Baru
beberapa hari lalu, tepatnya hari Minggu, 29 April 2018, peristiwa memilukan
terjadi di pagelaran CFD (Car Free Day) di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. Saat itu, seorang ibu
bersama anaknya diseruduk sekelompok orang karena persoalan simbol politik.
Hanya karena mengenakan baju bertuliskan #DiaSibukKerja, keduanya dikerumuni
dan disoraki sekawanan orang yang mengenakan kaos bertuliskan
#2019GantiPresiden. Sang ibu pun tampak berupaya menyeret anaknya yang terus
menangis-ketakutan, agar menjauh dari kerumunan orang yang tampak beringas.
Nuansa
politik yang kental, akhirnya membuat peristiwa itu viral di jagad maya.
Pihak-pihak yang sedari awal terpolarisasi menuju kontes pemilihan presiden,
saling menyalahkan dan membela diri. Ada yang merespons kalau perilaku tersebut
sungguh tidak terpuji, bahkan patut untuk dipidanakan. Di sisi lain, tak
sedikit yang menganggap itu wajar saja, sembari menyalahkan si ibu yang berani-beraninya
mengenakan kaos dengan slogan politik yang berbeda di tengah kerumuman mereka
yang seragam.
Respons
yang bertolak belakang atas kejadian persekusi politis di ruang publik itu,
setidaknya mempertegas kondisi bahwa sebagian orang sudah larut dalam emosi
politiknya. Mereka kukuh pada keberpihakan politiknya, tanpa peduli pada pihak
lain. Demi keberpihakan politik, mereka berupaya membenarkan tindakan tak
terpuji. Hingga, di antara mereka, ada juga yang hatinya telah disumbat oleh
teror konspirasi ala-ala, sampai menafsir kalau aksi persekusi itu hanya
setingan pihak tertentu untuk menjelek-jelekkan kelompok mereka.
Emosi
politik yang menyumbat akal sehat, sebenarnya bukan kali ini saja terjadi.
Paling tidak, pada beberapa waktu belakangan, telah terjadi semacam fenomena
yang menunjukkan bahwa orang-orang mulai tak bisa memisahkan nalar dari nuansa
politis yang gaduh. Hantu PKI (Partai Komunis Indonesia) misalnya, yang beberapa
bulan lalu sempat merebak, mampu juga membuat sebagaian orang menyimpulkan
bahwa orang tak waras yang menyerang pemuka agama adalah antek-antek PKI. Mereka
meyakini bahwa orang-orang gila tersebut adalah suruhan oknum PKI untuk
melakukan serangan secara terorganisir dan masif kepada beberapa pemuka agama.
Masuknya
imigran dari negara China yang berideologi komunis, juga tak kalah
menakutkan bagi sebagian orang di waktu-waktu belakangan. Mereka meyakini
bahwa dengan berkedok sebagai tenaga kerja, orang China sebenarnya hendak menginvasi
negara ini secara diam-diam. Mereka percaya bahwa para imigran dari China berencana
untuk menaklukkan negara ini, tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga secara
politik. Bagi mereka yang kadung percaya adanya agenda terselubung imigran
China, bahkan memprediksi bahwa tinggal menunggu waktu saja sampai akhirnya imigran
asal China itu menjajah dan membantai warga di negara ini.
Ketakutan
pada imigran China, akhirnya berimbas pada semua aspek yang terkait dengan
China. Sebagian orang mulai ketakutan mengkonsumsi produk-produk yang bernuansa
China, karena menduga ada agenda terselubung di dalamnya. Mereka percaya bahwa
produk China tidak hanya menyerang perekonomian negara, tetapi juga mengandung
zat-zat tertentu yang sengaja ditujukan untuk meracuni warga negara ini.
Hingga, merebaklah isu beras plastik, telur palsu, dan segala macam produk
olahan China yang diduga palsu, yang kemudian diyakini sebagian orang sebagai kebenaran.
Penyebar Hantu
Emosi
yang tersulut akibat nuansa politis yang panas, kini menyebar bak hantu.
Orang-orang mulai kerasukan untuk bertindak atau mengambil sikap secara
spontan, sesuai fatwa pihak politiknya, tanpa nalar kritis. Peristiwa atau
objek tertentu, senantiasa dilekatkan pada peristiwa atau objek politis
tertentu. Mereka yang percaya pada invasi tenaga terja China, dengan mudah
mendakwa pihak yang tak percaya sebagai penyembah pemerintahan sekarang yang
dicap pro China. Mereka yang percaya kebenaran PKI beserta agenda-agendanya,
memvonis orang yang tak percaya, atau setidaknya tak bereaksi, adalah pendukung
PKI, sebagaimana juga pemerintahan sekarang.
Situasi
dan kondisi yang serba politis, semakin diperparah oleh kegandrungan media pers
untuk memberitakan isu-isu tersebut di tataran permukaan saja, tanpa berusaha mendalami
fakta yang sesungguhnya. Ditambah lagi, kegilaan orang-orang dalam menggembar-gemborkan
isu tersebut di media sosial, tanpa sikap kritis sama sekali, tapi hanya demi memamerkan
keberpihakan politiknya saja. Yang terjadi akhirnya, masyarakat luas yang tak
terdidik menganalisis fakta, dipaksa memilih di antara dua posisi: percaya atau
tidak, hanya atas pertimbangan dan sentimen politis, tanpa ada sedikit pun ruang dan waktu
untuk bersama-sama mengoreksi pengetahuan dangkal masing-masing.
Jelas
saja, keadaan yang runyam itu, tak lepas dari agenda-agenda politik para politisi
yang berusaha mencari celah untuk menjelek-jelekkan pihak lawan. Tujuannya tiada
lain untuk membangun citra baik bagi kelompok politiknya sendiri. Paling tidak,
kondisi ini terbaca jelas dari sikap politik pihak oposisi yang senantiasa
berseberangan dengan pemerintah dalam menanggapi isu terkait tenaga kerja
China, PKI, dan semacamnya. Bahkan secara nyata, para politisi yang saling
berseberangan, tampak menggunakan isu-isu tersebut sebagai bahan untuk saling membusuk-busukkan.
Tampak
memang bahwa isu-isu menakutkan di tengah masyarakat saat ini, tak bisa
dilepaskan dari agenda para politisi. Isu demikian sengaja digunakan oleh para
politikus haus kekuasaan untuk diramu serupa hantu-hantu, agar kemudian, ia
punya kesempatan untuk tampil sebagai malaikat. Di tengah posisi politik yang
berseberangan, mereka akan tampil sebagai pembasmi hantu, sedang pihak lain kemudian
dicap sebagai sekutu hantu. Nilai para pihak politisi di tengah masyarakat,
akhirnya hanya dilihat pada sikap pro-kontra pada hantu yang bergentayangan,
tanpa mempermasalahkan siapa pencipta dan benarkah adanya para hantu. Nahasnya,
sebagian masyarakat pun turut saja pada polarisasi akibat hantu itu, tanpa
hendak keluar dari persilangan pro-kontra yang penuh intrik politik.
Terjadilah
sudah, sebagian masyarakat dirasuki hantu-hantu politik secara tidak sadar. Dalam
ketidaksadaran itu, mereka yang terlanjur terperdaya, semakin kukuh saja pada
pilihan politiknya, yaitu bersama mereka yang berkoar-koar sebagai pembenci dan
pembasmi hantu. Dan di dalam ketidaksadarannya itu, mereka yakin berada dalam
kondisi sadar di jalan kebenaran. Mereka secara bergerombol, tak henti-henti
untuk saling meyakinkan diri kalau tengah berada di ruang kewarasan, sehingga tak mungkin
bisa diseret keluar dengan argumentasi apa pun.
Tak
heran kemudian, sebagian masyarakat yang terperdaya hantu politikus, mulai
melakukan tindakan-tindakan emosional yang dianggapnya sebagai wujud pemahaman
yang benar. Mereka yang terlanjut percaya pada hantu-hantu politikus mulai
melakukan tindakan-tindakan secara mandiri, tanpa perlu dipancing lagi, atau tanpa
perlu bakaran semangat dari petinggi-petingi politik yang mereka junjung. Mereka
melakukan semuanya dalam kesadaran yang sejatinya semu, asalkan sejalan dengan kerangka umum dari para politisi junjungan mereka.
Di
sisi lain, para politikus yang menciptakan hantu-hantu politik, hanya duduk dan
tertawa, sembari berpesta atas keberhasilan propaganda politik mereka. Mereka
tak perlu lagi turun tangan, sebab hantu-hantu politik telah menyatu dengan
jiwa para partisan, yang akan melaksanakan agenda politik mereka tanpa perlu
komando. Mereka tak perlu lagi susah payah dan mengotori diri untuk mencari
pendukung baru, sebab hantu-hantu itu, akan berusaha mengagitasi jiwa-jiwa lain
secara otomatis. Mereka tak perlu khawatir ketahuan sebagai politikus busuk, sebab orang-orang
yang tak sadar tengah dirasuki hantu buatan, tak akan menganggap apa yang
mereka lakukan sebagai sikap politik, tetapi satu sikap yang mereka klaim
idelogis, demi menegakkan kebenaran, katanya.
Butuh Akal Sehat
Akhirnya,
yang dibutuhkan untuk kembali menertralkan keadaan yang terlanjut beringas
akibat ulah hantu-hantu ciptaan para polikus adalah kembali bernalar dengan
diri sendiri. Setiap orang yang tengah diperdaya oleh hantu politik, atau
mereka yang mata hati dan pikirannya mulai diburamkan para propagandis
kerasukan, sudah seharusnya tak memercayai siapa pun, terutama paranormal
politik, kecuali dirinya sendiri. Sebelum mengambil sikap, setiap orang patut
untuk hanya percaya pada dirinya sendiri, lalu mulai mempertanyakan isu-isu
yang berseliweran di mana-mana secara kritis.
Berdiri
pada posisi kritis, menandakan bahwa seseorang tidak berada dalam kondisi taklid
buta pada seorang tokoh atau kelompok politik tertetu. Ia memosisikan diri
sebagai subjek pencari kebenaran yang terus mencari. Ia tahu bahwa selama pencari
kebenaran terus membenarkan satu pendapat secara membabi buta, tanpa syarat,
maka selama itu pula, ia rentan dirasuki tipuan para politisi. Selama seseorang
memosikan diri sebagai objek kebenaran semata, maka yang diyakininya sebagai
kebenaran, hanyalah apa yang dikatakan sebagai kebenaran oleh yang
dipertuan, meskipun itu sejatinya kebohongan.
Bersikap
kritis terhadap satu hal atau peristiwa di masa-masa menjelang pesta demokrasi
seperti sekarang, tentu harus menjadi prinsip bagi setiap
orang. Hal itu karena apa yang diperbincangkan oleh elit-elit politik, tak
lepas dari kepentingan politik. Dan pada tataran politik praktis, sudah lumrah
bahwa apa yang dikatakan para politisi seringkali bukanlah soal benar atau
salah, tapi soal menguntungkan atau tidak. Apa yang mereka katakan, hanya demi
kepentingan diri atau kelompok politiknya saja. Oleh sebab itu, setiap orang yang
ingin bebas dari kegaduhan dan keberingasan politik, harus cerdas menganalisis
sebuah permasalahan dalam ruang dan situasi politik yang penuh dengan tipu
muslihat, seperti sekarang.
Ringkasnya,
masyarakat sudah seharusnya kritis terhadap isu-isu yang dilemparkan oleh para
politikus. Setiap individu masyarakat sudah semestinya menggunakan akal
sehatnya dan tidak bersikap emosional atas sebuah informasi. Maka biarlah,
misalnya, persoalan isu adanya rekayasa persekusi di CFD, penyerangan pemuka
agama yang terorganisisr oleh orang gila antek PKI, atau invasi imigran gelap
dari China, ditelusuri dan dibuktikan kebenarannya oleh pihak penegak hukum.
Biarlah soal telur palsu, atau beras palsu, dibuktikan kebenaralnnya oleh para
ahli pakan di labratorium. Atas dasar temuan penegak hukum dan para ahli pakan
itulah, masyarakat kemudian melakukan penelaahan secara menyeluruh, lalu mengambil sikap
yang tepat. Janganlah persoalan benar-tidaknya isu tersebut, ditumpukan pada
ramalan para politisi semata.
Sebagai
individu yang merdeka untuk berpikir, jelas masyarakat punya kuasa penuh untuk
mencari kebenaran yang sebenar-benarnya, sehingga patut mengkritisi pendapat
siapa pun. Dan sikap kritis itu, tentu sangat dibutuhkan di dalam iklim
politik yang terkesan membodohi. Setidaknya, kalau para politisi semakin tidak
waras, biarlah nanti kedaulatan rakyat di tangan indiviu masyarakat, mengubah
keadaan itu. Janganlah malah sebaliknya, bahwa masyarakat banyak yang notabene
berakal orang per orang, dibuat gila begitu saja oleh hantu-hantu politik yang
sengaja diciptakan oleh segelintir politikus tak berhati.
Akhirnya,
yang diperlukan sekarang adalah kecerdasan masyarakat untuk mencermati setiap
isu yang bekembang. Masyarakat harus cerdas mengamati alasan di balik komentar
para politisi atas satu peristiwa di media pers atau media sosial, untuk
selanjutnya, melakukan pengamatan secara jeli. Jika memang peristiwa tersebut
benar, benarkanlah, meski itu disalahkan oleh politisi junjungan sendiri.
Sebaliknya, jika memang peristiwa tersebut salah, maka salahkanlah, meski
dibernarkan oleh para politisi agungan sendiri. Selanjutnya, sisa memilihlah, apakah
tetap tetap berpihak pada politisi penyebar kesalahan (baca: hantu kebohogan),
atau tidak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar