“…we are the sum of all the moments
of our lives and that anybody who sits down to write is gonna use the clay of
their own life, that you can't avoid that.”
Sumber gambar: mafab.hu |
Bagaimana jika cerita fiksi hanyalah rekaan semata dari sebuah kenyataan hidup di masa lalu? Bagaimana jika seseorang yang dituliskan dalam sebuah cerita fiksi, datang dari masa lalu, kemudian hadir kembali dalam kehidupan seorang penulis? Bagaimana jika kenangan masa lalu yang disamarkan dalam sebuah cerita fiksi, kembali menyeruak dan mempertanyakan masa depan?
Paling
tidak, jawaban dari pertanyaan di atas, menjadi pokok cerita sebuah film
berjudul Before Sunset. Film yang
disutradarai Richard Linklater, serta dirilis tahun 2004 ini, menceritakan
seorang penulis bernama Jesse (diperankan Ethan Hawke) yang berhasil menggubah
sebuah novel popular tentang seorang wanita yang dicintainya di masa lalu,
Celine (diperankan Julie Delpy).
Film
yang berdurasi 80 menit ini, dan hampir seluruh adegannya cuma berisi percakapan
Jesse dan Celine, dilatarbelakangi oleh kisah masa lalu kedua tokoh tersebut. Sembilan
tahun sebelumnya, mereka sempat bertemu di atas sebuah kereta dari Budapest menuju
ke Wina. Pada momen itulah, mereka menjalani kisah romantis, sehingga mereka pun
mengikat janji untuk bertemu kembali di Wina enam bulan setelahnya, namun
pertemuan itu tak terwujud.
Setelah
terpisah selama sembilan tahun, sebenarnya Jesse tak pernah berharap kisah
mereka akan berlanjut. Sebagai penulis, Jesse hanya ingin menulis cerita untuk mengabadikan
kenangan manisnya bersama Celine di masa lalu. Paling tidak, ia cuma ingin
mengarsipkan kisah cintanya yang menggantung.
Kenyataan
kemudian membuat Jesse terperangah. Ketika sedang mempromosikan bukunya di salah
satu toko buku di Paris, tanpa terduga, Celine datang menampakkan diri. Seketika
juga, kenangan yang telah ia luruhkan dalam cerita fiksi, kembali menyeruak. Muncullah
tanya-tanya dari satu cerita yang telah ia tamatkan dalam sebuah novel.
Sebelum
waktu penerbangannya kembali ke Amerika, Jesse dan Celine pun berkeliling dan
menghabiskan waktu lebih dari satu jam. Mereka berdua larut dalam obrolan yang
panjang tentang bagaimana bisa mereka harus terpisah begitu lama, sampai hanya
menghasilkan satu cerita yang menggantung, entah di dalam kehidupan nyata atau
cerita fiksi.
Celine
memang bisa membaca jelas kalau dirinya menjadi tokoh dalam cerita novel Jesse.
Ia pun terus mengulik, dan Jesse memang tak bisa mengelak. Dan bagi Celine, ada
rasa yang aneh atas kenyataan tersebut, sebab ia harus menerima kenyataan bahwa
hubungan cintanya dengan Jesse akan abadi dalam cerita, meski tak demikian
dalam kenyataan:
“Reading something, knowing the
character in the story is based on you, it's both flatterin and disturbing at
the same time,” kata Celine.
Jesse
sontak bertanya, “How is it disturbing?”
“I don't know. Just being part of
someone else's memory,” kata Celine. “Seeing myself through your eyes.”
Mereka
pun terus menjalani obrolan yang panjang, entah di sebuah kafe, sepanjang
langkah berdua di taman kota, hingga perjalanan singkat di atas sebuah perahu.
Dan terkuaklah kalau takdir memang tak berpihak pada mereka. Janji mereka untuk
kembali bertemu di Wina, tak terwujud sebab di hari yang sama, nenek Celine
meninggal, sedang mereka tak berbagi kontak dan alamat.
Dan
takdir yang tak memihak, semakin terasa kala mereka tahu bahwa di tengah kerinduan
mereka bertahun-tahun, mereka pernah berada di titik yang berdekatan, tapi tak
pernah saling mengindrai. Mereka pernah berada di New York di waktu yang sama,
bahkan mereka bertetangga saat Jesse melangsungkan pernikahan di bawah
bayang-bayang Celine.
Terima
atau tidak, takdir telah membuat kebersamaan mereka tak patut untuk diharapkan
lagi. Jesse telah menikah dan memiliki seorang anak, sedangkan Celine yang
bekerja sebagai aktivis lingkungan, masih lajang. Dilemanya, mereka sungguh
masih saling mengharapkan. Karena itulah, Jesse sulit merasakan kebahagiaan
dalam perkawinannya, sedang Celine merasa kehilangan hasrat untuk membangun
relasi serius dengan lelaki lain setelah kisahnya dengan Jesse menggantung.
Meski
memiliki jalan takdir yang tak menyatu, Jesse dan Celine bisa menerima
kenyataan hidup. Mereka tak saling menyelahkan. Mereka, secara dewasa, mampu
menempatkan masa lalu hanya sebagi kenangan yang hanya patut untuk dikenangkan,
bukan untuk disesali dan dituntut. Mereka menjalani sesi perjumpaan, tanpa rasa
cinta karena benci, dan tanpa rasa benci karena cinta.
Bagi
Jesse dan Celine, berjumpa kembali setelah bertahun-tahun berpisah, sembari
mengulas kenangan bersama-sama, juga memperjelas sebab-sebab sampai semuanya berakhir
jadi kenangan, sudah lebih dari cukup. Mereka mencintai perpisahan, sebagaimana
mereka mencintai pertemuan:
“You want to know why I wrote that
stupid book?” pancing Jesse.
Celine
penasaran. “Why?”
Jelas
Jesse, “So that you might come to a
reading in Paris, and I could walk up to you and ask, ‘Where the fuck were
you?’”
“No, you think I'd be here today?” kata
Celine sambil tertawa.
“I'm serious. I think I wrote it, in
a way, to try to find you,” tegas Jesse.
Pada
akhirnya, mereka harus kembali berpisah. Mereka menjelang akhir perpisahan itu di
kediaman Celine. Dan sebelum kebersamaan mereka benar-benar berakhir, Celine pun
mendendangkan sebuah lagu yang mengisahkan tentang kenangan cinta mereka di
masa lalu, juga kerinduan yang menggebu dalam waktu yang lama, yang mungkin
akan kembali berulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar