Lagi-lagi,
kawanan teroris berulah. Setelah aksi brutal mereka di Rutan Mako Brimob,
Depok, pada hari Selasa, 8 Mei, mereka kembali melakukan aksi secara beruntun. Pada
hari Jumat, 11 Mei, seorang polisi di Mako Brimob tewas setelah diserang oleh
seorang teroris. Kemudian pada hari Minggu, 13 Mei, mereka melakukan aksi bom
bunuh diri pada tiga gereja di Surabaya. Dan hari ini, Senin, 14 Mei, terjadi lagi aksi
bom bunuh diri di Markas Polres Kota Surabaya, juga meledaknya bom di kediaman
terduga teroris di Rusun Wonoloco, Sidoarjo.
Puluhan
orang meninggal dunia, baik para pelaku maupun orang yang sengaja disasar para
peneror. Tak kalah banyak juga yang menderita luka berat dan harus menanggung
cacat fisik seumur hidup. Belum lagi rasa trauma yang dirasakan oleh mereka
yang selamat, yang akan terus menghantui. Dan tentu juga, secara psikologis, aksi
teror tersebut juga mengganggu rasa keamanan dan ketenteraman masyarakat
Indonesia.
Setiap
orang yang masih memiliki nurani, pastilah miris dan prihatin menyaksikan kejadian
tersebut. Akan muncul tanya, bagaimana mungkin sekawanan anak manusia begitu
tega memperlakukan sesamanya dengan tidak manusiawi? Apakah mereka yang mengatasnamakan
kebenaran itu, masih patut dianggap manusia?
Tuntutan
yang muncul, akhirnya beragam. Dari sebagian mereka yang geram, ada yang
meminta agar para pelaku dibunuh saja, demi melenyapkan ancaman bahaya.
Apalagi, para teroris, memang tak lagi memedulikan nyawa orang lain. Belum
lagi, para teroris adalah penganut ideologi yang bersangkut-paut dengan
kepercayaan agama, sehingga sulit diluruskan kembali.
Tapi
sebagian yang lain, tak bersepakat dengan sikap emosional. Mereka berpendapat kalau
para teroris adalah orang-orang yang tersesat, sehingga harus dituntun untuk
kembali pada jalan kebenaran, bukan malah diperlakukan secara tidak manusiawi
juga. Bagi mereka, kejahatan tidaklah patut dibalas dengan kejahatan, melainkan
ditaklukkan dengan kebaikan.
Akhirnya,
orang-orang terjebak pada kebimbangan soal bagaimana semestinya memperlakukan
para teoris. Mungkinkah upaya deradikalisasi yang bersifat persuasif akan mampu
mengatasi persoalan paham dan aksi terorisme di negara ini?
Alur Pikir Teroris
Sudah
menjadi pengetahuan umum bahwa teror-teror selama ini, sangat bertalian dengan
aspek keagamaan. Seorang teroris dengan gagah-berani melakukan aksi teror sebab
mengatasnamakan dalil agama. Mereka menafsir aksi teror sebagai perintah agama
yang wajib ditunaikan. Mereka menganggap kalau aksi teror merupakan wujud
pembaktian tertinggi kepada Tuhan.
Karena
para teroris mendasarkan aksinya pada dimensi spiritualitas agama, maka sebab
dan akibat yang mereka harapkan dari tindakan teror, juga berkutat pada demensi
tersebut. Mereka meneror, hingga membunuh, sebagai wujud semangat spiritulitas
mereka. Pun, dari aksinya itu, mereka hanya mengharapkan ganjaran berupa nikmat
surga di hari kemudian.
Dengan
pola pikir yang dikerangkeng dalam nikmat akhirat, para teroris akhirnya tak
peduli lagi pada kehidupan dunia. Mereka mengokohkan diri sebagai penganut
paham yang berlawan dengan paham sekuler. Tapi tanpa sadar, mereka juga tetap terjebak dalam dikotomi dunia
dan akhirat, meski mengambil posisi sebaliknya, yaitu mementingkan
kehidupan akhirat.
Yang
terjadi kemudian, para teroris tak lagi menganggap dunia sebagai ladang untuk mengumpulkan
bekal menuju akhirat dengan penuh kesabaran. Mereka meyakini bahwa dunia hanya
persinggahan, yang cepat atau lambat, akan ditinggalkan jua. Hingga mereka pun mencari
cara yang paling instan untuk meninggalkan dunia, sembari mendapatkan nikmat di
akhirat.
Bagi
para teroris, tinggal berlama-lama di dalam dunia yang semu dan fana, bersama orang-orang
yang mereka anggap para penipu sebab mencintai dunia, adalah pilihan hidup yang
berisiko. Pilihan terbaik bagi mereka adalah membinasakan para penipu yang bisa
menyeret mereka pada paham yang dianggapnya salah, agar dunia tak lagi disesaki
tipuan-tipuan.
Para
teroris tak lain adalah orang-orang yang membenci dunia. Atas pandangan bahwa
dunia hanyalah persinggahan yang penuh tipuan, yang mampu menyesatan perjalanan
menuju akhirat, mereka rela melawan dunia dan seisinya, dengan mempertaruhkan
segalanya. Kalau pun harus kehilangan nyawa, itulah yang terbaik, sebab mereka
yakin akan sampai pada tujuan akhir yang indah, di surga, tanpa perlu
berlama-lama di dunia yang penuh godaan.
Jika
demikian, bisa disimpulkan bahwa teroris adalah orang yang membenci dunia sebab
mereka takut terperdaya oleh dunia. Mereka hendak memusnahkan pendosa di dunia,
yaitu orang-orang yang tak sepaham dengannya, agar tak terpengaruh bujukan
mendosa. Mereka hendak menegakkan satu paham keagamaan dan melenyapkan yang
berbeda, sehingga mereka punya jaminan akan terhindar dari paham yang mereka
anggap salah dan sesat, yang potensial menjerat mereka di dunia yang semu.
Teroris
pada akhirnya adalah orang-orang yang tak menghargai perbedaan. Jikalau pandangan
umum mengaggap setiap orang bebas memilih jalan hidupnya di dunia, teroris
menganggap itu salah, dan hanya boleh ada satu jalan, yaitu jalan yang mereka
benarkan. Jika pandangan umum menganggap bahwa perilaku seseorang boleh
berbeda, tergantung pada keyakinan mereka masing-masing, teroris tak
membenarkannya, dan hanya boleh ada satu hukum perilaku.
Para
teroris, jelas terjebak dalam pola pikir yang inklusif dan tak menghargai
pluralitas keduniaan. Mereka menganggap hanya kelompok mereka yang benar, dan yang
berbeda adalah salah, sehingga pantas dimusnahkan. Sungguh, mereka tak lagi
menganggap perbedaan sebagai rahmat untuk saling berbagi kebaikan. Mereka tak
lagi menanggap kekeliruan dan kekhilafan sebagai ruang untuk saling menasihati dengan
kebijaksanaan.
Akhirnya,
para teroris sesungguhnya adalah orang-orang yang takut terjerembat ke dalam godaan-godaan
dunia. Mereka adalah orang yang takut tersesat di tengah jalan kehidupan dunia
yang bercabang-cabang. Karena itulah, mereka bertekad melawan dunia,
menghancurkan dunia, sebelum dunia menghancurkan mereka. Mereka teguh berperang
melawan dunia, agar dunia tak balik memperdaya nafsu mereka sendiri.
Bercinta dengan Dunia
Dunia
memang dihiasi beragam lakon yang mencitrakan nilai-nilai yang berbeda. Tapi
atas perbedaan itulah, nilai memiliki arti. Ada ketidakadilan, sehingga orang
lain bisa berlomba-lomba menebarkan keadilan. Ada kemiskinan, agar orang lain
memiliki ruang untuk berbagi. Ada kesesatan agar orang lain punya kesempatan
untuk saling menasihati.
Akhirnya,
yang bisa membuat orang menerima dunia yang penuh anomali hanyalah rasa cinta.
Rasa yang membuat seseorang tak membenci mereka yang dianggap sesat, tetapi
malah memberikan kasih agar mereka turut selamat, sebagaimana ia mengharapkan
keselamatan untuk dirinya sendiri. Rasa yang membuat seseorang menginginkan
keselamatan bagi orang lain, sehingga membunuh pendosa dipikirnya salah, sebab menutup
ruang bagi yang dianggap sesat untuk menuju keselamatan bersama.
Cinta
berarti tidak membenci siapa-siapa, bahkan orang zalim sekali pun. Cinta hanya
membenci kezaliman yang bisa menjangkiti siapa saja. Karena itulah, pencinta tak
akan pernah membenci siapa-siapa, kecuali membenci kebencian itu sendiri. Cinta
adalah alasan bagi setiap orang untuk saling mengasihi dan mengenyahkan
kebencian, sehingga enyahlah sikap saling menzalimi satu sama lain.
Rasa
cinta itu pulalah yang perlu ditanamkan dalam jiwa para terororis, atau
orang-orang yang potensial jadi teroris atas nama agama. Mereka perlu diberi
kesadaran bahwa dunia memang penuh dengan pergulatan nilai. Dan bagi manusia
yang hidup di dunia yang penuh perbedaan, tak mungkin bisa melenyapkan
nilai-nilai sesat atau salah, sebab manusia tidaklah sempurna, dan senantiasa
salah dan khilaf.
Karena
itu pula, bagi manusia, tak mungkin melenyapkan kesesatan hanya dengan membunuh
orang-orang yang dianggap sesat. Yang bisa dilakukan setiap orang yang punya
kesadaran atas kebenaran hanyalah berdiri teguh di jalan kebenaran, sembari
terus mengajak orang lain pada jalan yang sama, dengan penuh kesabaran, bukan
dengan amarah.
Yang
tak kalah penting dari upaya membasmi paham teroris adalah menumbuhkan kesadaran
pada setiap orang untuk senantiasa menghadirkan dunia yang penuh cinta. Setiap
orang harus memedulikan sesamanya, agar tak merasa terasing di dunia. Terlebih,
sudah menjadi pemahaman umum bahwa yang membenci dunia adalah mereka yang juga
tak mendapatkan cinta yang cukup di dunia.
Mereka
yang mengalami ketidakadilan sosial dan ekonomi, misalnya, jelas sangat rentan
terhasut propaganda terorisme. Jikalau mereka merasa dunia bukanlah ruang untuk
mendapatkan kehidupan yang layak, maka mereka dengan mudah didoktrin untuk
percaya bahwa akhirat adalah ruang yang menyediakan segalanya. Jikalau keadilan
di dunia tidak ditegakkan, mereka akan mendambakan keadilan di akhirat, sampai berusaha
mewujudkannya dengan cara apa pun.
Jelaslah
bahwa setiap orang yang mengimani keberadaan Tuhan, tentu juga memercayai
perihal eskatologi, atau hari kebangkitan. Apalagi dalil-dalil kitab suci, banyak
menggambarkan kehidupan di hari kemudian itu. Tapi kerinduan yang mendalam pada
kehidupan akhirat, tak semestinya membuat kehidupan di dunia dianggap tak
berguna dan dinilai sebagai tipuan semata, sebagaimana pandangan para teroris.
Hidup
di dunia, harusnya menjadi ruang untuk memperbanyak amalan baik sebelum takdir
kematian mendatangi. Harusnya setiap insan mencintai dunia dan seisinya,
sebagaimana ia mengharapkan cinta di akhirat. Bukankah cinta yang kita rasakan
di hari kemudian (baca: surga), setimpal dengan cinta yang kita terbarkan di
dunia? Jadi, dunia memang hanya persinggahan. Tapi janganlah buru-buru ke
akhirat, sampai lupa membawa bekal yang cukup dari dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar