kemudian menyalakan laptop untuk mengahadapi momok yang menghantuinya sedari
dulu.
Perlahan-perlahan,
Kusno pun mengikuti langkah-langkah menuju hasil pengumuman pada layar
laptopnya. Sesaat kemudian, laman pengumuman pun terpampang di depan wajahnya.
Dan seketika, debaran jantungnya bak terhenti. Rasa penasarannya berubah menjadi
kecewa. Ia tak menemukan namanya di antara nama-nama orang yang dinyatakan lulus.
Sontak,
ia merasa sangat sial. Rasa sesalnya pun menyeruak atas beberapa lembar uang
yang telah ia sumbangkan namun tak berarti apa-apa bagi lamaran kerjanya. Ia
merasa rugi, sebab sebagai seorang penangangguran, ia telah menyumbangkan uang
yang jelas ia butuhkan untuk sekadar memenuhi kebutuhan pokok.
Persoalan
yang lebih genting kemudian menyesaki kepalanya. Ia merasa bingung harus
bagaimana menyampaikan kabar buruk itu kepada ayah dan ibunya. Sedang jika ia
tidak menyampaikannya segera, ayah-ibunya pasti akan bertanya, sebab mereka tahu,
satu-satunya alasan ia kembali ke kota adalah untuk mengikuti seleksi
penerimaan pegawai di sebuah perusahaan negara.
Dan
akhirnya, ia memutuskan untuk menandaskan segenap kekalutannya saat ini juga.
Maka, tanpa pikir panjang, ia pun segera menghubungi sang ibu yang ia tahu
lebih bijak menanggapi kabar buruk dibanding sang ayah.
Sesaat
kemudian, telepon tersambung. “Halo, ada apa, Nak?”
Lidah
Kusno pun terasa kelu. “Anu, Bu…”
“Apa,
Nak?”
Kusno
tak sanggup berterus terang.
“Kau
diterima kerja?” tukas sang ibu.
Sontak,
Kusno merasa pilu. “Maaf, Bu,” katanya, “Maaf, Kusno gagal lagi.”
Sang
ibu bergumam pendek. “Oh, tak apa-apa, Nak. Memang belum nasibmu kalau begitu,”
katanya dengan lemah lembut.
Seketika,
Kusno merasa haru mendengar kebijaksanaan sang ibu untuk kegegalan hidupnya
yang ke sekian kali. “Iya, Bu. Terima kasih.”
“Oh,
iya, Nak. Buah jagung di kebun sudah tua. Sudah waktunya panen,” terang sang
ibu.
Kusno
terenyuh mendengar kabar baik itu.
“Kita
patut persyukur, Nak. Semalam hujan turun, sehingga api dari bukit sebelah, tak
sampai membakar kebun jagung kita,” kata Ibunya lagi.
“Ah,
syukurlah, Bu,” sela Kusno.
“Kalau
kau sempat, pulanglah untuk sementara waktu.”
Kusno
pun merasa tenteram. “Baiklah, Bu!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar