Tak ada kemanusiaan dalam
peperangan. Untuk bertahan hidup, setiap orang harus membungkam nurani dan saling
membunuh. Ada yang membantai demi nafsu penjajahan, ada juga demi menggapai kemerdekaan.
Semua kukuh pada pendirian demi menjadi pemenang. Hingga yang tampak, akhirnya,
hanyalah kehancuran dan kematian di mana-mana.
Nurani yang terbungkam, menjadi
pemandangan umum dalam situasi penjajahan, termasuk dalam riwayat Indonesia zaman
dahulu. Para kolonialis yang datang mencuri sebesar-besarnya kekayaan alam
tanah air ini, berlawan dengan anak bangsa yang nasionalis. Berbunuh-bunuhanlah
mereka yang memang berada dalam posisi yang berlawanan.
Gambaran tidak manusiawi, juga terlihat
pada perang pasca Proklamasi Kemerdekaan. Belanda yang belum rela melepaskan
cengkeramannya di tanah Indonesia, berupaya bertahan dengan segala cara. Mereka
merongrong kekuasaan pemerintahan negara yang telah merdeka, entah dengan jalan
diplomasi yang picik, atau dengan agresi militer yang kejam.
Semangat para pejuang yang
mencitakan kemerdekaan sejati, akhirnya bergelora kembali. Mereka terus
berjuang, biarpun diburu dan dibunuh di tanah air sendiri. Pun, tak peduli jika
harus berlawan dengan sesama anak bangsa yang bersekutu dengan penjajah demi
keistimewaan dari imperium kolonial. Semua adalah musuh-musuh revolusi bagi
pejuang.
Pasca kemerdekaan diproklamasikan, memang
kesadaran berbangsa dan persatuan nasional belumlah utuh. Sistem kolonial yang
begitu lama bercokol, telah menginfeksi jiwa sebagian anak bangsa untuk
menjajah bangsanya sendiri. Karena itu, perjuangan mempertahankan kemerdekaan,
mau tak mau, juga berarti melawan anak bangsa yang prokolonial.
Politik adu domba yang mengakar,
tak pelak, mengaburkan batas-batas antara lawan dengan kawan. Di dalam lingkup
masyarakat, para pejuang bisa saja berlawan dengan tetangga mereka sendiri.
Pun, dalam lingkup keluarga, para pejuang kadang kala berlawan dengan anggota
keluarga mereka sendiri.
Keluarga Amilah dalam roman karya
Pramoedya Ananta Toer berjudul Keluarga Gerilja (cat: masih menggunakan ejaan
lama), mampu menggambarkan dengan baik kondisi penjajahan yang membungkam nurani.
Dengan latar waktu tiga-hari-tiga-malam pada awal tahun 1949, di Jakarta, roman
tersebut mengisahkan satu keluarga yang porak-poranda dihantam laku kolonial.
Gubahan Pramoedya yang terbit tahun
1950 ini, mampu membawa kesadaran pembaca pada situasi penjajahan yang membunuh
kemanusiaan. Dengan menggunakan sudut pandang sebagai pencerita, Pramoedya
menggambarkan gejolak batin setiap tokoh dalam 13 subpenceritaan. Nurani para
tokoh yang penuh kekalutan, dinarasikan oleh sang maestro ke dalam kata-kata
yang penuh kegetiran.
Dikisahkanlah Amilah, seorang wanita
tua yang harus menderita karena menanggung beban masa lalu. Semasa perjuangan
kemerdekaan, kala masih gadis, ia adalah idaman para lelaki di tangsi militer
KNIL. Ia pun bercinta dengan beberapa lelaki, di antara adalah sorang Belanda yang
dipanggilnya Letnan “Gedergeder”, lelaki Manado, Benni, dan seorang lelaki Jawa,
Paijan, yang akhirnya menikah dengannya. Akhirnya, ia melahirkan tujuh orang
anak dari ayah yang berbeda-beda.
Hiduplah Amilah dalam keadaan
miskin bersama anak-anaknya di sebuah rumah yang sangat sederhana. Hanya pada
Saaman, anak tertua yang berkerja sebagai tukang becak, Amilah menggantungkan
hidupnya sekeluarga. Karena itu pula, Amilah menjadi sangat pilih kasih pada
anak-anaknya. Ia lebih menyayangi Saaman yang selalu memberinya uang belanja
yang cukup. Apalagi Saaman lahir sebagai buah percintaannya dengan Benni, seorang
lelaki yang sangat ia cintai.
Saaman memang menjadi tumpuan
satu-satunya bagi Amilah. Saaman adalah anak lelakinya yang tertua, berumur 24
tahun, dan begitu peduli pada perekonomian keluarga. Apalagi anak laki-lakinya
setelah Saaman, Tjanimin dan Kartiman, sama-sama telah menjadi gerilyawan selama
4 tahun di tengah hutan yang berjarak 39 kilometer darinya. Kedua anaknya itu,
pergi berjuang dan tak ia harapkan lagi untuk kembali.
Atas kasih sayangnya pada Saaman, wajarlah
jika kewarasan Amilah menjadi kacau ketika Saaman ditangkap oleh tentara
Belanda dan dibawa entah ke mana. Ia mengutuki semua keadaan yang dianggapnya
semena-mena. Ia berang karena menganggap tentara Belanda telah salah menangkap
Saaman yang ia sangka tak mungkin terlibat dalam berisan perjuang melawan
pemerintah kolonial.
Ditahannya Saaman, membuat Amilah kehilangan
pegangan hidup bersama empat orang anaknya yang lain, yaitu Salamah, Fatimah,
Salami, dan Hasan. Ia pun mengerahkan segala daya dan upaya agar anak
kesayangannya itu bisa kembali. Hingga datanglah Sersan Kasdan memberi kabar
agar Amilah mengutus Salamah, anak perempuannya yang tertua dan cantik jelita,
hasil hubungannya dengan Letnan “Gedergeder”, untuk menjemput Saaman di sebuah
tempat.
Tanpa rasa curiga sedikit pun, pergilah
Salamah ke satu tempat yang dijanjikan. Pergi seorang diri, sebagaimana
perintah. Dan nahas bagi Salamah, sebab Sersan Kasdan hanyalah seorang penipu
yang akhirnya menjebak dan memerkosanya demi membalaskan dendam pada Saaman
atas kematian ayahnya. Sedang Saaman sendiri tengah meringkuk di tempat lain, di
sebuah sel khusus untuk terpidana mati, yang hanya berjarak kurang dari satu
kilometer dengan rumahnya.
Di satu sel kecil itulah, Saaman
menanti kematiannya. Ia dijatuhi hukuman mati setelah mengaku dengan
sejujur-jujurnya kalau ia adalah seorang pejuang kemerdekaan berkedok tukang
becak. Secara diam-diam, ia telah mengerahkan orang-orang untuk memusuhi pemerintah,
sampai membunuh 56 orang kolonialis. Dan atas idealismenya, Saaman tak ingin
melakukan upaya apa-apa untuk lolos dari hukuman mati itu. Grasi ke ratu
Belanda pun, tak hendak ia ajukan.
“Aku
senang karena telah mempergunakan hidupku sebagai jang sudah kutentukan sendiri,” batin Saaman dalam selnya (hlm. 101).
Sebagai seorang pejuang sejati, Saaman
sungguh memegang teguh nurani dan prinsip-prinsip kepahlawanan, sebagaimana
yang pernah ia pesankan pada adik bungunya, Hasan:
“...
Asal engkau pandai. Asal engkau berani. Asal engkau punja pendirian. Asal engkau
sehat. Nanti kalau engkau sudah besar engkau bisa djadi djenderal. Engkau boleh
memimpin pasukan. Beribu-ribu banjaknja, berpuluh ribu opsir dan pradjurit.
Asal engkau djudjur.”
“Djujur
djuga?” tanya Hasan.
“Tentu,
Hasan. Kalau engkau tak djudjur, dosamu banjak. Dan kalau dosamu banjak, engkau
takut mati. Engkau takut luka. Engkau djadi takut berperang.” (hlm.
23)
Di sisi bumi yang lain, Kartiman sedang
bergerilya dan menantang kematian. Ia berjuang mempertaruhkan nyawa. Hingga
muncul firasat dalam dirinya sendiri kalau maut akan segera datang menjemputnya.
Firasat kematian itu, menyeruak seiring terbayangnya dosa besar yang ia lakukan
di masa lalu. Satu dosa pada anggota keluarganya sendiri. Sampai benarlah, ia mati
tertembak musuh saat sedang menggempur iring-iringan kendaraan Belanda beserta
antek-anteknya.
Tak lama setelah gugurnya Kartiman,
kakak sekaligus teman seperjuangannya, Tjanimin, juga meregang nyawa. Atas
informasi mata-mata, Belanda tahu juga keberadan kopral gerilya itu. Ia pun terkepung
di sebuah rumah warga seusai pemakaman Kartiman. Ia terkepung bersama Ratni,
istri Kartiman, kala mereka tengah membahas rancana kehidupan di masa depan. Hingga
ia pun mati tertembak, tanpa perlawanan. Satu kematian yang sedari dulu ia
sadari akan datang juga membalas dosa besarnya, sebagaimana Kartiman.
Selang kematian Tjanimin, Saaman
pun memasrahkan diri untuk mati diberondol peluru. Ia menyambut kematian dengan
penuh penerimaan. Ia menerima sepenuh hati hukuman mati atas dirinya, tanpa
rasa takut sedikit pun. Kematian adalah kehormatan baginya sebagai pejuang.
Kematian, juga berarti ketenangan yang akan mengenyahkan hantu atas dosa
besarnya di masa lalu, sebagaimana kedua adiknya. Karena itu, ia bahkan meminta
kepada Karel van Keeling, seorang peranakan (berayah Belanda, beribu Indonesia),
direktur tahanan yang diam-diam bersimpati pada perjuangannya, untuk mempercepat
eksekusi.
“Kalau
djiwa sudah bertentangan dengan badan, kalau perbuatan jang didjalankan djauh
bertentangan dengan kesutjian jang ada dalam tjita-tjitanja, itulah suatu tanda
badan itu harus dibunuh untuk memenangkan djiwa. Untuk memenangkan kesutjian
jang ada dalam tjita-tjita,” kata Saaman kepada
Karel van Keerling yang terus menyarankan upaya kepadanya untuk lolos dari
hukuman mati, kemudian melanjutkan,
“Kalau bukan diri sendiri jang membunuh badan itu, maka orang lainlah yang
harus membunuhnja.” (hlm. 107).
Dan kepada Karel, lagi-lagi, Saaman
menegaskan penentangannya untuk mengemis hidup. Ia lebih baik mati ketimbang tunduk
dan menghamba pada laku kolonialis:
Segala
kekedjaman dan kekedjian datang dari mereka yang mempertahankan kedudukan
perseorangan. Mempertahankan harta bendanja.” Saaman menahan tertawanja dan
berkata lagi. “Tuan tidak pernah tahu, bagimana satu keluarga hantjur seperti
serumpun bambu habis dimakan api. Tuan belum pernah liat betapa seorang
nenek-nenek memanggul sendjata mempertahankan tanahairnja. Tuan pasti tidak
pernah melihat kanak-kanak dari tudjuh tahun menggeranati konvoi inggeris,
karena ibu-bapaknja dibakar hidup-hidup oleh apa jang dinamainja musuhnja.
Semua itu pernah kulihat disini, di Djakarta tahun empatlima. Dan tuan
sekarang,” Ia tertawa keras-keras, seperti dia sendirilah direktur pendjara,
kemudian meneruskan dengan suara tertahan-tahan “Alasan tuan alangkah ketjil,
nasib keluarga.” Dan sekarang, meledaklah tertawanja sedjadi-djadinya.
Dan
direktur itu mendalamkan tunduknja. Nampak mukanja sangat lesu dan bibirnja
djadi biru.
Saaman
meneruskan tertawanja, “Supaya tuan bisa makan terus, terus, terus, terus,
terus sampai mati. Supaya tuan busa menikmati rahmat bumi. Supaya, supaya,
supaya tuan bisa berkasih-kasihan dengan anak-anak tuan. Dan berhangat-hangat
dengan bini,” Tertawanya kian lama kian menurun, achirnja hilang…
(hlm. 142)
“Ja,
tahulah aku sekarang, orang jang ada dibawah kuntjiku disini belum tentu
pendjahat. Aku tahu bahwa banjak diantara orang-orang disini dengan sungguhhati
berdjuang untuk tanahairnja dan rela djuga memberikan djiwanja. Aku tahu. Aku
tahu. Dan mereka itu semua aku anggap sebagai musuhku sendiri tadinja. Tuan
tahu -musuh dari nasib baikku. Musuh dari keluargaku. Musuh dari kedudukanku
jang baik. Musuh gadjiku. Musuh dari seluruh kesenanganku.
(hlm. 142-143).
Akhirnya, matilah Saaman, Kartiman,
dan Tjanimin. Tiga saudara seibu yang sejatinya berbeda ayah itu, telah terjebak
dalam dosa masa lalu yang mengantarkan mereka pada kematian. Satu dosa besar
yang menjadi rahasia mereka bertiga. Mereka telah bersekongkol untuk membunuh
Paijan, seorang lelaki yang telah menjadi sosok ayah bagi mereka. Mereka
membunuh Paijan, sebab lelaki tua itu menghambakan diri pada penjajah. Mereka
membunuh Paijan, demi perjuangan mereka pada kemerdekaan bangsa.
Dari renungan Tjanimin sebelum
meninggal, tergambarlah alur peristiwa memiriskan itu:
“Tahu?
Aku sudah diangkat djadi kopral lagi,” katanja lagi (Paijan).
…Dan
Kartiman nampak hitambiru mukanja. Ia (Tjanimin) memandang Saaman, kakaknja jang tertua dan
berkata:
“Kak,
Aman, tjoba lihat! Bangsat betul!” katanja berbisik. “Di Atjeh, dibunuhnja
orang Atjeh. Di bali dibunuhnja orang Bali. Di Sulawesi. Di Borneo. Bangsat!
Sekarang dia disini dengan tanda-pangkat pembunuhnja. Tahu siapa jang akan
dibunuhnja sekarang? Nanti? Tahu? Aku! Kau! Kita semua, anak-anaknja. Dan
dirinja sendiri.”
Ia
menunduk berpikir. Kartiman djuga. Saaman Djuga. Kemudian ketiga-tiganja
mendjauh. Dan achirnja Saaman berbisik:
“Lebih
baik singkirkan dia,” bisiknja. “Kalau tidak, seluruh keluarga kita pasti
dimakan bambu runtjing.”
Dan
Kartiman mengangguk. Ia djuga, Tjanimin. Kemudian ketiga-tiganja memandang
Paijan. (hlm. 40)
…Achirnja
ia dan Saaman dan Kartiman membawanja ketepi Tjiliwung, dibawah djembatan. Hari
terang bulan. Dan saksi tidak ada selain alam sendiri. Paijan mabok oleh wiski
baru. Dan Kartiman menembaknya dengan cold tjap kuda pada kepalanya. Kemudian
bangkai itu disepaknya keair. Achirnja Saaman berbisik:
“Bapak
sudah djadi manusia sedjati sekarang. Sudah djadi mait dia. Mari kita hormati.”
Ia
dan Kartiman dan Saaman menundukkan kepala. Tak bergerak. Presis hamba Nippon
menjembah istana Tennoo.
“Bapak
meninggal dalam keadaan mabok. Dalam keadaan senang. Dan tak ada alasan bagi
kita untuk bersedihhati.” (hlm. 46).
Kini, matilah ketiga pejuang
bersaudara itu. Mati terbunuh demi perjuangan membebaskan bangsa sendiri dari
belengggu penjajahan. Mati di tempat yang berbeda-beda di tanah air sendiri,
tapi dengan satu semangat perjuangan yang sama, yaitu mewujudkan kemerdekaan
yang sejati sebagaimana cita-cita Proklamasi Kemerdekaan. Mereka mati secara
terhormat sebagai pejuang yang tak kenal kompromi pada penjajah dan
antek-anteknya, meski harus membungkam nurani mereka sendiri.
Di atas kuburan Saaman, berdukalah Amilah
begitu dalam. Ia meratapi harapan hidupnya yang mati bersamaan dengan matinya
Saaman. Ia merasapi kegalauan hidupnya sepeninggal Saaman yang tak ia sangka-sangka
gugur sebagai seorang gerilyawan yang senyap. Sampai akhirnya, duka yang begitu
dalam setelah ditinggal pergi, membuat Amilah meninggal di atas kuburan Saaman,
menyusul sang anak di alam kematian.
Di hari itu juga, berkunjunglah
Karel van Keerling untuk memberikan penghormatan kepada Saaman secara
diam-diam. Datang juga mantan kekasihnya, Zainab Juliati, bersama suaminya yang
seorang marinir, yang akhirnya ia tahu, memiliki cinta yang tak sesuci cinta Saaman.
Pun, datang pula Salamah dan adik-adiknya, juga Darsono, seorang lelaki yang
mencintainya, yang tetap menerima keadaannya yang telah ternoda, serta bersedia
menghidupinya sekeluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar