Selasa, 08 Mei 2018

Hantu Politikus

Baru beberapa hari lalu, tepatnya hari Minggu, 29 April 2018, peristiwa memilukan terjadi di pagelaran CFD (Car Free Day) di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. Saat itu, seorang ibu bersama anaknya diseruduk sekelompok orang karena persoalan simbol politik. Hanya karena mengenakan baju bertuliskan #DiaSibukKerja, keduanya dikerumuni dan disoraki sekawanan orang yang mengenakan kaos bertuliskan #2019GantiPresiden. Sang ibu pun tampak berupaya menyeret anaknya yang terus menangis-ketakutan, agar menjauh dari kerumunan orang yang tampak beringas.
  
Nuansa politik yang kental, akhirnya membuat peristiwa itu viral di jagad maya. Pihak-pihak yang sedari awal terpolarisasi menuju kontes pemilihan presiden, saling menyalahkan dan membela diri. Ada yang merespons kalau perilaku tersebut sungguh tidak terpuji, bahkan patut untuk dipidanakan. Di sisi lain, tak sedikit yang menganggap itu wajar saja, sembari menyalahkan si ibu yang berani-beraninya mengenakan kaos dengan slogan politik yang berbeda di tengah kerumuman mereka yang seragam.

Respons yang bertolak belakang atas kejadian persekusi politis di ruang publik itu, setidaknya mempertegas kondisi bahwa sebagian orang sudah larut dalam emosi politiknya. Mereka kukuh pada keberpihakan politiknya, tanpa peduli pada pihak lain. Demi keberpihakan politik, mereka berupaya membenarkan tindakan tak terpuji. Hingga, di antara mereka, ada juga yang hatinya telah disumbat oleh teror konspirasi ala-ala, sampai menafsir kalau aksi persekusi itu hanya setingan pihak tertentu untuk menjelek-jelekkan kelompok mereka.

Emosi politik yang menyumbat akal sehat, sebenarnya bukan kali ini saja terjadi. Paling tidak, pada beberapa waktu belakangan, telah terjadi semacam fenomena yang menunjukkan bahwa orang-orang mulai tak bisa memisahkan nalar dari nuansa politis yang gaduh. Hantu PKI (Partai Komunis Indonesia) misalnya, yang beberapa bulan lalu sempat merebak, mampu juga membuat sebagaian orang menyimpulkan bahwa orang tak waras yang menyerang pemuka agama adalah antek-antek PKI. Mereka meyakini bahwa orang-orang gila tersebut adalah suruhan oknum PKI untuk melakukan serangan secara terorganisir dan masif kepada beberapa pemuka agama.

Masuknya imigran dari negara China yang berideologi komunis, juga tak kalah menakutkan bagi sebagian orang di waktu-waktu belakangan. Mereka meyakini bahwa dengan berkedok sebagai tenaga kerja, orang China sebenarnya hendak menginvasi negara ini secara diam-diam. Mereka percaya bahwa para imigran dari China berencana untuk menaklukkan negara ini, tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga secara politik. Bagi mereka yang kadung percaya adanya agenda terselubung imigran China, bahkan memprediksi bahwa tinggal menunggu waktu saja sampai akhirnya imigran asal China itu menjajah dan membantai warga di negara ini.

Ketakutan pada imigran China, akhirnya berimbas pada semua aspek yang terkait dengan China. Sebagian orang mulai ketakutan mengkonsumsi produk-produk yang bernuansa China, karena menduga ada agenda terselubung di dalamnya. Mereka percaya bahwa produk China tidak hanya menyerang perekonomian negara, tetapi juga mengandung zat-zat tertentu yang sengaja ditujukan untuk meracuni warga negara ini. Hingga, merebaklah isu beras plastik, telur palsu, dan segala macam produk olahan China yang diduga palsu, yang kemudian diyakini sebagian orang sebagai kebenaran.

Penyebar Hantu

Emosi yang tersulut akibat nuansa politis yang panas, kini menyebar bak hantu. Orang-orang mulai kerasukan untuk bertindak atau mengambil sikap secara spontan, sesuai fatwa pihak politiknya, tanpa nalar kritis. Peristiwa atau objek tertentu, senantiasa dilekatkan pada peristiwa atau objek politis tertentu. Mereka yang percaya pada invasi tenaga terja China, dengan mudah mendakwa pihak yang tak percaya sebagai penyembah pemerintahan sekarang yang dicap pro China. Mereka yang percaya kebenaran PKI beserta agenda-agendanya, memvonis orang yang tak percaya, atau setidaknya tak bereaksi, adalah pendukung PKI, sebagaimana juga pemerintahan sekarang.

Situasi dan kondisi yang serba politis, semakin diperparah oleh kegandrungan media pers untuk memberitakan isu-isu tersebut di tataran permukaan saja, tanpa berusaha mendalami fakta yang sesungguhnya. Ditambah lagi, kegilaan orang-orang dalam menggembar-gemborkan isu tersebut di media sosial, tanpa sikap kritis sama sekali, tapi hanya demi memamerkan keberpihakan politiknya saja. Yang terjadi akhirnya, masyarakat luas yang tak terdidik menganalisis fakta, dipaksa memilih di antara dua posisi: percaya atau tidak, hanya atas pertimbangan dan sentimen politis, tanpa ada sedikit pun ruang dan waktu untuk bersama-sama mengoreksi pengetahuan dangkal masing-masing.

Jelas saja, keadaan yang runyam itu, tak lepas dari agenda-agenda politik para politisi yang berusaha mencari celah untuk menjelek-jelekkan pihak lawan. Tujuannya tiada lain untuk membangun citra baik bagi kelompok politiknya sendiri. Paling tidak, kondisi ini terbaca jelas dari sikap politik pihak oposisi yang senantiasa berseberangan dengan pemerintah dalam menanggapi isu terkait tenaga kerja China, PKI, dan semacamnya. Bahkan secara nyata, para politisi yang saling berseberangan, tampak menggunakan isu-isu tersebut sebagai bahan untuk saling membusuk-busukkan.

Tampak memang bahwa isu-isu menakutkan di tengah masyarakat saat ini, tak bisa dilepaskan dari agenda para politisi. Isu demikian sengaja digunakan oleh para politikus haus kekuasaan untuk diramu serupa hantu-hantu, agar kemudian, ia punya kesempatan untuk tampil sebagai malaikat. Di tengah posisi politik yang berseberangan, mereka akan tampil sebagai pembasmi hantu, sedang pihak lain kemudian dicap sebagai sekutu hantu. Nilai para pihak politisi di tengah masyarakat, akhirnya hanya dilihat pada sikap pro-kontra pada hantu yang bergentayangan, tanpa mempermasalahkan siapa pencipta dan benarkah adanya para hantu. Nahasnya, sebagian masyarakat pun turut saja pada polarisasi akibat hantu itu, tanpa hendak keluar dari persilangan pro-kontra yang penuh intrik politik.

Terjadilah sudah, sebagian masyarakat dirasuki hantu-hantu politik secara tidak sadar. Dalam ketidaksadaran itu, mereka yang terlanjur terperdaya, semakin kukuh saja pada pilihan politiknya, yaitu bersama mereka yang berkoar-koar sebagai pembenci dan pembasmi hantu. Dan di dalam ketidaksadarannya itu, mereka yakin berada dalam kondisi sadar di jalan kebenaran. Mereka secara bergerombol, tak henti-henti untuk saling meyakinkan diri kalau tengah berada di ruang kewarasan, sehingga tak mungkin bisa diseret keluar dengan argumentasi apa pun.

Tak heran kemudian, sebagian masyarakat yang terperdaya hantu politikus, mulai melakukan tindakan-tindakan emosional yang dianggapnya sebagai wujud pemahaman yang benar. Mereka yang terlanjut percaya pada hantu-hantu politikus mulai melakukan tindakan-tindakan secara mandiri, tanpa perlu dipancing lagi, atau tanpa perlu bakaran semangat dari petinggi-petingi politik yang mereka junjung. Mereka melakukan semuanya dalam kesadaran yang sejatinya semu, asalkan sejalan dengan kerangka umum dari para politisi junjungan mereka.

Di sisi lain, para politikus yang menciptakan hantu-hantu politik, hanya duduk dan tertawa, sembari berpesta atas keberhasilan propaganda politik mereka. Mereka tak perlu lagi turun tangan, sebab hantu-hantu politik telah menyatu dengan jiwa para partisan, yang akan melaksanakan agenda politik mereka tanpa perlu komando. Mereka tak perlu lagi susah payah dan mengotori diri untuk mencari pendukung baru, sebab hantu-hantu itu, akan berusaha mengagitasi jiwa-jiwa lain secara otomatis. Mereka tak perlu khawatir ketahuan sebagai politikus busuk, sebab orang-orang yang tak sadar tengah dirasuki hantu buatan, tak akan menganggap apa yang mereka lakukan sebagai sikap politik, tetapi satu sikap yang mereka klaim idelogis, demi menegakkan kebenaran, katanya.

Butuh Akal Sehat

Akhirnya, yang dibutuhkan untuk kembali menertralkan keadaan yang terlanjut beringas akibat ulah hantu-hantu ciptaan para polikus adalah kembali bernalar dengan diri sendiri. Setiap orang yang tengah diperdaya oleh hantu politik, atau mereka yang mata hati dan pikirannya mulai diburamkan para propagandis kerasukan, sudah seharusnya tak memercayai siapa pun, terutama paranormal politik, kecuali dirinya sendiri. Sebelum mengambil sikap, setiap orang patut untuk hanya percaya pada dirinya sendiri, lalu mulai mempertanyakan isu-isu yang berseliweran di mana-mana secara kritis.

Berdiri pada posisi kritis, menandakan bahwa seseorang tidak berada dalam kondisi taklid buta pada seorang tokoh atau kelompok politik tertetu. Ia memosisikan diri sebagai subjek pencari kebenaran yang terus mencari. Ia tahu bahwa selama pencari kebenaran terus membenarkan satu pendapat secara membabi buta, tanpa syarat, maka selama itu pula, ia rentan dirasuki tipuan para politisi. Selama seseorang memosikan diri sebagai objek kebenaran semata, maka yang diyakininya sebagai kebenaran, hanyalah apa yang dikatakan sebagai kebenaran oleh yang dipertuan, meskipun itu sejatinya kebohongan.

Bersikap kritis terhadap satu hal atau peristiwa di masa-masa menjelang pesta demokrasi seperti sekarang, tentu harus menjadi prinsip bagi setiap orang. Hal itu karena apa yang diperbincangkan oleh elit-elit politik, tak lepas dari kepentingan politik. Dan pada tataran politik praktis, sudah lumrah bahwa apa yang dikatakan para politisi seringkali bukanlah soal benar atau salah, tapi soal menguntungkan atau tidak. Apa yang mereka katakan, hanya demi kepentingan diri atau kelompok politiknya saja. Oleh sebab itu, setiap orang yang ingin bebas dari kegaduhan dan keberingasan politik, harus cerdas menganalisis sebuah permasalahan dalam ruang dan situasi politik yang penuh dengan tipu muslihat, seperti sekarang. 

Ringkasnya, masyarakat sudah seharusnya kritis terhadap isu-isu yang dilemparkan oleh para politikus. Setiap individu masyarakat sudah semestinya menggunakan akal sehatnya dan tidak bersikap emosional atas sebuah informasi. Maka biarlah, misalnya, persoalan isu adanya rekayasa persekusi di CFD, penyerangan pemuka agama yang terorganisisr oleh orang gila antek PKI, atau invasi imigran gelap dari China, ditelusuri dan dibuktikan kebenarannya oleh pihak penegak hukum. Biarlah soal telur palsu, atau beras palsu, dibuktikan kebenaralnnya oleh para ahli pakan di labratorium. Atas dasar temuan penegak hukum dan para ahli pakan itulah, masyarakat kemudian melakukan penelaahan secara menyeluruh, lalu mengambil sikap yang tepat. Janganlah persoalan benar-tidaknya isu tersebut, ditumpukan pada ramalan para politisi semata.

Sebagai individu yang merdeka untuk berpikir, jelas masyarakat punya kuasa penuh untuk mencari kebenaran yang sebenar-benarnya, sehingga patut mengkritisi pendapat siapa pun. Dan sikap kritis itu, tentu sangat dibutuhkan di dalam iklim politik yang terkesan membodohi. Setidaknya, kalau para politisi semakin tidak waras, biarlah nanti kedaulatan rakyat di tangan indiviu masyarakat, mengubah keadaan itu. Janganlah malah sebaliknya, bahwa masyarakat banyak yang notabene berakal orang per orang, dibuat gila begitu saja oleh hantu-hantu politik yang sengaja diciptakan oleh segelintir politikus tak berhati.

Akhirnya, yang diperlukan sekarang adalah kecerdasan masyarakat untuk mencermati setiap isu yang bekembang. Masyarakat harus cerdas mengamati alasan di balik komentar para politisi atas satu peristiwa di media pers atau media sosial, untuk selanjutnya, melakukan pengamatan secara jeli. Jika memang peristiwa tersebut benar, benarkanlah, meski itu disalahkan oleh politisi junjungan sendiri. Sebaliknya, jika memang peristiwa tersebut salah, maka salahkanlah, meski dibernarkan oleh para politisi agungan sendiri. Selanjutnya, sisa memilihlah, apakah tetap tetap berpihak pada politisi penyebar kesalahan (baca: hantu kebohogan), atau tidak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar