Sabtu, 30 November 2019

Kumis

Untuk sesuatu yang tertahan sejak lama, Roman ingin menyelesaikannya malam ini juga. Setelah bertahun-tahun menjalani masa perkenalan, ia merasa sudah waktunya untuk melangkah ke jenjang pernikahan, bersama Rima, pujaan hatinya. Ia merasa kalau gadis itu adalah seseorang yang tepat untuk menjadi pendamping hidupnya, dan ia pasti akan bahagia.
 
Sejak pertama kali memandang Rima, Roman memang merasa telah menemukan perempuan yang ia idam-idamkan. Seorang yang serupa dengan ibunya sendiri. Tidak hanya serupa pada perihal rupa, tetapi juga perihal watak. Karena itu, Roman yakin kalau kelak, sang pujaan akan mendampinginya dengan sepenuh hati, sebagaimana sang ibu mendampingi ayahnya.

Roman memang sangat mengagumi ibunya yang sabar mencintai ayahnya yang pemarah. Ia menyaksikan sendiri, di usai pernikahan mereka yang lebih dari 25 tahun, sang ibu selalu sabar mencintai sang ayah, hingga tali pernikahan mereka tetap terjaga sampai saat ini. Atas gambaran itulah, ia pun mendambakan seorang pendamping hidup yang sempurna seperti ibunya.

Tak ingin kehilangan kesempatan, Roman pun tak ingin menunda waktu. Malam ini juga, ia bertekad untuk mengikat hati Rima yang ia yakini akan mencintainya dengan sempurna. Tentu saja, ia pun akan mencintai sang pujaan dengan sungguh-sungguh ketika kelak mereka menjadi suami-istri, dan ia tidak akan berperilaku temperamental seperti ayahnya terhadap ibunya.

Maka, di sebuah sudut ruang restoran yang lengang saat ini, Roman pun memulai kalimat yang akan berujung pada inti persoalan hatinya, “Aku kira kita sudah terlalu lama berbasa-basi dalam hubungan kita,” katanya, dengan mata yang seketika segan memandang sang pujaan yang duduk tepat di hadapannya.

“Kau tak menikmati hubungan pertemanan kita?” selidik Rima dengan raut wajah yang biasa, seolah Roman sedang merancang candaan baru.

Roman menggeleng-geleng dengan raut kalap. “Bukan begitu maksudku,” katanya, kemudian menghela-embuskan napas yang panjang. “Aku hanya berpikir, mungkin sudah waktunya kita memulai hubungan yang serius.”

“Serius? Maksudmu?” sergah Rima dengan raut wajah yang penuh tanya.

Roman lantas mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dari dalam sakunya. “Aku ingin kita menikah,” katanya, lantas menyibak dan menyodorkan benda tersebut ke hadapan sang pujaan. “Aku mohon, terimalah!”

Rima lantas terdiam dengan pandangan yang kosong. Ia lalu menghempaskan diri ke sandaran kursi.

“Aku mohon!” pinta Roman lagi.

Perlahan, Rima menggeleng pelan. “Aku rasa, terlalu buru-buru kau mengucapkan itu. Aku butuh waktu untuk mengenalmu lebih dalam.”

“Bukankah kita telah berteman sejak lama? Bukankah waktu sepanjang itu sudah cukup untuk memberimu keyakinan bahwa akulah lelaki yang terbaik bagimu?” tanya Roman, terkesan mendesak untuk sebuah persetujuan.

“Aku masih butuh waktu. Aku butuh waktu untuk menerima seseorang lelaki sebagai pendamping hidupku,” balas Rima dengan mata berkaca-kaca.

Roman pun terdiam, kemudian mengangguk pelan, seolah-olah menerima jawaban Rima saat ini. Dengan sedikit kecewa, ia lantas mengemas kembali sebuah cincin yang sempat ia tawarkan, kemudian kembali bertanya, “Apa yang harus kulakukan agar kau yakin pada kesungguhanku?”

Rima mendengus. “Kau tak harus melakukan apa-apa. Aku hanya butuh waktu.”

“Tapi, bolehkah aku mengucapkan permintaan itu di hari-hari esok?” tanya Roman dengan kepasrahan.

Rima mendengus. Ia lantas mengangguk pelan, dan lekas menimpali dengan raut serius, “Asal kau melakukannya tanpa kumis panjangmu itu. Kau tahu sendiri, aku tak suka lelaki berkumis.”

Roman pun mengangguk-angguk setuju. Ia paham tentang perasaan Rima. Ia tahu bahwa pujaan hatinya itu hidup tanpa seorang ayah dan ibu. Ia tahu kalau ibu sang pujaan meninggal setelah ditikam oleh ayahnya, seorang preman yang berkumis.

Hening sejenak.

Rima lantas berucap dengan wajah sendu, “Maafkan aku.”

Roman tersenyum singkat. Ia memahami kalau atas perasaannya, Rima memang membutuhkan waktu untuk berdamai dengan kenangan buruknya sendiri.

Sesaat kemudian, mereka pun kembali menyesap sisa-sisa minuman, meski tanpa banyak bercakap, seolah-olah mereka terjebak dalam nuasa hubungan yang menggantung dan penuh teka-teki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar