Untuk
sesuatu yang tertahan sejak lama, Roman ingin menyelesaikannya malam ini juga.
Setelah bertahun-tahun menjalani masa perkenalan, ia merasa sudah waktunya
untuk melangkah ke jenjang pernikahan, bersama Rima, pujaan hatinya. Ia merasa
kalau gadis itu adalah seseorang yang tepat untuk menjadi pendamping hidupnya,
dan ia pasti akan bahagia.
Sejak
pertama kali memandang Rima, Roman memang merasa telah menemukan perempuan yang
ia idam-idamkan. Seorang yang serupa dengan ibunya sendiri. Tidak hanya serupa pada
perihal rupa, tetapi juga perihal watak. Karena itu, Roman yakin kalau kelak, sang
pujaan akan mendampinginya dengan sepenuh hati, sebagaimana sang ibu
mendampingi ayahnya.
Roman
memang sangat mengagumi ibunya yang sabar mencintai ayahnya yang pemarah. Ia
menyaksikan sendiri, di usai pernikahan mereka yang lebih dari 25 tahun, sang
ibu selalu sabar mencintai sang ayah, hingga tali pernikahan mereka tetap
terjaga sampai saat ini. Atas gambaran itulah, ia pun mendambakan seorang
pendamping hidup yang sempurna seperti ibunya.
Tak
ingin kehilangan kesempatan, Roman pun tak ingin menunda waktu. Malam ini juga,
ia bertekad untuk mengikat hati Rima yang ia yakini akan mencintainya dengan
sempurna. Tentu saja, ia pun akan mencintai sang pujaan dengan sungguh-sungguh
ketika kelak mereka menjadi suami-istri, dan ia tidak akan berperilaku temperamental
seperti ayahnya terhadap ibunya.
Maka,
di sebuah sudut ruang restoran yang lengang saat ini, Roman pun memulai kalimat
yang akan berujung pada inti persoalan hatinya, “Aku kira kita sudah terlalu
lama berbasa-basi dalam hubungan kita,” katanya, dengan mata yang seketika
segan memandang sang pujaan yang duduk tepat di hadapannya.
“Kau
tak menikmati hubungan pertemanan kita?” selidik Rima dengan raut wajah yang biasa,
seolah Roman sedang merancang candaan baru.
Roman
menggeleng-geleng dengan raut kalap. “Bukan begitu maksudku,” katanya, kemudian
menghela-embuskan napas yang panjang. “Aku hanya berpikir, mungkin sudah
waktunya kita memulai hubungan yang serius.”
“Serius?
Maksudmu?” sergah Rima dengan raut wajah yang penuh tanya.
Roman
lantas mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dari dalam sakunya. “Aku
ingin kita menikah,” katanya, lantas menyibak dan menyodorkan benda tersebut ke
hadapan sang pujaan. “Aku mohon, terimalah!”
Rima
lantas terdiam dengan pandangan yang kosong. Ia lalu menghempaskan diri ke
sandaran kursi.
“Aku mohon!” pinta Roman lagi.
Perlahan,
Rima menggeleng pelan. “Aku rasa, terlalu buru-buru kau mengucapkan itu. Aku
butuh waktu untuk mengenalmu lebih dalam.”
“Bukankah
kita telah berteman sejak lama? Bukankah waktu sepanjang itu sudah cukup untuk
memberimu keyakinan bahwa akulah lelaki yang terbaik bagimu?” tanya Roman, terkesan
mendesak untuk sebuah persetujuan.
“Aku
masih butuh waktu. Aku butuh waktu untuk menerima seseorang lelaki sebagai
pendamping hidupku,” balas Rima dengan mata berkaca-kaca.
Roman
pun terdiam, kemudian mengangguk pelan, seolah-olah menerima jawaban Rima saat
ini. Dengan sedikit kecewa, ia lantas mengemas kembali sebuah cincin yang
sempat ia tawarkan, kemudian kembali bertanya, “Apa yang harus kulakukan agar
kau yakin pada kesungguhanku?”
Rima
mendengus. “Kau tak harus melakukan apa-apa. Aku hanya butuh waktu.”
“Tapi,
bolehkah aku mengucapkan permintaan itu di hari-hari esok?” tanya Roman dengan
kepasrahan.
Rima
mendengus. Ia lantas mengangguk pelan, dan lekas menimpali dengan raut serius, “Asal
kau melakukannya tanpa kumis panjangmu itu. Kau tahu sendiri, aku tak suka
lelaki berkumis.”
Roman
pun mengangguk-angguk setuju. Ia paham tentang perasaan Rima. Ia tahu bahwa
pujaan hatinya itu hidup tanpa seorang ayah dan ibu. Ia tahu kalau ibu sang
pujaan meninggal setelah ditikam oleh ayahnya, seorang preman yang berkumis.
Hening
sejenak.
Rima
lantas berucap dengan wajah sendu, “Maafkan aku.”
Roman
tersenyum singkat. Ia memahami kalau atas perasaannya, Rima memang membutuhkan
waktu untuk berdamai dengan kenangan buruknya sendiri.
Sesaat
kemudian, mereka pun kembali menyesap sisa-sisa minuman, meski tanpa banyak
bercakap, seolah-olah mereka terjebak dalam nuasa hubungan yang menggantung dan
penuh teka-teki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar