Pada
tanggal 27 Juni 2018, pesta demokrasi akan diselenggarakan di beberapa daerah.
Terhitung sebanyak 171 daerah akan mengadakan pemilihan kepala daerah (pilkada)
secara serentak. Jumlah tersebut terdiri dari 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Di
sisi lain, pemilihan umum (pemilu) secara serentak, akan diadakan pada 17 April
2019.
Pemilu
dan pilkada (pemilihan) sebagai wujud kedaulatan rakyat, pada dasarnya adalah gerbang untuk
memilih pemimpin yang sesuai dengan kehendak rakyat. Prosesi tersebut
diharapkan bisa menghasilkan pemimpin yang mampu menjalankan kepemimpinan
secara efektif, yaitu satu kepemimpinan yang disokong oleh daulat rakyat
sebagai dasar legitimasi menurut sistem demokrasi.
Legitimasi
bagi sebuah kepemimpinan, tentu sangat berpengaruh terhadap jalannya pemerintahan.
Lagitimasi menjadi landasan bagi pemimpin dalam memerintah. Pun, legitimasi
menjadi pegangan bagi yang dipimpin untuk merasa wajar dan seharusnya patuh
pada pemimpin. Pada titik inilah, penting untuk mengkaji daya legitimasi kepemimpinan
hasil pemilihan.
Dasar Legitimasi
Bicara
soal legitimasi pemerintahan, tentu tak dapat dilepaskan dari sistem kedaulatan
dalam suatu negara. Dengan kata lain, pada siapa kekuasaan tertinggi dalam
suatu negara diletakkan. Dan menurut teori ketatanegaraan, terdapat beragam
sistem kedaulatan yang mungkin dianut sebuah negara. Entah kedaulatan Tuhan,
kedaulatan hukum, ataukah kedaulatan rakyat.
Dalam
perwujudan kepemimpinan selanjutnya, pemangku kedaulatanlah yang kemudian memberikan
dasar legitimasi pada sebuah pemerintahan. Agar bisa dianggap sah, setiap
pemerintahan dalam suatu negara, harus mendapatkan mandat dari pemangku
kedaulatan. Mandat itulah yang kemudian menjadi dasar bagi sebuah pemerintahan untuk diakui dan dihormati oleh masyarakat.
Pada
konteks negara Indonesia, telah digariskan secara jelas dalam Pasal 1 ayat (2)
UUD NRI Tahun 1945 bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar”. Ini berarti bahwa pemerintahan yang sah dalam negara
indonesia, harus mendapatkan amanah dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan,
menurut ketentuan hukum.
Atas
dasar kedaulatan rakyat itulah, prosesi pemilihan hadir sebagai sarana bagi
penyampaian kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin. Pada tataran teknis, prinsip
suara terbanyaklah yang kemudian diakui sebagai mekanisme pemilihan,
sebagaimana tercantum dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, juga dalam
Perpu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang
telah disahkan sebagai undang-undang melalui UU No. 1 Tahun 2015, dan terakhir
diubah melalui UU No. 10 Tahun 2016. Ini
berarti bahwa individu warga negara punya hak yang sama dalam memilih, berdasarkan
prinsip one man one vote.
Akhirnya,
keterpilihan pemimpin pemerintahan dalam melalui pemilihan, khususnya di dalam
konteks negara, disandarkan pada jumlah perolehan suara yang merupakan
akumulasi dari suara orang per orang.
Calon pemimpin yang berhasil memperoleh suara dominan di antara calon yang
lain, serta berhasil memenuhi ambang batas yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan, kemudian ditetapkan sebagai pemimpin terpilih.
Penentuan
pemimpin berdasarkan prinsip suara terbanyak, akhirnya menjadi dasar legitimasi
kepemimpinan sebuah pemerintahan. Seberapa banyak jumlah pemilih untuk seorang
pemimpin yang terpilih, begitu pula kadar legitimasi bagi kepemimpinannya. Karena
itu, semakin sedikit pemilih untuk seorang pemimpin terpilih, atau sedikitnya
pemilih dalam prosesi pemilihan secara umum, juga akan melemahkan legitimasi
seorang pemimpin.
Ancaman Legitimasi
Kadar
legitimasi kepemimpinan hasil pemilihan berbasis suara orang per orang, tak
pelak, sangat ditentukan oleh jumlah partisipasi masyarakat pemilih. Kadar legitimasi
tersebut berbanding lurus dengan seberapa banyak pemilih dari jumlah keseluruhan
pemilih yang menyalurkan suarannya. Karena itu, sikap abai masyarakat atas
pemilihan, tentu menjadi satu ancaman bagi ketahanan sebuah pemerintahan,
khususnya menyangkut kadar legitimasi pemerintahan.
Ancaman
paling nyata bagi kadar legitimasi pemerintah hasil pemilihan adalah kehadiran
golongan putih (golput) yang kukuh untuk tidak menyalurkan suaranya, entah
karena pilihan politik, atau sikap masa bodoh. Walau secara teori, memilih untuk
tidak memilih dalam sistem demokrasi, juga dibenarkan, tapi dari aspek
legitimasi pemerintah, kaum golput tentu memberikan dampak yang negatif.
Berdasarkan
data yang dilansir KPU yang dilansir beberapa media, jumlah kaum golput dari total pemilih, masih terhitung
sangat besar, yaitu sekitar 25 persen. Pada pemilu
legislatif 2014, partisipasi pemilih sebesar
75,11 persen, sedangkan pada tahun 2009 sebesar 70,99 persen. Pada
pemilu presiden tahun 2014, pastisipasi pemilih sebesar 69,58 persen, sedangkan
tahun 2009 sebesar 71,17 persen. Di sisi lain, menurut keterangan KPU, seperti
dilansir di laman republika.co.id, rata-rata
partisipasi pemilih di pilkada serentak tahun 2015 berada pada kisaran 65-70
persen, sedangkan pada tahun 2017 berada di kisaran 70-75 persen.
Pengaruh negatif kaum golput bagi legitimasi pemerintahan tidak lepas dari roh pemilihan
sebagai momentum pengikatan kontrak politik antara rakyat sebagai pemegang
kedulatan dengan pemerintah sebagai pemangku mandat kedaulatan. Penyaluran suara
akan mengikat rakyat sebagai pemilih untuk merasa punya kepentingan atas jalannya
pemerintahan. Sebaliknya, tak memilih, berarti mengabaikan hak untuk proaktif dalam
pemerintahan, entah sebagai pendukung pemerintah atau opisisi.
Di
samping kaum golput, pemimpin yang lahir dengan melawan kotak kosong, khususnya dalam pilkada, juga
diperhadapkan pada legitimasi yang lemah. Hal itu terjadi karena prosesi pemilihan
tanpa alternatif pilihan, potensial melahirkan kaum golput yang merasa tidak punya
kepentingan sebab tidak punya calon pilihan. Kaum golput pada kondisi semacam
ini, memilih untuk tidak memilih sang calon tunggul, meski tidak juga memilih
kotak kosong.
Pada
sisi lain, meski bisa diandaikan bahwa pemilih yang tak punya calon pilihan
akan tetap menyalurkan hak pilih, paling tidak untuk mendelegitimasi calon
tunggal dengan memilih kotak kosong, hasilnya malah potensial melahirkan
kepemimpinan tanpa legitimasi, yaitu ketika kotak kosonglah yang menang.
Imbasnya, pemerintah daerah sementara yang diturunkan oleh pemerintah pusat, akhirnya memerintah
tanpa memiliki basis legitimasi sama sekali.
Bagaimana
kalau si calon tunggal akhirnya menang, bukankah itu berarti legitimasinya
semakin kuat karena ia tak punya pembanding saat pemilihan? Dugaan itu, bisa
jadi benar. Tapi sebaliknya, suara masyarakat yang terakumulasi secara dominan
untuk memilih calon tunggal hanya untuk menghasilkan pemimpin sendiri dan menghindari
pemimpin utusan pemerintah pusat, jelas hanya akan menghasilkan legitimasi yang
semu.
Mengokohkan Legitisimasi
Akhirnya,
tak ada cara terbaik untuk menjaga legitimasi pemerintah selain mengupayakan
kontes pemilihan yang partisipatif. Masyarakat diharapkan punya kesadaran akan
pentingnya berpartisipasi dalam pemilihan sebagai momentum untuk mengikatkan
harapan atas pembangunan di pundak pemerintah. Di sisi lain, penyelenggara pemilihan
harus berupaya mengadakan proses pemilihan yang akomodatif bagi penyaluran hak
suara para pemilih.
Pada
soal kesadaran masyarakat, sosialisasi pemilihan dan pendidikan politik secara
menyeluruh kepada para calon pemilih, penting untuk digalakkan, terutama kepada
pemilih pemula. Masyarakat harus diberikan pemahaman tentang korelasi
penyaluran suara kedaulatan mereka dengan legitimasi, efektivitas, dan kualitas
pemerintahan. Paling tidak, masyarakat bisa menyadari akan baiknya menyampaikan
hak secara aktif dalam perkara politik ketimbang pasif dan masa bodoh.
Selanjutnya,
penyelengaran pemilihan, dalam hal ini KPU, juga harus memusatkan perhatian
pada persoalan daftar pemilih. Penyelenggara pemilihan harus aktif mengupayakan
pendataan calon pemilih secara menyeluruh dan memberikan identitas tertentu
sebagai pemilih. Meski begitu, jikalau persoalan administratif dan pendataan
tak berjalan baik, maka penyelengara pemilihan harus akomodatif untuk
menjembatani penyaluran suara warga negara dengan berbekal KTP (Kartu Tanda
Penduduk).
Pada
sisi lain, partisipasi pemilih dan legitimasi pemimpin dari hasil pemilihan,
juga sangat tergantung pada niat baik dan kecerdasan politik para kontestan
pemilihan. Yang diharapkan, para kontestan mempraktikkan kontes politik yang
baik. Para kontestan harus menawarkan gagasan yang realistis dan menarik,
sehingga para pemilih tergerak untuk memilih secara rasional, yang juga akan
memberi pengaruh positif pada kadar legitimasi pemerintahannya sendiri. Para
kontestan harus menghindari praktik politik uang untuk membeli suara, sebab praktik semacam itu
hanya akan menghasilkan partisipasi dan legtimasi pemerintahan yang semu.
Tak
kalah penting dari semua itu adalah penguatan legitimasi pemerintahan pascakontes
pemilihan. Pemimpin yang lahir dari pemilihan, harus berupaya merangkul semua
individu masyarakat, sekalipun yang tidak memandatkan kedaulatannya pada proses
pemilihan, ataukah yang memberikan suaranya pada calon yang lain. Tindakan bijak
demikian akan memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa pemilihan hanyalah
proses untuk memperoleh pemimpin bersama, bukan momentum untuk memecah-belah
persatuan dan bersikap pasif terhadap jalannya pemerintahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar